Esai | Kalau Semua Guru Honorer Jadi PNS, Indonesia Lekas Hancur

Oleh Encep Abdullah


Berbicara guru honorer, lika-liku hidupnya seolah menjadi bahan empuk untuk diwacanakan para jurnalis dan netizen. Namun, sayang, kadang yang diberitakan selalu berkaitan dengan keluhan kesejahteraan. Seolah guru honorer itu lemah syahwat dalam mencari rupiah. Misalnya, belakangan ini ada video viral yang diunggah akun Tiktok @hermyyusita tentang gaji suaminya yang seorang guru honorer. Dalam video itu, ia menyertakan penghasilan suaminya, tanggal 15 Agustus 2021, sebesar Rp315.000. Di sana dirinci: honor Kepala Lab IPA sebesar Rp150.000, honor mengajar 6 jam sebesar Rp120.000, honor pengabdian nol, honor wali kelas nol, tambahan transportasi sebesar Rp45.000. Terakhir dipotong angsuran koperasi sebesar Rp100.000, dan potongan sosial Rp2.000.  Maka, honor akhir sebesar Rp213.000. Video ini pun ditonton 383 ribu kali dengan caption “Nasib Guru Honorer, Kerjaan Serius, Gajinya Main-Main”. Media massa pun ikut meliput dengan memberi judul (1) Miris! Istri Guru Perlihatkan Jumlah Gaji Suaminya, (2) Jumlahnya Bikin Nyesek,Viral Guru Honor yang Curhat Soal Gaji Hanya Rp 315 rb per bulan.

Kalau Anda perhatikan dengan saksama, suami si mbak itu hanya mengajar 6 jam pelajaran saja. Pekerjaan yang mungkin bisa dilakukan hanya dalam waktu satu hari dalam seminggu. Wajar bila penghasilannya sedikit. Coba bandingkan misalnya 6 jam pelajaran itu ia lakukan setiap hari (mengajar 3 kelas per hari) dalam seminggu, misalnya Senin—Jumat, maka ia mendapatkan 30 jam pelajaran. Maka, honornya Rp600.000 per bulan. Itu kalau kelasnya banyak. Kalau sedikit, apa boleh buat, barangkali honor tambahan bisa didapatkan dengan cara mengajar di sekolah lain atau seperti yang sudah ia miliki, jabatan fungsional sebagai Kepala Lab IPA di sekolah—honorarium ini tentu disesuaikan dengan kebijakan sekolah masing-masing.

Kalau berbicara miris, ya memang miris. Tapi, coba kita bedah bersama. Kalau saya ada pada posisi itu, tentu saya tidak akan memublikasikannya kepada khalayak karena hanya akan membuat saya kufur nikmat. Selain itu, memublikasikan struk penghasilan pribadi macam ini rasanya kurang pantas, bahkan merendahkan diri—bukan bentuk kepercayaan diri. Buat apa memberi tahu orang banyak tentang penghasilan saya.

Kesejahteraan suami Mbak Yusita tidak bisa dipaksakan dengan cara kerja minimal, pendapatan maksimal. Saya pun dulu terjebak dengan kemiskinan macam ini. Saya merasa bahwa penghasilan bulanan saya sedikit. Saya hanya mendapatkan Rp150.000 per bulan. Saat honorarium pertama, amplopnya pun hilang. Sehari kemudian, ibu saya menemukan amplop itu. Sudah kecil, hilang pula. Jangan-jangan itu bukan rezeki saya. Saya anggap itu rezeki ibu saya. Saya tidak ambil sepeser pun dari uang itu. Saya tidak mau uangnya kecil, berkah pun tidak ada. Saya introspeksi diri. Wajar saya mengajar dengan honor kecil karena kerja saya memang sedikit, pun tidak punya jabatan fungsional apa pun di sekolah. Tok, hanya mengajar. Itu pun sudah dibantu mengajar di sekolah lain, pun sama dengan honor Rp150.000. Saya mencari selebihnya di tempat bimbel. Di sini pendapatan saya lumayan kisaran Rp500.000—Rp1.000.000, tapi dengan kerja yang maksimal, juga jarak yang cukup jauh: Serang, Cilegon, Pendeglang, Rangkas, Tangerang, pernah juga ke Bekasi dan Indramayu. Sampai akhirnya, lima tahun tahun saya mengajar, saya menyerah. Tubuh saya meminta istirahat. Akhirnya berhenti total dari bimbel. Walaupun beberapa kawan menyayangkan saya berhenti karena honor sudah naik, yang awalnya per kelas Rp25.000, lima tahun berjalan sudah hampir Rp50.000. Tapi, saya putuskan harus keluar—awalnya sih cuti, tapi lama-lama keenakan.

Selebihnya, saya mencari penghasilan lagi dengan menulis. Untuk kebutuhan sehari-hari saya rasa cukup, tapi untuk memenuhi gaya hidup perlu dirincikan dengan matang. Oleh sebab itu, perlu kiranya kita berpikir jernih sebelum langsung mempercayai caption Tiktok “Nasib Guru Honorer: Kerjaan Serius, Gajinya Main-Main”. Kita tidak pernah tahu seserius apa suami si mbak itu dalam bekerja dan semain-main apa gaji yang diberikan kepadanya.

Coba kita rehat sejenak, berkaca dari kisah sosok guru honorer asal Lamongan yang empat bulan terakhir ini ramai dibicarakan: Andik Santoso. Lelaki ini viral setelah masuk di Kanal YouTube “Purnomo Belajar Baik” milik seorang polisi, Aipda Purnomo. Dalam video itu, Pak Pur memberikan hadiah sebuah motor trail kepada Andik, guru honorer yang sudah mengabdi selama 17 tahun di pedalaman SDN Jipurapah 2, Kedung Dendeng, Kec. Plandaan, Jombang. Selama 17 tahun mengabdi, Andik sudah sembilan kali berganti sepeda motor (bekas). Lantaran medan jalan—berjarak 11 km—dari rumahnya menuju ke sekolah itu sangat terjal, licin, dan ekstrem, bahkan ia harus melewati hutan-hutan dan juga tiga sungai tanpa jembatan. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu 1,5 jam. Itu pun kalau cuaca panas. Kalau selepas hujan, bisa ditempuh hingga 2—3 jam karena jalan berlumpur. Medan inilah yang membuat sepeda motornya cepat rusak. Andik mendapatkan honorarium Rp300.000 per bulan. Padahal, untuk bolak-balik saja butuh bensin Rp30.000. Bila dikaitkan dengan honornya, tentu buat kebutuhan sehari-hari jeblok. Namun, ia menyiasati diri dengan cara membawa kayu bakar setiap kali pulang mengajar. Kayu bakar itu dijual lagi untuk kebutuhan beli bensin besoknya. Saat diwawancarai Pak Pur, keinginan utama Andik bukanlah diangkat menjadi PNS, tapi akses jalan yang layak. Di sinilah letak perjuangannya, letak kesatrianya, letak kepahlawananannya.

Untuk memastikan diri dan mencari tahu pengalaman di luar sana, saya memberanikan diri mengirim kuesioner kepada beberapa rekan guru honorer dan mantan guru honorer. Jawaban mereka sangat membuka batin saya. Sebagian besar menjawab kebutuhan belum terpenuhi, sebagiannya lagi menjawab tepenuhi, bahkan lebih. Yang membuat saya tersentuh bukan jawaban seberapa besar materi yang mereka dapatkan, melainkan jawaban tentang ketulusan mereka mengajar. Kalau saya bagi, ada beberapa model karakter guru honorer: (1) mengajar maksimal, honor maksimal ; (2) mengajar minimal, honor maksimal, (3) mengajar minimal, honor minimal, (4) mengajar maksimal, honor minimal.

Di sini Anda bisa menganalisis sendiri, misalnya Pak Guru Andik ada di posisi mana, Mbak @hermyyusita dan suaminya ada di posisi mana, juga saya dan kawan-kawan yang ada dalam lampiran tabel di akhir tulisan ini pun ada di posisi mana. Saya hanya menyimpulkan bahwa bila saya ada di posisi (1), saya mendapat keseimbangan antara keringat yang dikeluarkan dan materi yang didapat. Bila saya ada di posisi (2), saya merasa mendapatkan materi yang kurang berkah karena tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan. Bila saya ada di posisi (3), sama halnya seperti nomor pertama, adil, impas, sesuai keringat dengan materi yang didapat. Bila  saya ada di posisi (4), saya akan menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan dengan syarat apa yang saya kerjakan semata hanya ibadah, ikhlas, bukan semata mencari materi, juga harus yakin bahwa honor yang minimal itu sebenarnya besar, hanya Allah menyimpannya untuk tabungan saya di masa mendatang, kalaupun bukan materi, bisa jadi diganti dengan kesehatan, kebahagiaan, dan keimanan yang bertambah dalam hidup saya.

Selama berstatus guru honorer, saya tidak merasa bahwa saya menderita sebagai guru honorer. Saya merasa merdeka dengan honorarium berapa pun yang saya dapatkan. Tapi, sebagai manusia, wajar ada rasa jenuh, kepengin berganti profesi. Pikiran semacam itu sekali-dua kali terlintas bila ada kerjaan administrasi sekolah yang menumpuk. Saya senang mengajar, tapi saya tidak senang dibebani banyak urusan administrasi. Maka, karena saya tahu menjadi PNS itu banyak beban administrasi, saya kurang begitu terobsesi menjadi PNS atau ASN PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Seperti kata Yudi Damanhuri, “Tetaplah jadi guru honorer. Kalau jadi PNS semua, Indonesia lekas hancur” yang kemudian saya jadikan sebagai judul tulisan ini.

Saya tetap bangga sebagai guru honorer. Saya merasa justru akhir-akhir ini lebih diperhatikan pemerintah, terutama di masa Pandemi Covid-19 ini. Guru honorer mendapat Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar 1,8 juta (sekali cair) melalui Kemedikbud Ristek RI. Oh, iya, kabarnya pemerintah akan kembali memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahap ke-2 khusus guru honorer atau non PNS yang terdampak Pandemi Covid-19 yang berada di area PPKM level 3 dan 4. Bantuan ini ditargetkan untuk dua juta guru honorer dan pengajar Seni Budaya. Rencananya akan disalurkan pada awal September 2021.

Sebagai guru honorer di SMK, saya juga mendapat bantuan insentif dari Gubernur sebesar Rp500.000 per bulan. Seberapa kufur nikmatkah saya bila merasa nasib saya tidak diperhatikan Tuhan, haruskah saya bilang bahwa nasib guru honorer itu mengenaskan? Tidak. Saya baik-baik saja. Guru honorer baik-baik saja.

Bila kembali pada tabel kuesioner, sebagian besar rekan saya, meski berstatus sebagai guru honorer, secara materi mereka baik-baik saja. Jadi, setop memandang bahwa nasib guru honorer itu mengenaskan, tidak diperhatikan pemerintah, dan sebagainya. Namun, saya tidak pernah tahu isi hati mereka, bagaimana sebenarnya mereka menghadapi mental diri mereka sendiri.

Coba kita renungi kembali kisah Pak Guru Andik. Apa yang ia cari? Pernahkah ia sibuk mengejar materi? Putus asakah ia dengan kondisi jalan yang ekstrem menuju sekolah yang sudah ia lalui selama 17 tahun itu? Bila dibandingkan dengan kondisi dan kenyataan kita, terutama saya, sungguh berbalik 180 derajat. Ketulusan hati mengajar tanpa mamandang materi yang dicontohkan Pak Guru Andik adalah cermin yang menampar buat kita, guru honorer yang masih diberikan infrastruktur yang layak, bantuan pemerintah yang terus bergerak, kesehatan yang tiada henti.

“Rezekimu tidaklah berkurang lantaran gerak lambat. Tidak pula bertambah lantaran banting tulang. Tak ada kesedihan dan kebahagiaan yang kekal. Demikian pula sengsara dan lapang. Jika engkau memiliki hati qanaah, engkau setara dengan raja dunia.” (Imam Syafi’i)

Kiara, 26 Agustus 2021




Unduh Tabel Kuesioner Guru Honorer di Sini!




Biodata Penulis

Encep Abdullah,
guru honorer dan penulis lepas.
WA 087771480255.

 


Komentar

  1. 6 tahun saya bangga dan bersyukur jadi guru honor di Yayasan Swasta Menengah ke bawah. Honor memang minim, tapi sejak awal memilih profesi guru sebagai pengabdian. Saya setuju dengan apa yg ditulis Encep Abdullah.

    BalasHapus
  2. Betul mang. Rizki dari Allah bentuknya tidak bernominal. Bisa saja gaji yang tidak seberapa itu lebih mencukupi hidupnya.

    BalasHapus
  3. Mantap. Saya setuju dengan tulisan ini. Hasil tidak akan menghianati usahanya. Hasil tidak selalu dalam bentuk finansial.

    BalasHapus
  4. Guru Honorer jangan lupa berkarya

    BalasHapus
  5. wah... wah... ajaib. kirain isinya akan sama seperti pendapat teman2 saya yg skrg sedang berbondong2 untuk jadi pns Karna gaji honorer sangat rendah. ternyata lain dari yang lain. tulisan yang mencerahkan

    BalasHapus
  6. Jadi guru duhatiNya aja deh .... Wkwwk.

    BalasHapus
  7. Aku juga pernah, tapi itu dulu. Sekarang Alhamdulillah udah berhenti ...hehe

    BalasHapus
  8. Menjadi guru adalah mulia, mengajarkan ilmu yang insya Allah kelak bermanfaat bagi anak didiknya, dan menjadi ladang pahala yg tak terputus walau maut menjemput. Intinya berusaha memberikan yg terbaik sbg guru, insya Allah hasil yg akan diperoleh berkah. Harus dsyukuri, gaji besar pun jika tak disyukuri akan selalu kurang...

    BalasHapus
  9. Saya sangat bersyukur menjadi guru. Mantap sekali yang membuat tulisan ini. Semoga semakin banyak karya dan berkah utk semuanya. Hidup guru di seluruh dunia. Allahu Akbar!

    BalasHapus

Posting Komentar