Oleh Encep Abdullah
Pertama, kita awali dengan basmalah!
Kebanyakan penulis lupa berdoa sebelum menulis. Seolah dianggap tak penting. Padahal, berdoa berarti ada nilai luhur di sana, yakni spiritual. Apa yang Anda tulis akan dibaca banyak orang. Tulisan Anda sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap diri Anda dan orang lain. Setidaknya, dengan berdoa, apa yang Anda tulis punya energi dan ruh yang berbeda karena Tuhan berperan di sana. Kalau Anda nonmuslim, berdoa sesuai keyakinan Anda. Kalau Anda ateis, berdoa dengan ketidakateisan Anda.
Kedua, apa yang dilihat di sekitar Anda?
Sering kali kita abai terhadap sesuatu yang terlihat di sekitar kita. Padahal, setiap apa yang kita lihat bisa jadi tak akan terulang lagi, seperti halnya momentum seorang fotografer yang melihat keunikan seekor burung “nangkring” di pohon. Bisa jadi besok tidak ada lagi peristiwa itu. Oleh sebab itu, dengan cepat dan tanggap, seorang fotografer harus langsung menjempretnya. Begitu juga saat Anda hendak menulis. Dulu, saya sering mencatat langsung di HP dan buku catatan terkait hal-hal kecil yang terjadi di sekitar saya. Seperti halnya fotografer tadi, mencatat momentum. Tidak harus utuh, bisa berupa potongan-potongan pikiran yang mungkin sepintas lewat dalam pikiran. Karena, tidak semua peristiwa bisa langsung dieksekusi menjadi tulisan utuh. Untuk beberapa hal, kadang saya tulis di SW atau Facebook. Kelak, nanti jadi bahan untuk ditulis.
Ketiga, apakah Anda merenungi setiap peristiwa yang dialami?
Setiap orang punya pengalaman yang berbeda sekalipun peristiwanya sama, misalnya pengalaman “ditolak cewek” atau hal-hal metafisik seperti salat, puasa, haji, dst. Perbedaannya, yang membuat pengalaman itu menjadi berharga terletak pada kontemplasinya. Coba Anda perhatikan para filsuf, para sufi, para sastrawan, misalnya. Mereka itu para perenung sejati. Mereka merefleksikan setiap peristiwa, bahkan hal-hal kecil yang luput dari pengamatan orang pada umumnya. Seperti halnya pernyataan Sokrates yang terkenal itu: “Hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak untuk dijalani”. Beberapa buku yang saya tulis juga berangkat dari apa yang saya alami dan renungi. Bagaimana lika-liku pertarungan saya selama belasan tahun menekuni dunia kepenulisan dan komunitas. Bahkan, saya juga menulis buku catatan pernikahan dan tingkah laku anak-anak saya yang menurut saya itu sangat berharga untuk diabadikan, bahkan banyak orang yang suka—padahal menurut saya, itu cerita receh dan sempat ditegur oleh Arip Senjaya karena harusnya saya tidak menulis buku macam begitu. Tapi, semua itu proses, juga momentum yang memang refleksi saya sedang seputar itu. Saya tidak menyesali setiap karya yang saya lahirkan. Jadi, mulai saat ini rajin-rajinlah Anda memeriksa, merenungi, merefleksikan setiap peristiwa yang Anda alami. Jangan disimpan sendiri, tapi sebarkan kepada publik.
Keempat, bertanyalah kepada diri sendiri, buku apa yang sudah Anda baca?
Bila Anda terlahir dari orang tua yang berpendidikan dan literat, selamat, berarti langkah Anda bisa lebih mudah sebelum menuliskan sesuatu. Anda yang terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca, saya yakin akan berbeda cara berpikirnya. Saya selalu percaya itu karena saya juga mengajar di dua sekolah yang berbeda, yang tingkat literasinya juga berbeda. Yang satu, penduduknya doyan baca. Yang kedua, tidak terlalu suka—biasa saja (untuk tidak mengatakan cuek). Perbedaannya sangat kontras, baik mental, cara berpikir, berbicara, maupun menulisnya. Ada satu murid saya, dia badung, jarang masuk kelas, jarang mengerjakan tugas, tapi dia rajin baca. Saat saya kasih tugas menulis, kebetulan dia menulis esai, tulisannya sangat bagus dan filosofis. Karena badung, saya tidak terlalu banyak tahu tentang anak ini. Lalu, saya tanya “Kok bisa kamu menulis dan berpikir semacam ini?” Ia menjawab “Mungkin karena banyak baca buku kali ya, Pak.” Walaupun dia sendiri tidak yakin, saya sangat yakin memang itu salah satu faktor utamanya. Orang-orang yang tidak membaca buku, biasanya pikirannya semrawut dan berantakan saat menyusun kalimat. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Lalu, bagaimana dengan Anda yang memang tidak terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca? Stop sekarang! Mulai saat ini, mulailah dari diri Anda! Jadilah pembaca buku sebagai upaya pengembangan diri bahkan perintah Tuhan “Iqra”—walaupun artinya sangat luas, tidak hanya membaca buku.
Kelima, karya apa yang pernah Anda tulis?
Masa SMA saya senang menulis puisi dan diary—salah satu efek jatuh cinta melanda saya saat itu. Saya menulis secara acak dengan bahasa apa adanya. Kalau saya baca ulang, saya menemukan diri saya yang “alay”, “masa puber”, bahkan “menjijikan”. Tapi, itu proses. Bagi saya, tidak ada karya yang buruk selama sedang berproses. Beda cerita bila Anda sudah bertahun-tahun menulis, tapi tidak ada perubahan sedikit pun pada karya Anda, berarti Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh, atau tidak konsisten/istikamah dengan benar, atau tidak totalitas, atau memang tidak punya bakat (?)—mungkin kita bisa mendiskusikannya di luar tulisan ini: tentang bakat dan keterampilan, Anda percaya mana?
Keenam, ingat-ingatlah pesan Buya Hamka—saya kutip dari film Buya Hamka 2:
”... mengaranglah dengan ilham, tulislah apa yang kau lihat, yang kau alami, yang kau rasakan. Nah, setelah itu, baru lengkapi dengan bacaan.”
***
Tentang esai, kalau Anda belum tahu siapa bapak esai pertama, saya kasih tahu, ia bernama Michel de Montaigne yang hidup di abad ke-16 (1533-1592). Pria berkebangsaan Prancis ini menerbitkan buku berjudul Essais pada tahun 1580 yang kemudian dilanjutkan oleh penulis Inggris Francis Bacon tahun 1597 dengan kemasan lebih ringkas dibandingkan dengan tulisan Montaigne. Kemudian, bermunculan esais setelahnya, di antaranya John Locke (abad ke-17), Immanuel Kant (abad ke-18), Charles Baudelaire (abad ke-19), George Orwell (abad ke-20), dan Albert Camus (abad ke-20). Di Indonesia ada Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jasssin, Goenawan Muhamad, Soekarno, Budi Darma, Gusdur, Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Eka Kurniawan, hingga yang kekinian Iqbal Aji Daryono.
Kata essayer dalam bahasa Prancis (atau essay dalam bahasa Inggris) berarti ‘percobaan’ atau ‘usaha’. Hampir keseluruhan isi buku Montaigne adalah berbicara tentang diri sendiri, bahkan ia mengatakan "Saya sendiri adalah persoalan dari buku saya". Mungkin pernyataan ini bisa kita renungkan bersama. Sebagaimana yang disampaikan Agus R. Sarjono dalam sebuah pengantar buku Horison Esai Indonesia Kitab 1. Singkatnya begini: (1) Anda menulis sastra, fokus Anda pada subjek dan kaidahnya [objek dikesampingkan]; (2) Anda menulis karya ilmiah, fokus Anda pada objek dan kaidahnya [subjek dikesampingkan]; (3) Anda menulis esai, fokus Anda pada subjek dan objeknya [kaidah dikesampingkan]. Artinya, yang disampaikan Montaigne “Saya sendiri adalah persoalan ...” karena memang diri Anda yang menjadi subjek dan objek untuk dituliskan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ignas Kleden dalam penutup Horison Esai Indonesia Kitab 2 bahwa esai mempunyai posisi yang unik karena ia membuka dirinya terhadap objektivitas maupun subjektivitas.
Apa kira-kira yang ada dalam diri Anda tentang subjek dan objek ini, tidak lain adalah diri Anda dan pengalaman Anda (yang direfleksikan). Boleh jadi Anda memadukan antara sesuatu hal yang sudah terjadi, sedang terjadi, atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Barangkali inilah yang disebut “percobaan” atau “upaya” itu. Biar tidak panjang lebar, mari kita baca contoh potongan esai para penulis berikut.
_________
“Imajinasi yang kuat menciptakan peristiwa itu sendiri,” kata para sarjana. Saya termasuk orang yang merasakan kuatnya kekuatan imajinasi. Semua orang terkena dampaknya, tetapi ada yang sampai tumbang olehnya.
Imajinasi meninggalkan bekas yang dalam pada diri saya; saya tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Maka, keahlian saya hanyalah menghindarinya—dengan cara hidup di antara orang-orang yang sehat dan ceria. Melihat penderitaan orang lain dapat menimbulkan penderitaan fisik dalam diri saya; perasaan saya kerap dikuasai oleh perasaan orang lain. Orang yang batuk terus-menerus bisa membuat paru-paru dan tenggorokan saya ikut teriritasi. Saya lebih enggan mengunjungi orang sakit yang wajib kukunjungi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu kukenali atau kusayangi. Ketika saya memperhatikan penyakit, saya justru ikut terkena dan seakan menanamkannya ke dalam tubuh saya sendiri. Saya tidak heran jika imajinasi membawa demam dan kematian bagi mereka yang memberi jalan dan ruang sepenuhnya padanya. (Michel de Montaigne dalam esai “Kekuatan Imajinasi” [Essais Volume I])
_________
Pada masa kecil memang saya menghafal, tetapi bukan dalam bahasa Ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebiasaan saya itu. Ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan menghafal tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sebuah suatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku di mana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa dihafalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak. (Tan Malaka dalam ”Pendahuluan [buku] MADILOG”)
_________
Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi dan cahayanya. Lalu, bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hasanuddin sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing (tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokannya dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana. (Agus R. Sarjono dalam esai ”Laut, Komodo, Sastra” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])
_________
Sejumlah santri senior menghadap kiai. Perkara yang mereka bawa sudah gawat. Sudah diambang batas toleransi. Maka, jalan keluar harus ada demi nama baik pesantren.
”Kia,” kata salah seorang santri. ”Kita mesti bertindak sekarang juga.”
Kiai yang sudah tua itu manggut-manggut. Wajahnya memancarkan sikap simpati yang dalam pada perjuangan para santri. Upaya mempertahankan tegaknya kewibawaan pesantren memang luhur. Mengapa barang luhur tak harus didukung?
”Bukan apa-apa, Kiai,” sambung yang lain. ”Dia sudah keterlaluan.”
Kiai masih manggut-manggut.
”Apa perlu dia kami panggil menghadap kiai?” tanya santri yang lain lagi.
”Tidak, ” sahut kiai kalem.
”Lho?” para santri kaget. ”Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”
(Mohamad Sobari dalam esai ”Anak Nakal” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])
_________
Rasa tidak tegaan yang terlalu cengeng dan bekal hidup berupa rasa bersalah di dalam jiwanya kepada Tuhan yang terlalu dimendalam-mendalamkan, membuat Markesot mengambil kuda-kuda rohani dan takaran sosial seolah-olah ia seorang Nabi, atau sekurang-kurangnya seorang Wali.
Tetapi sama sekali tidak dengan bekal ilmu, kekuatan mental, kualitas rohani dan kecerdasan sejarah sebagaimana layaknya Tuhan menganugerahkan kepada utusan-utusan-Nya. Markesot bahkan bukan orang istimewa yang memiliki keunggulan atas sesama orang awam pun. Markesot tidak punya keunggulan ilmu, pengetahuan, kepandaian atau kehebatan-kehebatan apapun.
Aslinya terus terang bahkan Markesot tidak cukup berpendidikan. Di Pesantren hanya satu-dua tahun, sekadar diajari alif ba ta ditambah beberapa mahfudlat dan satu dua ayat dan hadits. Jangan sekali-sekali mempersoalkan apakah dia belajar Kitab Kuning, mengetahui khazanah ilmu-ilmu agama dari abad ke abad, atau apakah dia mengerti nahwu sharaf. Sebab jawabannya sangat terang benderang: sama sekali tidak. (Emha Ainun Nadjib dalam esai ”Markesot Patah Hati”, 31 Maret 2016, https://www.caknun.com/2016/markesot-patah-hati/)
_________
Ceritanya, ada dua kawan cewek sedang ngobrol. Saya nguping. Persis ketika obrolan mereka menyerempet topik bau badan, mereka ngikik bersama. Tapi tiba-tiba keduanya lekas menyetop tawanya, waktu sadar saya sedang di dekat mereka!
Saya merasa sedang membaca kode gamblang semacam: “Eh orangnya di sini!”
Cleguk! Bau ketek! Asemmm! Setengik itukah ketek saya??
Dengan panik, segera saya mencari kepastian. Saya bertanya ke orang-orang terdekat. Tentu emak saya yang paling bisa saya tanyai. Dan ternyata, segalanya terkonfirmasi. Ini benar-benar aib tak tertanggungkan.
Mekanisme konfirmasi atas bau ketek itu memang vital dan mendasar. Kita telah kehilangan jarak objektif dengan tubuh kita sendiri. Kita tidak bisa menilai badan kita, terutama perkara bau. Manusia dibekali kemampuan berdaptasi yang terlalu sempurna atas bau. Bau busuk yang terus-menerus Anda hirup lama-lama akan netral saja di hidung Anda. (Iqbal Aji Daryono dalam esai ”Bau Ketek, Akar Konflik Sosial Paling Serius”, 3 November 2019, https://mojok.co/esai/bau-ketek-akar-konflik-sosial-paling-serius/#goog_rewarded)
_________
Menulis esei? Tentu saudara bisa, asal mau. Jangan kuatir yang penting bagi seorang esais atau kritikus hanyalah kelihatan pandai. Untuk kelihatan pandai Saudara dapat menempuh jalan cepat. Bukankah kita mempunyai kebudayaan ingin cepat mendadak, asal jangan sakit mendadak atau melarat mendadak? Saudara tidak perlu heran mengetahui bahwa sulap sudah diangkat menjadi saudara kandung sastra. Untuk kelihatan pandai Saudara bisa main sulap. Buatlah esei dengan kutipan dari sini situ, dari pengarang ini itu. Kalau perlu premis esei Saudara pun dapat Saudara mulai dengan kutipan entah dari mana, yang dapat memberi kesan bahwa Saudara pandai .... Atau Saudara pun dapat mengutip dari sana-sini yang memang benar-benar pernah diucapkan oleh orang ini dan itu, tapi lupakanlah konteksnya. Saudara tidak perlu merasa mengecoh, karena memang Saudara mengecoh. Saudara tidak perlu merasa pandir, karena Saudara kelihatan pandai. Dan membaca banyak tidak mempercepat Saudara mengetahui sesuatu. Membaca sedikit di sini sedikit di sana, melompat ke sini dan melompat ke sana, tentu lebih menyenangkan karena mendadak Saudara tahu banyak. (Budi Darma dalam esai ”Pemberontak dan Pandai Mendadak” [Solilokui, Gramedia, 1983])
Barangkali esai tidak mengenyangkan—sebagaimana Francis Bacon bilang bahwa lebih sekadar butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan. Setidaknya, esai bisa jadi teman ngobrol santai. Merefleksikan bersama tentang pengalaman dan segala kemungkinan dalam hidup. Meski sering kali, ia juga cerewet, jahil, nakal, sinis, bahkan humoris. Semua bergantung kepribadian si penulisnya. Bahkan, ada esai yang sengaja dimumet-mumetin biar terlihat keren dan sengaja bikin orang pusing. Nah, kamu lebih suka yang mana dan mau menulis model esai yang bagaimana?
Kiara, 24 September 2025
Tentang penulis klik di sini!
____________________
Tulisan ini adalah materi yang disampaikan dalam acara Diklat Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra) FKIP Untirta pada Sabtu, 27 September 2025 di Vila Bukit Cibetik, Taktakan, Serang.
Komentar
Posting Komentar