Cerpen Azka EA Abhipraya (Encep Abdullah)
KI JABRIG memasang kuda-kuda. Kaki dan tangannya telentang lebar seolah
rentan terhadap serangan. Menawarkan lawan untuk menyerang padahal ini hanyalah
trik. Tak disangka, ia langsung menyerang. Gerakannya gesit, licin, dan
mematikan seperti bandrong.
***
Sang Putri masih bersolek di cermin. Rambutnya digeraikan bak mayang terurai. Para prajurit mengintip dari sela-sela jendela. Sang Putri tak menghiraukan mereka walaupun sebenarnya ia tahu ada orang yang mengintipnya. Ia semakin mencintai tubuhnya bila diperhatikan oleh orang-orang sekitar.Semenjak kehadiran Sang Putri di kesultanan—anak gadis Sultan Maulana
Hasanudin—warga geger membincangkan kecantikannya, terutama para bujang karena
sampai saat ini belum ada yang mampu memikatnya. Putri yang berhidung mancung,
bemata sipit, beralis lebat, dan berkulit putih nan lembut itu bisa membikin
libido setiap lelaki yang memandangnya seketika memuncak. Ki
Urip—senopati—sudah lama jatuh cinta padanya. Waktu itu ia tak sengaja
menyentuh kulit sang Putri ketika berpapasan di sebuah pintu. Jantungnya
bergetar. Hatinya terpikat. Ia tahu, susah sekali bisa menyentuh kulit sang Putri
Ia seperti tersetrum kala menyentuhnya. Tapi, sampai detik ini belum sampai jua
ia menyatakan perasaannya.
Banyak lelaki yang meminang sang Putri, ditolak mentah-mentah. Pernah waktu
itu ada seorang saudagar kaya mendatanginya. Menawarkan kepada Sultan berupa
upeti berisi emas, yang barangkali bila dilirik oleh orang yang tak kuat iman
akan mudah tergoda. Sultan tak bisa dikelabui. Ia berserah pada sang Putri,
bila ia mau, siapa pun boleh meminangnya. Tapi, sang Putri tetap menolak.
“Orang kaya belum tentu bisa melindungiku,” ujarnya.
Tak ada yang tahu kenapa sampai saat ini sang Putri belum mau kawin. Padahal umurnya sudah matang. Berkali-kali Sultan
bertanya perihal ini kepadanya, tak ditemukan jawaban yang pasti. Sultan tak
bisa memaksakan kehendak anaknya. Semua demi kebahagiaan anaknya. Berserah
kapan sang
Putri siap menikah dengan lelaki pilihannya.
“Anakku, sebenarnya lelaki seperti apa yang kamu idamkan?” tanya Sultan
lagi di lain waktu karena masih belum menemukan titik temu dari jawaban
putrinya itu.
“Cukup yang bisa menjaga harga diriku.”
“Siapa gerangan?”
“Entahlah.”
Sultan semakin dibuat penasaran akan tingkah laku sang Putri. Maka semakin pula Sultan khawatir terhadap putrinya itu. Putri
memang perempuan yang tak banyak bicara. Ia berbicara seperlunya, itu pun kalau
ada yang bertanya kepadanya. Mulut sang Putri memang mulut emas. Mahal.
Tak ada satu pun orang yang tahu bila sang Putri pernah menulis curahan hatinya pada
sehelai daun. Ia simpan daun itu rapat-rapat di dalam lemarinya. Di sela
baju-baju kesayangannya. Ia tak mau ada seorang pun yang tahu rahasianya.
Tetapi, waktu berkata lain. Pada suatu hari, ketika seorang budak sedang
membersihkan kamar sang Putri, tak sengaja budak itu melihat lemari sang Putri terbuka. Sang Putri lupa menutup rapat-rapat lemarinya usai
semalam melihat kembali isi tulisan yang ada di selembar daun itu. Karena melihat
tumpukan baju sang Putri yang tidak tersusun rapi, budak itu pun
merapikan kembali baju-baju sang Putri. Tak sengaja ia menemukan sehelai daun
milik sang
Putri. Daun itu diamati dengan cermat. Tulisannya begitu
rapi. Budak itu penasaran. Kata per kata dibacanya. Matanya melirik kiri-kanan
takut ada orang yang tahu, terutama sang Putri. Jantung budak itu dag-dig-dug tak
keruan. Sebuah rahasia besar bagi para lelaki terbongkar sudah. Dari kuping ke
kuping kabar isi tulisan dalam sehelai daun itu pun beredar.
“Oh, iki tah sing dikepengeni sang Putri.”
“Kalau cuma silat doang, saya juga bisa. “
“Saya juga.”
”Saya tidak bisa.”
“Saya juga tidak.”
“Apalagi saya.”
“Hmm…”
Di sekitar kesultanan, orang-orang ribut akan desas-desus ini. Sampai
akhirnya, kabar ini terdengarlah di telinga sang Putri. Ia marah besar. Ia tak
mau rahasianya itu terbongkar oleh siapa pun. Ia menangis. Sultan pun marah
besar. Dan mencari siapa yang sudah berani menyebarkan rahasia putrinya itu.
Sampai akhirnya dengan hati yang jujur, budak itu mengaku, ia pun dihukum
pancung. Meski seantero pemuda di sudut kesultanan sudah tak asing lagi dengan
rahasia sang Putri, tetap saja tak banyak yang memiliki nyali besar untuk
menyatakan perasaan mereka. Banyak yang minder karena merasa memang tak pantas
bersanding dengan sang putri Sultan meskipun mereka memiliki silat. Mereka
merasa terlalu istemewa bila duduk di singgasana kesultanan.
***
Ki Urip mengetahui kabar tersebut. Ia mengirimi surat kepada Ki Jabrig
untuk bertemu pada suatu tempat di Karangantu. Ki Urip tak rela bila ada lelaki
lain yang berani mencintai perempuan pujaannya itu. Akhirnya, keduanya pun
bersua. Setelah saling melihat goresan bekas luka di wajah mereka, ternyata
mereka berasal dari seperguruan yang sama di Gunung Bongokok, Sumur Pitu. Guru
mereka—Ki Asmare—pernah menghantam wajah mereka dengan sebilah belati.
“Sialan! Kau memang tak
pernah mengalah dariku. Dulu kau cari perhatian sang Guru. Sekarang… memang kau
iblis!”
Ki Urip marah besar dengan apa yang sudah dilakukan Ki Jabrig. Ki Jabrig
seolah melangkahi keinginan terbesarnya untuk mengawini sang Putri. Ki Jabrig
hanya tersenyum. Mereka pun ambil ancang-ancang. Kuda-kuda dipasang. Secepat
kilat tangan Ki Jabrig dikelit. Ditekuk di belakang punggung.
“Punya apa seorang pedagang ikan di pasar sepertimu bisa membahagiakan
putri Sultan, hahaha…” Ki Urip melecehkan.
“Ah, banyak bacot!” Ki Jabrig kesal.
“Setaaan…!” Ki Urip pun menyerang terlebih dahulu.
Di laut Karangantu itu mereka bertarung sengit. Keduanya memiliki kekuatan
yang sama. Sama–sama kuat, tangkas, dan sakti kanuragan. Sama-sama memiliki
silat bandrong. Ki Urip menggunakan jurus bandrong
depok, sedangkan Ki Jabrig menggunakan jurus bandrong tumbur.
Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sedari siang bolong hingga
menjelang Magrib. Menurut sang Guru, dua sisi bandrong ini bagaikan pistol dan
peluru. Gabungan kedua jurus tersebut bisa berakibat fatal jika digunakan dalam
pertarungan. Sepertinya keduanya lupa akan pesan itu.
“Kau memang tangkas juga. Masih seperti dulu,” ujar Ki Jabrig.
“Haha… sini kau bajingan!”
Ki Urip telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Semua jurus: kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak
kombinasi, sodok, dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi, Ki
Jabrig juga sama tangguhnya. Setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Urip,
setiap kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga
mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Jabrig. Pertarungan yang membikin ngeri
bagi siapa pun yang memandang. Tapi sayang, pertarungan itu memanglah
pertarungan duel sejati. Hanya harga diri mereka masing-masing yang
dipertaruhkan. Demi satu tujuan, satu cinta: sang Putri.
***
“Dasar bego, lawan kayak begitu saja lama kau bunuh!”
Pertarungan mereka terhenti sejenak mendengar suara yang datang tiba-tiba.
Kedua bola mata Ki Jabrig dan Ki Urip mencari sosok di balik suara misterius
itu. Mata Ki Jabrig mendapatkan sosok itu.
“Kang Bagil… sedang apa kau di pohon
itu?”
“Bego! Sedari tadi aku memperhatikanmu bertarung di sini. Masak kau tak
bisa membunuhnya. Nih, ambil!” sambil melemparkan golok, “cepat kau bunuh!”
ujarnya lagi.
Ki Urip terperangah melihat Bagil. Ia tahu siapa dia. Bagil adalah murid
kesayangan sang Guru, yang konon ilmu bandrongnya sungguh luar biasa. Ki Urip
tidak tahu kalau Bagil adalah saudara kandung Ki Jabrig.
“Kenapa dengan wajahmu? Kok, pucat begitu?” tanya Bagil dengan raut muka
yang memuakkan.
“Sialan! Mampus,” ujar Ki Urip pelan, wajahnya semakin tampak ketakutan.
Ki Jabrig membuka golok yang masih dalam sangkarnya itu dan secepat kilat
menebas leher Ki Urip yang sedang lengah. Dengan sekali tebas kepala Ki Urip
pun terpental puluhan meter, lalu kepala itu berputar seperti gasing hingga
akhirnya menghujam ke dalam tanah. Amat dalam.
“Golok sakti,” ujar Ki Jabrig.
***
Sepandainya tupai melompat, pasti jatuh juga. Kematian Ki Urip di laut
Karangantu itu diketahui oleh warga, kemudian melaporkannya kepada Sultan. Dan,
tentu saja sejagat para penghuni kesultanan itu meluapkan emosi. Terutama
Sultan.
“Tega-teganya orang itu membunuh senopatiku!”
Sultan amat mengutuk pembunuh Ki Urip. Tapi seantero kesultanan tak ada
yang tahu, siapa dalang semua itu. Sultan tak berhenti mengutuk. Ia tak terima
dengan perlakuan sang pembunuh, yang hanya menyisakan tubuh tanpa kepala.
Sultan amat hafal tubuh Ki Urip, dengan tanda lahir di telapak tangan kanannya.
“Cari kepala Ki Urip dan pelakunya!” perintah Sultan.
Beberapa prajurit dikerahkan. Entah mencari ke mana. Dengan apa. Terpenting
kepala pelaku itu dapat ditemukan. Prajurit langsung menyingsingkan senjata
mereka.
“Sepertinya saya tahu siapa pelakunya,” tukas sang Putri tiba-tiba seraya memegang surat yang ditulis oleh Ki Urip dan Ki
Jabrig. Sultan hanya menatap bingung putrinya. Ia pun mengambil salah satu
surat dari tangan sang Putri—surat Ki Urip. Sultan hanya bisa
menggeleng kepala. Tak percaya bila Ki Urip mencintai putri semata wayangnya.
Sultan tak bisa menikahkan sang Putri dengan senopati. Baginya itu larangan.
Barangkali itulah alasan kenapa Ki Urip memendam perasaannya. Hingga akhirnya
gejolak perasaannya tak dapat dibendung ketika tangannya pernah menyentuh kulit
sang Putri. Gadis manis itu hanya bisa menangis.
“Sudahlah, biarkan kesultanan yang mengurus semua ini.”
“Ini semua salahku. Kalau saja tak ada aturan yang mengekang senopati
mencintaiku, mungkin tak akan begini jadinya. Juga bila aku tak banyak aturan
memilih lelaki.”
“Dengan alasan apa pun, tak bisa kamu menikah dengan Ki Urip. Walaupun Ki
Urip orang sakti dan memiliki jurus. Itu sudah menjadi kodratnya menjadi
senopati,” jelas Sultan sambil mengusap air mata yang membasahi pipi sang Putri,
“siapa gerangan yang membunuh Ki Urip?” tanya Sultan.
“Ki Jabrig,” jawab Putri sembari memberikan surat yang satunya—surat Ki
Jabrig.
Sultan berkerut kening.
***
Selang beberapa hari Ki Jabrig sudah berada di hadapan Sultan. Dengan kedua
tangan diikat. Entah kenapa Ki Jabrig tidak melawan, padahal bisa saja ia
membunuh para prajurit itu dengan bandrongnya. Barangkali ia memang sadar. Ia
memang bersalah karena sudah melenyapkan nyawa Ki Urip.
Ki Jabrig hanya menunduk
ketika Sultan meluapkan kemarahan. Ia dihukum pancung. Apalah daya, ia tak bisa
mengelak. Hukum Kesultanan tak bisa ditolak. Ia sadar apa yang sudah
dilakukannya itu bisa membuat kepala Sultan meledak.
“Biarkanlah ia hidup. Ia
tidak salah. Ia hanya membela diri,” ujar sang Putri ketika detik-detik hukum pancung akan
dilaksanakan. Para prajurit yang menuntun Ki Jabrig seketika berhenti. Para
saksi hukum pancung itu tercengang mendengar pernyataan itu.
“Tidak bisa! Ini harus
tetap dilakukan,” ujar Sultan.
“Aku yakin, Ki Jabrig
tidak berniat membunuh Ki Urip. Ia hanya membela diri. Hanya membela diri.
Jadi, tolong lepaskan dia. Bebaskan ia,” sang Putri menangis, “ini semua salahku,”
sambungnya lagi.
Semua mata tertuju pada
Putri. Tak disangka, ia menangis dihadapan para prajurit. Sultan menghela
napas. Tak bisa ia mengekang putrinya. Akhirnya, Sultan menerima permintaan
putrinya.
“Tapi, dengan satu syarat.
Jika, memang kamu seseorang yang sakti, tunjukkan kesaktianmu supaya aku tak
ragu jadi milikmu!”
“Dengan cara?” tanya Ki
Jabrig penasaran.
“Tawarkan air laut
Karangantu itu dalam jangka waktu semalam!”
Para penghuni kesultanan
terperangah mendengar pernyataan itu, sedangkan
Ki Jabrig hanya diam membisu. Ia mengangguk, tanda menyanggupi permintaan Putri.
Ki Jabrig meminta waktu selama lima hari sebelum ujian itu dilaksanakan. Ia
memohon izin agar dibolehkan pulang ke kampungnya kelahirannya di Gudang Batu.
Dan, dikabulkan.
Sesampainya di kampung, ia segera menghadap saudaranya, Bagil, untuk
meminta petunjuk atau saran dari masalah yang sedang dihadapinya. Karena kepada
siapa lagi hatinya hendak mengadu selain pada kakaknya yang sudah dianggap guru
spiritualnya—kedua orangtua sudah meninggal kala mereka masih kecil. Dan sejak
kecil pula keduanya hidup dengan alam, juga dengan jurus bandrong yang
diajarkan oleh mahaguru mereka, Ki Asmare.
“Pergilah dan bawalah obat ini untuk disebarkan ke dalam air laut,” sambil
menyerahkan bungkusan itu kepada Ki Jabrig.
Awalnya Ki Jabrig ragu untuk kembali ke kesultanan. Ia tak yakin dengan
hatinya. Juga dengan obat dari Bagil. Baru kali ini ada keragu-raguan yang
teramat dalam di batinnya. Padahal, Bagil adalah sosok yang tak pernah
diragukan kehebatannya—dalam hal apa pun.
“Kenapa kau masih di sini? Segeralah kembali ke kesultanan. Putri sudah
menunggu kejantananmu di sana,” suruh Bagil.
Belum genap lima hari, akhirnya Ki Jabrig memaksa untuk memantapkan
hatinya. Meskipun air muka dan langkahnya tampak masih ragu. Sore hari, ia pun
tiba di kesultanan untuk menebus kesalahannya.
Malam pun tiba. Ki Jabrig dikawal beberapa prajurit. Sultan dan Putri
membelakanginya dengan mengendarai kuda. Ini merupakan peristiwa langka dan
belum pernah terjadi semasa Kesultanan Banten.
Di pesisir laut Karangantu itu—sunyi senyap karena para penghuni kesultanan
sudah meninggalkannya—Ki Jabrig masih memerhatikan ikan-ikan bandrong tangkas
dan gesit. Ia masih tertarik melihat jarak lompatan mereka yang indah. Dan hal
itu benar–benar membuatnya semakin jatuh cinta. Namun di hatinya, ia ingin
segera cepat-cepat pergi dari tempat itu. Tapi bukan untuk segera menemui sang
Putri. Ada keganjalan hati yang aneh
yang tiba-tiba saja merasuki pikirannya. Wajah Putri hilang dari benaknya. Tak
ada lagi syarat itu. Syarat yang bergelayut di pundaknya. Sesuatu yang
barangkali hanya mimpi bila ia mampu melakukannya. Ya, hanya mimpi seorang
petarung.
“Tak mungkin laut ini bisa tawar hanya dengan menyebarkan obat-obat kecil
ini. Ini mustahil. Bagil pasti hanya bercanda. Paling hanya ikan-ikan yang ada
di laut itu yang akan mati.”
Tak ada sesiapa di sampingnya. Tak ada lagi apa-apa yang mengganggunya.
Dalam hatinya, ia tak rela bila ikan-ikan itu mati di tangannya. Tak ada cara
lain, selain ia menenggak sendiri obat itu ke dalam kerongkongannya.
Di atas pohon, Bagil tersenyum melihat saudaranya terkapar mati tak
berdaya. Dengan begitu, ia akan sangat mudah mendapatkan hati Putri untuk ia nikahi.
“Mampus!” ujarnya.
Serang, Juli 2013—Januari 2014
Keterangan:
Bandrong: nama silat asli Banten yang diambil dari nama
jenis ikan terbang yang sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau
dapat menyerang kerang dengan moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi
tajam sekali.
iki tah sing dikepengeni Putri:
ini yang diinginkan Putri.
Kang/Kakang: Panggilan untuk kakak laki-laki.
_______
Komentar
Posting Komentar