Cerpen | Bandrong | Pikiran Rakyat, 28 Juli 2013

Cerpen Azka EA Abhipraya (Encep Abdullah)




KI JABRIG memasang kuda-kuda. Kaki dan tangannya telentang lebar seolah rentan terhadap serangan. Menawarkan lawan untuk menyerang padahal ini hanyalah trik. Tak disangka, ia langsung menyerang. Gerakannya gesit, licin, dan mematikan seperti bandrong.

***

Sang Putri masih bersolek di cermin. Rambutnya digeraikan bak mayang terurai. Para prajurit mengintip dari sela-sela jendela. Sang Putri tak menghiraukan mereka walaupun sebenarnya ia tahu ada orang yang mengintipnya. Ia semakin mencintai tubuhnya bila diperhatikan oleh orang-orang sekitar.

Semenjak kehadiran Sang Putri di kesultanan—anak gadis Sultan Maulana Hasanudin—warga geger membincangkan kecantikannya, terutama para bujang karena sampai saat ini belum ada yang mampu memikatnya. Putri yang berhidung mancung, bemata sipit, beralis lebat, dan berkulit putih nan lembut itu bisa membikin libido setiap lelaki yang memandangnya seketika memuncak. Ki Urip—senopati—sudah lama jatuh cinta padanya. Waktu itu ia tak sengaja menyentuh kulit sang Putri ketika berpapasan di sebuah pintu. Jantungnya bergetar. Hatinya terpikat. Ia tahu, susah sekali bisa menyentuh kulit sang Putri Ia seperti tersetrum kala menyentuhnya. Tapi, sampai detik ini belum sampai jua ia menyatakan perasaannya.

Banyak lelaki yang meminang sang Putri, ditolak mentah-mentah. Pernah waktu itu ada seorang saudagar kaya mendatanginya. Menawarkan kepada Sultan berupa upeti berisi emas, yang barangkali bila dilirik oleh orang yang tak kuat iman akan mudah tergoda. Sultan tak bisa dikelabui. Ia berserah pada sang Putri, bila ia mau, siapa pun boleh meminangnya. Tapi, sang Putri tetap menolak.

“Orang kaya belum tentu bisa melindungiku,” ujarnya.

Tak ada yang tahu kenapa sampai saat ini sang Putri belum mau kawin. Padahal umurnya sudah matang. Berkali-kali Sultan bertanya perihal ini kepadanya, tak ditemukan jawaban yang pasti. Sultan tak bisa memaksakan kehendak anaknya. Semua demi kebahagiaan anaknya. Berserah kapan sang Putri siap menikah dengan lelaki pilihannya.

“Anakku, sebenarnya lelaki seperti apa yang kamu idamkan?” tanya Sultan lagi di lain waktu karena masih belum menemukan titik temu dari jawaban putrinya itu.

“Cukup yang bisa menjaga harga diriku.”

“Siapa gerangan?”

“Entahlah.”

Sultan semakin dibuat penasaran akan tingkah laku sang Putri. Maka semakin pula Sultan khawatir terhadap putrinya itu. Putri memang perempuan yang tak banyak bicara. Ia berbicara seperlunya, itu pun kalau ada yang bertanya kepadanya. Mulut sang Putri memang mulut emas. Mahal.

Tak ada satu pun orang yang tahu bila sang Putri pernah menulis curahan hatinya pada sehelai daun. Ia simpan daun itu rapat-rapat di dalam lemarinya. Di sela baju-baju kesayangannya. Ia tak mau ada seorang pun yang tahu rahasianya. Tetapi, waktu berkata lain. Pada suatu hari, ketika seorang budak sedang membersihkan kamar sang Putri, tak sengaja budak itu melihat lemari sang Putri terbuka. Sang Putri lupa menutup rapat-rapat lemarinya usai semalam melihat kembali isi tulisan yang ada di selembar daun itu. Karena melihat tumpukan baju sang Putri yang tidak tersusun rapi, budak itu pun merapikan kembali baju-baju sang Putri. Tak sengaja ia menemukan sehelai daun milik sang Putri. Daun itu diamati dengan cermat. Tulisannya begitu rapi. Budak itu penasaran. Kata per kata dibacanya. Matanya melirik kiri-kanan takut ada orang yang tahu, terutama sang Putri. Jantung budak itu dag-dig-dug tak keruan. Sebuah rahasia besar bagi para lelaki terbongkar sudah. Dari kuping ke kuping kabar isi tulisan dalam sehelai daun itu pun beredar.

“Oh, iki tah sing dikepengeni sang Putri.”

“Kalau cuma silat doang, saya juga bisa. “

“Saya juga.”

”Saya tidak bisa.”

“Saya juga tidak.”

“Apalagi saya.”

“Hmm…”

Di sekitar kesultanan, orang-orang ribut akan desas-desus ini. Sampai akhirnya, kabar ini terdengarlah di telinga sang Putri. Ia marah besar. Ia tak mau rahasianya itu terbongkar oleh siapa pun. Ia menangis. Sultan pun marah besar. Dan mencari siapa yang sudah berani menyebarkan rahasia putrinya itu. Sampai akhirnya dengan hati yang jujur, budak itu mengaku, ia pun dihukum pancung. Meski seantero pemuda di sudut kesultanan sudah tak asing lagi dengan rahasia sang Putri, tetap saja tak banyak yang memiliki nyali besar untuk menyatakan perasaan mereka. Banyak yang minder karena merasa memang tak pantas bersanding dengan sang putri Sultan meskipun mereka memiliki silat. Mereka merasa terlalu istemewa bila duduk di singgasana kesultanan.

***

Ki Urip diam-diam memberikan sebuah surat. Ia memberikannya lewat burung dara kesayangannya. Ia sadar, dirinya punya kemampuan silat yang mungkin saja bisa menaklukkan hati sang Putri. Tak hanya Ki Urip, seseorang dari negeri seberang, Ki Jabrig, juga melakukan hal serupa. Ia tahu desas-desus tentang sang Putri. Dan ia yakin bisa menaklukannya.

Ki Urip mengetahui kabar tersebut. Ia mengirimi surat kepada Ki Jabrig untuk bertemu pada suatu tempat di Karangantu. Ki Urip tak rela bila ada lelaki lain yang berani mencintai perempuan pujaannya itu. Akhirnya, keduanya pun bersua. Setelah saling melihat goresan bekas luka di wajah mereka, ternyata mereka berasal dari seperguruan yang sama di Gunung Bongokok, Sumur Pitu. Guru mereka—Ki Asmare—pernah menghantam wajah mereka dengan sebilah belati.

“Sialan! Kau memang tak pernah mengalah dariku. Dulu kau cari perhatian sang Guru. Sekarang… memang kau iblis!”

Ki Urip marah besar dengan apa yang sudah dilakukan Ki Jabrig. Ki Jabrig seolah melangkahi keinginan terbesarnya untuk mengawini sang Putri. Ki Jabrig hanya tersenyum. Mereka pun ambil ancang-ancang. Kuda-kuda dipasang. Secepat kilat tangan Ki Jabrig dikelit. Ditekuk di belakang punggung.   

“Punya apa seorang pedagang ikan di pasar sepertimu bisa membahagiakan putri Sultan, hahaha…” Ki Urip melecehkan.

“Ah, banyak bacot!” Ki Jabrig kesal.

“Setaaan…!” Ki Urip pun menyerang terlebih dahulu.

Di laut Karangantu itu mereka bertarung sengit. Keduanya memiliki kekuatan yang sama. Sama–sama kuat, tangkas, dan sakti kanuragan. Sama-sama memiliki silat bandrong. Ki Urip menggunakan jurus bandrong depok, sedangkan Ki Jabrig menggunakan jurus bandrong tumbur.

Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sedari siang bolong hingga menjelang Magrib. Menurut sang Guru, dua sisi bandrong ini bagaikan pistol dan peluru. Gabungan kedua jurus tersebut bisa berakibat fatal jika digunakan dalam pertarungan. Sepertinya keduanya lupa akan pesan itu.

“Kau memang tangkas juga. Masih seperti dulu,” ujar Ki Jabrig.

“Haha… sini kau bajingan!”

Ki Urip telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Semua jurus: kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok, dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi, Ki Jabrig juga sama tangguhnya. Setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Urip, setiap kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Jabrig. Pertarungan yang membikin ngeri bagi siapa pun yang memandang. Tapi sayang, pertarungan itu memanglah pertarungan duel sejati. Hanya harga diri mereka masing-masing yang dipertaruhkan. Demi satu tujuan, satu cinta: sang Putri.

***

“Dasar bego, lawan kayak begitu saja lama kau bunuh!”

Pertarungan mereka terhenti sejenak mendengar suara yang datang tiba-tiba. Kedua bola mata Ki Jabrig dan Ki Urip mencari sosok di balik suara misterius itu. Mata Ki Jabrig mendapatkan sosok itu.

Kang Bagil… sedang apa kau di pohon itu?”

“Bego! Sedari tadi aku memperhatikanmu bertarung di sini. Masak kau tak bisa membunuhnya. Nih, ambil!” sambil melemparkan golok, “cepat kau bunuh!” ujarnya lagi.

Ki Urip terperangah melihat Bagil. Ia tahu siapa dia. Bagil adalah murid kesayangan sang Guru, yang konon ilmu bandrongnya sungguh luar biasa. Ki Urip tidak tahu kalau Bagil adalah saudara kandung Ki Jabrig.

“Kenapa dengan wajahmu? Kok, pucat begitu?” tanya Bagil dengan raut muka yang memuakkan.

“Sialan! Mampus,” ujar Ki Urip pelan, wajahnya semakin tampak ketakutan.

Ki Jabrig membuka golok yang masih dalam sangkarnya itu dan secepat kilat menebas leher Ki Urip yang sedang lengah. Dengan sekali tebas kepala Ki Urip pun terpental puluhan meter, lalu kepala itu berputar seperti gasing hingga akhirnya menghujam ke dalam tanah. Amat dalam.

“Golok sakti,” ujar Ki Jabrig.

***

Sepandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Kematian Ki Urip di laut Karangantu itu diketahui oleh warga, kemudian melaporkannya kepada Sultan. Dan, tentu saja sejagat para penghuni kesultanan itu meluapkan emosi. Terutama Sultan.

“Tega-teganya orang itu membunuh senopatiku!”

Sultan amat mengutuk pembunuh Ki Urip. Tapi seantero kesultanan tak ada yang tahu, siapa dalang semua itu. Sultan tak berhenti mengutuk. Ia tak terima dengan perlakuan sang pembunuh, yang hanya menyisakan tubuh tanpa kepala. Sultan amat hafal tubuh Ki Urip, dengan tanda lahir di telapak tangan kanannya.

“Cari kepala Ki Urip dan pelakunya!” perintah Sultan.

Beberapa prajurit dikerahkan. Entah mencari ke mana. Dengan apa. Terpenting kepala pelaku itu dapat ditemukan. Prajurit langsung menyingsingkan senjata mereka.

“Sepertinya saya tahu siapa pelakunya,” tukas sang Putri tiba-tiba seraya memegang surat yang ditulis oleh Ki Urip dan Ki Jabrig. Sultan hanya menatap bingung putrinya. Ia pun mengambil salah satu surat dari tangan sang Putri—surat Ki Urip. Sultan hanya bisa menggeleng kepala. Tak percaya bila Ki Urip mencintai putri semata wayangnya.

Sultan tak bisa menikahkan sang Putri dengan senopati. Baginya itu larangan. Barangkali itulah alasan kenapa Ki Urip memendam perasaannya. Hingga akhirnya gejolak perasaannya tak dapat dibendung ketika tangannya pernah menyentuh kulit sang Putri. Gadis manis itu hanya bisa menangis.  

“Sudahlah, biarkan kesultanan yang mengurus semua ini.”

“Ini semua salahku. Kalau saja tak ada aturan yang mengekang senopati mencintaiku, mungkin tak akan begini jadinya. Juga bila aku tak banyak aturan memilih lelaki.”

“Dengan alasan apa pun, tak bisa kamu menikah dengan Ki Urip. Walaupun Ki Urip orang sakti dan memiliki jurus. Itu sudah menjadi kodratnya menjadi senopati,” jelas Sultan sambil mengusap air mata yang membasahi pipi sang Putri, “siapa gerangan yang membunuh Ki Urip?” tanya Sultan.

“Ki Jabrig,” jawab Putri sembari memberikan surat yang satunya—surat Ki Jabrig.

Sultan berkerut kening.           

***

Selang beberapa hari Ki Jabrig sudah berada di hadapan Sultan. Dengan kedua tangan diikat. Entah kenapa Ki Jabrig tidak melawan, padahal bisa saja ia membunuh para prajurit itu dengan bandrongnya. Barangkali ia memang sadar. Ia memang bersalah karena sudah melenyapkan nyawa Ki Urip.

Ki Jabrig hanya menunduk ketika Sultan meluapkan kemarahan. Ia dihukum pancung. Apalah daya, ia tak bisa mengelak. Hukum Kesultanan tak bisa ditolak. Ia sadar apa yang sudah dilakukannya itu bisa membuat kepala Sultan meledak.

“Biarkanlah ia hidup. Ia tidak salah. Ia hanya membela diri,” ujar sang Putri ketika detik-detik hukum pancung akan dilaksanakan. Para prajurit yang menuntun Ki Jabrig seketika berhenti. Para saksi hukum pancung itu tercengang mendengar pernyataan itu.

“Tidak bisa! Ini harus tetap dilakukan,” ujar Sultan.

“Aku yakin, Ki Jabrig tidak berniat membunuh Ki Urip. Ia hanya membela diri. Hanya membela diri. Jadi, tolong lepaskan dia. Bebaskan ia,” sang Putri menangis, “ini semua salahku,” sambungnya lagi.

Semua mata tertuju pada Putri. Tak disangka, ia menangis dihadapan para prajurit. Sultan menghela napas. Tak bisa ia mengekang putrinya. Akhirnya, Sultan menerima permintaan putrinya.
“Tapi, dengan satu syarat. Jika, memang kamu seseorang yang sakti, tunjukkan kesaktianmu supaya aku tak ragu jadi milikmu!”

“Dengan cara?” tanya Ki Jabrig penasaran.

“Tawarkan air laut Karangantu itu dalam jangka waktu semalam!”

Para penghuni kesultanan terperangah mendengar pernyataan itu,  sedangkan Ki Jabrig hanya diam membisu. Ia mengangguk, tanda menyanggupi permintaan Putri. Ki Jabrig meminta waktu selama lima hari sebelum ujian itu dilaksanakan. Ia memohon izin agar dibolehkan pulang ke kampungnya kelahirannya di Gudang Batu. Dan, dikabulkan.

Sesampainya di kampung, ia segera menghadap saudaranya, Bagil, untuk meminta petunjuk atau saran dari masalah yang sedang dihadapinya. Karena kepada siapa lagi hatinya hendak mengadu selain pada kakaknya yang sudah dianggap guru spiritualnya—kedua orangtua sudah meninggal kala mereka masih kecil. Dan sejak kecil pula keduanya hidup dengan alam, juga dengan jurus bandrong yang diajarkan oleh mahaguru mereka, Ki Asmare.

“Pergilah dan bawalah obat ini untuk disebarkan ke dalam air laut,” sambil menyerahkan bungkusan itu kepada Ki Jabrig.

Awalnya Ki Jabrig ragu untuk kembali ke kesultanan. Ia tak yakin dengan hatinya. Juga dengan obat dari Bagil. Baru kali ini ada keragu-raguan yang teramat dalam di batinnya. Padahal, Bagil adalah sosok yang tak pernah diragukan kehebatannya—dalam hal apa pun.

“Kenapa kau masih di sini? Segeralah kembali ke kesultanan. Putri sudah menunggu kejantananmu di sana,” suruh Bagil.

Belum genap lima hari, akhirnya Ki Jabrig memaksa untuk memantapkan hatinya. Meskipun air muka dan langkahnya tampak masih ragu. Sore hari, ia pun tiba di kesultanan untuk menebus kesalahannya.

Malam pun tiba. Ki Jabrig dikawal beberapa prajurit. Sultan dan Putri membelakanginya dengan mengendarai kuda. Ini merupakan peristiwa langka dan belum pernah terjadi semasa Kesultanan Banten.

Di pesisir laut Karangantu itu—sunyi senyap karena para penghuni kesultanan sudah meninggalkannya—Ki Jabrig masih memerhatikan ikan-ikan bandrong tangkas dan gesit. Ia masih tertarik melihat jarak lompatan mereka yang indah. Dan hal itu benar–benar membuatnya semakin jatuh cinta. Namun di hatinya, ia ingin segera cepat-cepat pergi dari tempat itu. Tapi bukan untuk segera menemui sang Putri. Ada keganjalan  hati yang aneh yang tiba-tiba saja merasuki pikirannya. Wajah Putri hilang dari benaknya. Tak ada lagi syarat itu. Syarat yang bergelayut di pundaknya. Sesuatu yang barangkali hanya mimpi bila ia mampu melakukannya. Ya, hanya mimpi seorang petarung.

“Tak mungkin laut ini bisa tawar hanya dengan menyebarkan obat-obat kecil ini. Ini mustahil. Bagil pasti hanya bercanda. Paling hanya ikan-ikan yang ada di laut itu yang akan mati.”

Tak ada sesiapa di sampingnya. Tak ada lagi apa-apa yang mengganggunya. Dalam hatinya, ia tak rela bila ikan-ikan itu mati di tangannya. Tak ada cara lain, selain ia menenggak sendiri obat itu ke dalam kerongkongannya.

Di atas pohon, Bagil tersenyum melihat saudaranya terkapar mati tak berdaya. Dengan begitu, ia akan sangat mudah mendapatkan hati Putri untuk ia nikahi.

“Mampus!” ujarnya.                                 

Serang, Juli 2013—Januari 2014


Keterangan:

Bandrong:  nama silat asli Banten yang diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang kerang dengan moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali.

iki tah sing dikepengeni Putri: ini yang diinginkan Putri.

Kang/Kakang: Panggilan untuk kakak laki-laki.

_______

Komentar