Beberapa waktu yang lalu media cukup heboh
memberitakan produk "Bikini" alias "Bihun Kekinian".
Produk yang dibuat oleh seorang mahasiswa bernama Pratiwi itu dinyatakan ilegal
dan tidak terdaftar secara resmi. Selain itu, kemasan produk "Bikini"
menimbulkan kontroversi karena diilustrasikan dengan pakaian seksi: pakaian
dalam dan rok pendek di atas lutut. Lucunya lagi, di bagian rok pendek kemasan itu tertulis
"Remas Aku!" yang bisa menimbulkan makna ambigu. Apa
yang diremas? Mi atau
bagian dalam gambar tersebut?
Produk
yang awalnya hanya dijual via dalam jaringan (daring) itu kini bisa didapat
juga di beberapa minimarket. Beberapa pembeli—terutama ibu-ibu—yang melihat makanan ringan itu merasa resah.
Mereka khawatir barang tersebut dikonsumsi oleh anak-anak dan dianggap tidak
baik untuk kesehatan jiwa anak. Saya rasa hal itu kekhawatiran yang wajar.
Namun, coba kita lihat dari sisi lain. Pratiwi sebenarnya tak bermaksud
demikian. Ia mencoba menawarkan sesuatu yang sebenarnya kreatif. Sayangnya, apa
yang dilakukan Pratiwi itu dicap tak baik dan harus berurusan
dengan kepolisian. Ah, kasihan sekali nasibmu, Nak!
Lain
cerita, di tempat saya, tepatnya di pondok pesantren, ada juga kasus serupa. Kasusnya
tak seheboh produk "Bikini". Produk tersebut bernama "Kerupuk
Jablay". Kerupuk ini diproduksi oleh perusahaan kecil yang ada di salah
satu kecamatan di Kabupaten Serang. Omzet produk ini pun cukup menjanjikan karena
di beberapa warung kecil, sering saya jumpai keberadaannya. Nah,
perbedaannya dengan "Bikini", produk ini tidak disertai gambar atau
ilustrasi “jablay”. Kemasannya dibuat apa adanya, namanya
juga produk dari desa. "Kerupuk Jablay" ini cukup dikenal oleh
kalangan santri (pun guru) di pesantren. Mereka tak tabu menyebut “jablay” yang
barangkali sebenarnya dalam hati mereka agak berat menyebut nama itu. Nyatanya,
mereka pun terbiasa dengan kata itu. Hampir setiap hari mereka menyantap
"jablay". Pikiran mereka tidak kotor karena otak mereka sudah merujuk
kepada makanan, bukan lagi pada “jablay” yang dimaksud sesungguhnya. Mengapa dinamai “Kerupuk
Jablay”? Barangkali, menurut saya—setelah beberapa kali menikmatinya—rasa
kerupuk ini memang sangat pedas. Konotasi “pedas” inilah yang mungkin merujuk pada “jablay”. Ah,
mengapa tidak sekalian dinamai "Kerupuk Cabe-cabean" biar semakin
pedas.
Baik,
di tempat lain, di salah salah satu kecamatan di Kabupaten
Tangerang (tempat istri), saya menemukan sesuatu yang unik. Ada sebuah warung
bakso bernama "Bakso Bohay". Nama itu tertera di spanduk depan warung
tersebut. Saya berkhayal, bagaimana rasanya makan bakso tersebut.
Apakah yang menjual bakso itu perempuan seksi atau para pembelinya yang seksi?
Atau makan bakso sembari ditemani perempuan seksi? Ah, rasanya terlampau jauh
apa yang saya bayangkan. Saya cukup penasaran. Apalah daya, saya tak mampu menikmatinya
karena sepertinya si empunya warung sedang mudik entah ke mana (warungnya
ditutup). Sampai detik ini pun saya masih penasaran dengan bakso itu. Andai
saja di spanduk ada ilustrasi bagaimana “bohaynya” bakso itu atau ada gambar perempuan seksi,
saya bisa membayangkan isinya seperti apa. Ah, khayalan saya semakin
menjadi-jadi.
Beralih
ke media televisi, ada sebuah berita dari Liputan
6 Petang pada Sabtu, 6 Agustus 2016 berjudul “Bihun Bikini Bikin Resah”.
Tiba-tiba saja saya terhipnotis oleh rima konsonan “B” yang
cukup puitis itu dan saya teringat pula dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Dalam kaidah bahasa, penggunaan judul tersebut kurang tepat karena mengalami redundansi.
Ada pengulangan kata bihun di situ.
Seperti halnya kita berujar "Bank BRI". Ada pengulangan kata bank dalam ujaran tersebut: Bank Bank Republik Indonesia. Sesekali
juga terjadi di sekolah, misalnya “Kepala Sekolah SMA Anu”.
Padahal S pada SMA merupakan singkatan dari sekolah.
Hal ini memang masalah klasik, tetapi tidak ada salahnya pula saya ingatkan
kembali kepada Anda.
Kembali
menyoal “Bikini”. Penggunaan diksi bikini sebagai akronim memang cukup unik.
Sebelumnya saya juga pernah menulis tentang kata “mini” pada kasus “pertamini”.
Akronim “pertamini” ini juga cukup menarik karena ia antitesis dari
“pertamina”. Padahal tidak ada kaitan antonim antara “mina” dan “mini”. Hal
ini merupakan inisiatif dan kreativitas seseorang dalam menciptakan bentukan
akronim. Saya pun tak habis pikir, ada manusia semacam itu. Begitu pun dengan
istilah "Bikini" milik Pratiwi ini.
Nah,
persoalan yang menyangkut “Bikini” itu bukan terletak pada akronimnya,
melainkan pada gambar dalam kemasannya. Kita sudah tahu, manusia Indonesia itu
normatif. Apa-apa harus lurus. Padahal tak semua jalan lurus itu enak. Malah
bisa bikin ngantuk. Sesekali
kreativitas manusia harus menjerumuskan yang normatif itu agar manusia sedikit
melek. Ah, apalah daya, apa-apa wajib disensor dan dibredel. Apa-apa dilarang.
Apa-apa pornografi. Sabar, ya, Nak Pratiwi!
Baiklah,
tak sepenuhnya juga saya membenarkan Pratiwi. Anak manis itu juga seharusnya
sadar diri dan tahu aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Namun, saya juga tak
sepenuhnya membenarkan tindakan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh pemerintah
menanggapi persoalan ini adalah bagian dari tugas saja. Saya yakin, dalam hati
kecil, mereka juga mengakui kreativitas yang dibuat Pratiwi. Saran saya,
biarkan nama dan produk itu tetap ada, hanya ilustrasi kemasannya saja yang
diganti. Akronim “Bikini” itu sangat menarik. Kelak, ia mampu mengalihkan
logika kita dari pikiran yang benar-benar bikini (kotor dan jorok) menjadi hal
lain, yakni makanan, seperti halnya “jablay” yang sudah saya sebutkan di atas.
Seiring waktu berjalan, “Bikini” bisa saja masuk jajaran akronim yang disahkan
oleh Badan
Bahasa dan dimasukkan ke dalam kamus dengan lema dan makna baru.
Pun masuk jajaran makna metonimia seperti merek lainnya yang sudah mendarah
daging di pikiran kita (seperti Aqua yang mengacu kepada semua kemasan air
mineral). Dalam sepak bola, bukankah ketika kita mendengar kata “Ronaldo” pasti
tertuju kepada “Ronaldo Portugal”, bukan
“Ronaldo
Brazil”.
Begitu pun dengan “Bikini”, semoga kelak kemasan itu laku dan tetap ada,
maknanya sudah tak berkesan makna lama lagi (yang berkesan “cabul” itu),
tetapi merujuk pada makanan yang gurih dan nikmat. Ah, saya bukan promosi. Saya
tidak tahu apa-apa soal produk itu. Semoga kelak masih ada Pratiwi yang lain di
Indonesia. Anak muda harus terus berkarya dan terus berkreativitas. Selamat “berbikini!”
Komentar
Posting Komentar