Oleh Encep Abdullah
Dalam hidup ini, menyapa atau disapa merupakan siklus rutinitas yang tidak bisa dihindari dalam keseharian kita. Di setiap penjuru dunia, baik di kampung, di sekolah, di kantor, maupun di warung-warung kopi, sapaan merupakan bagian utama manusia sebelum memulai percakapan atau berkomunikasi. Ya, meski ada pula sebagian orang yang langsung memulai tanpa sapaan—barangkali mereka yang sudah akrab. Akan tetapi, ya, sakrab-akrab karib, sapaan tetap menjadi bagian penting agar tak berkesan dusun atau tak santun.
Beberapa peristiwa baik yang dialami sendiri maupun bagian dari diskusi dengan beberapa siswa, rekan, dan guru—barangkali juga Anda—fenomena sapaan ini cukup menarik juga untuk dibahas. Salah satunya, iseng-iseng saya pernah mencoba berganti-ganti pakaian ketika saya membeli bensin di pom[pa]. Kali pertama saya mengenakan batik. Sontak saja, karyawan atau pelayan di pom[pa] bensin itu menyapa, “Berapa liter, Pak?” begitu pun di beberapa tempat lainnya. Barangkali batik menunjukkan sesuatu yang dewasa meski tubuh saya kecil dan kerempeng. Saya sengaja melakukan eksperimen ini karena wajah saya terlihat seperti anak kecil padahal sudah berumur dan berisitri.
Baik, lain hari saya berganti pakaian biasa. Saya kembali ke pom[pa] bensin yang sama. Kali ini saya mengenakan celana Jeans panjang dan jaket biasa. Sontak saja karyawan atau pelayan di pom[pa] bensin itu menyapa, ”Berapa liter, Mas?” Saya pun tersenyum. Besok apalagi ya...? Beberapa hari kemudian saya kembali beraksi. Kali ini saya mengenakan kaus dan celana pendek. Karyawan itu senyum-senyum sendiri, barangkali wajah saya masih terngiang di kepalanya, tetapi dengan pakaian yang berbeda. Karyawan—yang sama— itu menyapa kembali, “Berapa liter, Dek?” Aih, dalam hati saya, kok bisa begini, ya, sembari menyombongkan diri, “Wah, berarti saya ini awet muda juga kalau berpakaian seperti ini.”
Begitupun peristiwa kemarin ketika saya mengantarkan anak didik saya (SMK) praktik atau PKL di salah satau instansi Pemerintah Provinsi Banten. Beberapa orang di kantor menyapa saya dengan sapaan yang berbeda. Yang satu, “Ada apa, Pak?” yang satu lagi, “Ada perlu apa, Dik?”, dan yang satunya lagi “Ada perlu apa, Mas?” Mereka pun bingung mau memanggil saya apa. Setelah mereka tahu kalau saya guru, mereka pun serempak menyapa saya, “Pak.” Dari beberapa peristiwa ini, saya simpulkan sendiri, alangkah mudahnya mengelabuhi seseorang hanya dengan tampilan luarnya saja. Sebegitu pentingkah model pakaian dan sapaan?
Berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, beberapa hari yang lalu salah seorang siswa bertanya—waktu itu saya sedang menjelaskan penulisan surat. Dalam menulis surat, ada penulisan alamat yang kadang masih keliru, misalnya Yth. Bapak Kepala SMAN 1 .... Penulisan alamat surat ini—dalam Bahasa Indonesia—mengalami pleonasme. Kata Bapak dalam alamat itu seharusnya dihilangkan. Saya menjelaskan kepada siswa sesuai dengan apa yang saya baca. Beberapa siswa tidak setuju karena mereka mengatakan hal tersebut tidak sopan. Salah seorang siswa itu pun menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah menjadi MC di sekolahnya. Lalu, ia menyapa kepala sekolahnya tanpa sapaan Bapak. Salah seorang guru nyeletuk kalau hal tersebut kurang sopan. “Jadi, seharusnya bagaimana, Pak? Saya bingung!” ujar siswa itu lagi.
Barangkali, saya sebenarnya pun seia-sekata atas pernyataan siswa itu. Kadang-kadang dalam ujaran lisan, tanpa menyebut kata Bapak atau Ibu kepada orang yang lebih tua baik berpangkat rendah maupun tinggi dalam suatu acara atau pertemuan memang dirasa kurang santun. Akhirnya—meski tahu bahwa itu pemborosan kata dalam Bahasa Indonesia— tetap saja dilabrak demi rasa kesantunan itu. Saya pun hanya bisa menjawab begini kepada siswa itu.
“Bolehlah kata Bapak itu digunakan dalam ujaran lisan, tetapi tolong jangan dipilih ketika berkaitan dengan media tulis, terutama soal-soal ujian. Karena sehebat apa pun pendapat kamu, jawaban kamu akan tetap salah. Lumayan, satu soal kan bisa menambah nilai.”
Beberapa siswa pun mengangguk. Entah mereka menerima atau bingung.
Sapaan dalam bahasa Indonesia memang cukup pelik. Seperti yang pernah dibahas oleh salah seorang kawan di kompasiana.com—saya lupa namanya. Bentuk sapaan di Indonesia cukup banyak. Hal ini kadang cukup menyulitkan bagi orang asing kala belajar sapaan bahasa Indonesia. Mereka harus menyesuaikan dengan situasi, kondisi, serta usia mitra tutur mereka. Sapaan yang berjibun itu antara lain bisa Abang, Akang, Adek, Mbak, Mas, Bapak, Ibu, Anda, atau Saudara. Bagaimana cara orang asing itu menentukan usia mitra tutur mereka, sedangkan pakaian dan wajah tak menjamin usia lawan bicara itu tua atau muda, perjaka atau tidak. Alhasil, banyak orang mendadak berkamuflase—dengan pakaian atau apa pun—hanya untuk mendapatkan sapaan yang pantas dan bermartabat. Ah, sepenting itukah sapaan?
Encep Abdullah, aktivis Kubah Budaya. Duta Cabe-cabean.
Komentar
Posting Komentar