Esai | Bikini | Riau Pos, 25 September 2016

 



 

Beberapa waktu yang lalu media cukup heboh memberitakan produk "Bikini" alias "Bihun Kekinian". Produk yang dibuat oleh seorang mahasiswa bernama Pratiwi itu dinyatakan ilegal dan tidak terdaftar secara resmi. Selain itu, kemasan produk "Bikini" menimbulkan kontroversi karena diilustrasikan dengan pakaian seksi: pakaian dalam dan rok pendek di atas lutut. Lucunya lagi, di bagian rok pendek kemasan itu tertulis "Remas Aku!" yang bisa menimbulkan makna ambigu. Apa yang diremas? Mi atau bagian dalam gambar tersebut?

Produk yang awalnya hanya dijual via dalam jaringan (daring) itu kini bisa didapat juga di beberapa minimarket. Beberapa pembeliterutama ibu-ibuyang melihat makanan ringan itu merasa resah. Mereka khawatir barang tersebut dikonsumsi oleh anak-anak dan dianggap tidak baik untuk kesehatan jiwa anak. Saya rasa hal itu kekhawatiran yang wajar. Namun, coba kita lihat dari sisi lain. Pratiwi sebenarnya tak bermaksud demikian. Ia mencoba menawarkan sesuatu yang sebenarnya kreatif. Sayangnya, apa yang dilakukan Pratiwi itu dicap tak baik dan harus berurusan dengan kepolisian. Ah, kasihan sekali nasibmu, Nak!

Lain cerita, di tempat saya, tepatnya di pondok pesantren, ada juga kasus serupa. Kasusnya tak seheboh produk "Bikini". Produk tersebut bernama "Kerupuk Jablay". Kerupuk ini diproduksi oleh perusahaan kecil yang ada di salah satu kecamatan di Kabupaten Serang. Omzet produk ini pun cukup menjanjikan karena di beberapa warung kecil, sering saya jumpai keberadaannya. Nah, perbedaannya dengan "Bikini", produk ini tidak disertai gambar atau ilustrasi jablay. Kemasannya dibuat apa adanya, namanya juga produk dari desa. "Kerupuk Jablay" ini cukup dikenal oleh kalangan santri (pun guru) di pesantren. Mereka tak tabu menyebut “jablay” yang barangkali sebenarnya dalam hati mereka agak berat menyebut nama itu. Nyatanya, mereka pun terbiasa dengan kata itu. Hampir setiap hari mereka menyantap "jablay". Pikiran mereka tidak kotor karena otak mereka sudah merujuk kepada makanan, bukan lagi pada jablay yang dimaksud sesungguhnya. Mengapa dinamai “Kerupuk Jablay”? Barangkali, menurut sayasetelah beberapa kali menikmatinyarasa kerupuk ini memang sangat pedas. Konotasi pedas inilah yang mungkin merujuk pada jablay. Ah, mengapa tidak sekalian dinamai "Kerupuk Cabe-cabean" biar semakin pedas.

Baik, di tempat lain, di salah salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang (tempat istri), saya menemukan sesuatu yang unik. Ada sebuah warung bakso bernama "Bakso Bohay". Nama itu tertera di spanduk depan warung tersebut. Saya berkhayal, bagaimana rasanya makan bakso tersebut. Apakah yang menjual bakso itu perempuan seksi atau para pembelinya yang seksi? Atau makan bakso sembari ditemani perempuan seksi? Ah, rasanya terlampau jauh apa yang saya bayangkan. Saya cukup penasaran. Apalah daya, saya tak mampu menikmatinya karena sepertinya si empunya warung sedang mudik entah ke mana (warungnya ditutup). Sampai detik ini pun saya masih penasaran dengan bakso itu. Andai saja di spanduk ada ilustrasi bagaimana bohaynya bakso itu atau ada gambar perempuan seksi, saya bisa membayangkan isinya seperti apa. Ah, khayalan saya semakin menjadi-jadi.

Beralih ke media televisi, ada sebuah berita dari Liputan 6 Petang pada Sabtu, 6 Agustus 2016 berjudul Bihun Bikini Bikin Resah”. Tiba-tiba saja saya terhipnotis oleh rima konsonan B yang cukup puitis itu dan saya teringat pula dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam kaidah bahasa, penggunaan judul tersebut kurang tepat karena mengalami redundansi. Ada pengulangan kata bihun di situ. Seperti halnya kita berujar "Bank BRI". Ada pengulangan kata bank dalam ujaran tersebut: Bank Bank Republik Indonesia. Sesekali juga terjadi di sekolah, misalnya Kepala Sekolah SMA Anu. Padahal S pada SMA merupakan singkatan dari sekolah. Hal ini memang masalah klasik, tetapi tidak ada salahnya pula saya ingatkan kembali kepada Anda.

Kembali menyoal “Bikini”. Penggunaan diksi bikini sebagai akronim memang cukup unik. Sebelumnya saya juga pernah menulis tentang kata “mini” pada kasus “pertamini”. Akronim “pertamini” ini juga cukup menarik karena ia antitesis dari “pertamina”. Padahal tidak ada kaitan antonim antara mina dan mini. Hal ini merupakan inisiatif dan kreativitas seseorang dalam menciptakan bentukan akronim. Saya pun tak habis pikir, ada manusia semacam itu. Begitu pun dengan istilah "Bikini" milik Pratiwi ini.

Nah, persoalan yang menyangkut “Bikini” itu bukan terletak pada akronimnya, melainkan pada gambar dalam kemasannya. Kita sudah tahu, manusia Indonesia itu normatif. Apa-apa harus lurus. Padahal tak semua jalan lurus itu enak. Malah bisa bikin ngantuk. Sesekali kreativitas manusia harus menjerumuskan yang normatif itu agar manusia sedikit melek. Ah, apalah daya, apa-apa wajib disensor dan dibredel. Apa-apa dilarang. Apa-apa pornografi. Sabar, ya, Nak Pratiwi!

Baiklah, tak sepenuhnya juga saya membenarkan Pratiwi. Anak manis itu juga seharusnya sadar diri dan tahu aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Namun, saya juga tak sepenuhnya membenarkan tindakan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh pemerintah menanggapi persoalan ini adalah bagian dari tugas saja. Saya yakin, dalam hati kecil, mereka juga mengakui kreativitas yang dibuat Pratiwi. Saran saya, biarkan nama dan produk itu tetap ada, hanya ilustrasi kemasannya saja yang diganti. Akronim “Bikini” itu sangat menarik. Kelak, ia mampu mengalihkan logika kita dari pikiran yang benar-benar bikini (kotor dan jorok) menjadi hal lain, yakni makanan, seperti halnya “jablay” yang sudah saya sebutkan di atas. Seiring waktu berjalan, “Bikini” bisa saja masuk jajaran akronim yang disahkan oleh Badan Bahasa dan dimasukkan ke dalam kamus dengan lema dan makna baru. Pun masuk jajaran makna metonimia seperti merek lainnya yang sudah mendarah daging di pikiran kita (seperti Aqua yang mengacu kepada semua kemasan air mineral). Dalam sepak bola, bukankah ketika kita mendengar kata Ronaldo pasti tertuju kepada Ronaldo Portugal, bukan Ronaldo Brazil. Begitu pun dengan “Bikini”, semoga kelak kemasan itu laku dan tetap ada, maknanya sudah tak berkesan makna lama lagi (yang berkesan cabulitu), tetapi merujuk pada makanan yang gurih dan nikmat. Ah, saya bukan promosi. Saya tidak tahu apa-apa soal produk itu. Semoga kelak masih ada Pratiwi yang lain di Indonesia. Anak muda harus terus berkarya dan terus berkreativitas. Selamat berbikini!

 

Komentar