Esai | Polemik "Sastra Masuk Kurikulum" | Kabar Banten, 27 Mei 2024

Esai Encep Abdullah



Pada 20 Mei 2024 kemarin—dalam rangka Hari Buku Nasional Indonesia (Harbuknas)—Pak Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita meluncurkan program ”Sastra Masuk Kurikulum”. Peluncuran ini ditayangkan secara live di kanal YouTube KEMENDIKBUD RI. Dalam keterangan dijelaskan bahwa Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek meluncurkan program "Sastra Masuk Kurikulum" sebagai bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka. Peluncuran ini dimaksudkan untuk memanfaatkan karya sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis murid.

Untuk memudahkan program “Sastra Masuk Kurikulum”, Tim Penyusun Pusat Perbukuan Kemdikbudristek juga menerbitkan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang kawan-kawan juga bisa unduh gratis di static.buku.kemdikbud.go.id. [sudah tidak bisa diakses, bisa akses DI SINI]. Dalam kata pengantar disampaikan bahwa buku panduan ini dimaksudkan untuk membantu pendidik dalam memanfaatkan “Daftar Rekomendasi Buku Sastra” dalam pembelajaran di kelas. Panduan ini dilengkapi dengan disclaimer/penafian di setiap rekomendasi buku untuk menjadi pertimbangan bagi para pendidik dalam memilih buku sastra agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan sekolah. Selain buku panduan tersebut, Anda juga bisa masuk ke SIBI https://buku.kemdikbud.go.id/sastra-masuk-kurikulum untuk mendapatkan informasi lainnya terkait program tersebut. 

Usai peluncuran ini, muncul polemik dari kalangan guru dan sastrawan di media sosial. Saya kutip saja salah satu pernyataan sastrawan Banten, Aksan Taqwin Embe.  Dalam catatan di beranda FB-nya, ia menulis:

Semoga para sastrawan dan guru yang terlibat sebagai kurator sastra masuk kurikulum paham kondisi sekolah, paham bahwa catatan-catatan unsur seksualitas, unsur kekerasan, pornografi, yang mereka sematkan dan menaruh dalam penafian dari karya-karya yang direkomendasikan itu benar-benar kesadaran dan bukan kekhilafan. Semoga guru yang terlibat pun melakukan perdebatan dan menyampaikan hal-hal mitigasi risiko di dalam kelas ketika satu kata kekerasan atau seksualitas menjadi sensitif bagi siswa. Kalau sampai tidak, mereka mesti mempertanggungjawabkan. Mereka tahu nggak ketika guru berbicara satu kata saja yang sangat sensitif--mengandung kekerasan atau pornografi akan berdampak kepanjangan? Lantas dalam hal ini guru disuruh membaca, memahami, meluruskan, dan berulang menjelaskan tentang bagaimana unsur kekerasan, seksualitas atau pornografi yang terkandung dalam setiap larik puisi atau di dalam prosa buku yang direkomendasikan. Apakah kita kehabisan karya sastra yang baik sehingga mesti melibatkan karya-karya yang memiliki unsur-unsur itu, yang menjadikan guru harus bekerja berkali lipat? Bahkan akan menghadapi urusan yang sangat panjang? Jika kalian sadar bahwa di dalamnya mengandung unsur pornografi atau kekerasan, mengapa masih kalian rekomendasikan? Oh, ada penafian dan itu kerja keras guru untuk menyelesaikan? Oh, itu buku kalian? Oke. Selesai. Cala Ibi masuk rekomendasi buku untuk SMA. Kalian (guru) jangan malas membaca!


Aksan sepertinya memang sudah membaca Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra itu. Kegelisahan Aksan memang juga saya rasakan. Guru memang perlu berhati-hati saat menyampaikan sebuah karya sastra yang di dalamnya terdapat unsur seksualitas dan kekerasan. Namun, di satu sisi, ini juga tantangan bagi guru untuk menjelaskan sesuatu yang kadang dianggap tabu. Guru harus punya banyak wawasan dan harus pintar dalam menjelaskan persoalan—sesuai perkembangan dan psikologi siswa—agar tidak salah persepsi. Isi kepala siswa berbeda-beda. Mereka kalau membaca diksi yang agak “porno” bisa langsung menyimpulkan konotasi negatif. Seperti halnya kemarin saat saya menyampaikan materi cerpen Jawa Banten kepada para guru SD dan SMP.  Ada cerpen Niduparas Erlang yang di sana tertulis frasa “silit gelas” [pantat gelas]. Salah satu peserta bertanya apakah kata “silit” di situ tidak terlalu vulgar, apalagi dibaca siswa. Padahal kata “silit” di sini bukan merujuk kepada pornografi. Seperti halnya ketika seseorang menyebut menu makanan khas Banten “kontol jago” misalnya, tidak bisa dikatakan sebagai diksi yang berbau pornografi. Nah, tugas guru memang berat di sini. Selain itu, guru perlu membaca sampai tuntas karya atau buku tersebut sebelum siswa membacanya. Jangan sampai guru kecolongan tidak membaca! Untuk bacaan siswa, sebisa mungkin guru memilah dan memilih buku yang sesuai dengan kemampuan dan perkembangan muridnya.

Selain Aksan, kawan lain protes terkait pemilihan buku-buku yang menjadi rujukan. Mereka mempertanyakan kenapa buku-buku para kurator pun dipilih dan direkomendasikan oleh kuratornya sendiri. Ada anggapan ini terlihat eksis dan narsis. Ada kepentingan di sini, ada proyek di sini, kiranya begitu. Seperti halnya status yang diunggah oleh Malkan Junaidi di FB yang mengatakan bahwa menjadi kurator sudah merupakan privilese. Nama mereka tercantum sebagai kurator saja sudah cukup untuk memberi tahu publik betapa mereka bukan orang sembarangan. Malkan memberi contoh, HB Jassin menyusun sekian buku kanon sastra (antara lain Pujangga Baru, Gema Tanah Air, dan Angkatan '66). HB Jassin berposisi sebagai kurator. Dia tidak memasukkan nama dan karyanya sendiri dan memang tidak perlu. Posisinya sebagai kurator, yang menurut Malkan, itulah yang justru diapresiasi banyak orang hingga hari ini, bahkan menjadikannya salah satu legenda sastra Indonesia. 

Hal ini juga membuat salah satu sastrawan kondang, Nirwan Dewanto, angkat bicara. Nirwan menulis surat terbuka pada 23 Mei 2024—tersebar di grup WA, juga bisa baca di Google dengan kata kunci “Surat Terbuka Nirwan Dewanto”— yang ditujukan kepada para kurator/penyusun buku panduan di atas [dengan tembusan ke pelindung, pengarah, dan penanggung jawab, serta tim penyusun dan editor di pusat perbukuan] dan meminta “penjelasan” kenapa ada begitu banyak kekeliruan dan disinformasi di dalamnya. Tim kurator buku sastra tersebut ada 17 orang, di antaranya Abidah El-Khalieqy,  Eka Kurniawan, Felix K. Nesi, Oka Rusmini, M. Aan Mansyur, Mahfud Ikhwan, Martin Suryajaya, Okky Puspa Madasari, Reda Gaudiamo, Triyanto Triwikromo, Zen Hae, sedangkan untuk kontributor guru semuanya ada 39 orang.

Para sastrawan (yang bukan guru) yang terlibat dalam kurasi buku "Sastra Masuk Kurikulum" menurut saya perlu juga “dikerjai” dengan cara mereka diberikan program oleh Pak Nadiem untuk mengajar sastra di sekolah. Tidak usah lama-lama, 1 bulan mengajar di SD, 1 bulan di SMP, 1 bulan di SMA. Mereka mengajar dan membuat perangkat ajar atau RPP. Kalau bisa setiap bulan keliling ke tempat yang berbeda, mulai dari sekolah di pelosok sampai sekolah di kota-kota. Mulai dari sekolah yang punya perpus sampai yang tak berperpus. Mulai dari sekolah yang tidak melek literasi hingga sekolah unggulan yang melek literasi. 

Jangan sampai mereka yang nguprek-nguprek memilih buku [kurator], guru yang pusing di lapangan, murid yang keder jadi "korban". Ini bukan terkait baca buku saja—gampang bagi guru menyuruh anak baca buku bila guru sudah terbiasa membaca atau sekolah yang memang memfasilitasi buku dengan baik, serta siswa yang kooperatif diajak untuk baca—melainkan perbedaan sistem atau cara kerja sekolah, turun langsung ke lapangan. Kenyataan di lapangan tak semudah itu, Ferguso! 

Saya mau sedikit cerita. Saya sudah malang-melintang menjadi guru selama sepuluh tahun terakhir. Saya sering mengajari anak agar membaca di mana saja. Bila tempatnya kondusif, anaknya mau baca, bukunya banyak, gurunya oke, tidak tercemar gadget—karena boarding school—hasilnya sangat menakjubkan, bahkan satu bulan  mereka bisa baca sampai  20 buku. Padahal saya hanya menyuruh 1 bulan baca 4 buku atau per minggu 1 buku, dan wajib menulis jurnal. Kok bisa? Bisa dong, karena semua kooperatif. Seperti halnya adik sepupu saya yang kuliah di Gontor. Ruang gerak dan paksaan untuk membaca—apa saja tidak hanya sastra—di sana sangat mendukung. Lepas dari sana, buku sudah jadi santapan sehari-hari, bukan barang asing. Begitu juga teman saya, Ibu Guru Mayang Santika Dewi (guru di Tangerang) kemarin bercerita bahwa anak-anak didiknya sangat antusias membaca ke perpustakaan sekolah. Yang saya lihat dari ceritanya, sistemnya kooperatif. Saling bekerja sama. Buku jadi teman, bukan monster.

Di lain sisi, saya juga mengajar di tempat yang kurang kooperatif. Sekuat apa pun saya, ada titik lemahnya. Awalnya saya bawa sekarung-dua karung buku saya buat dibaca anak-anak di kelas. Saya bawa karena di sekolah tidak ada akses bacaan sastra yang memadai. Bahkan buku-buku saya dibawa pulang, sering kali tidak dikembalikan. Bagi saya, mereka mau baca saja sudah bahagia. Dulu, sebelum Covid-19 (ini anak-anak kampung yang jauh dari buku ya), mereka mau membaca, bahkan beli buku juga mereka mau, walau bajakan. Saya dan murid bisa kerja sama, tapi sistem sekolah tidak, bahkan sampai sekarang tidak ada perpustakaannya. Padahal, perpustakaan adalah jantung sekolah itu sendiri. Bagaimana bisa, sekolah kok tanpa perpustakaan? Bisa saja. Ya karena penekanan di sekolah bukan literasi baca, melainkan literasi yang lain. Jadi, wajar kalau kurang diperhatikan.

Saya tidak bisa mengubah sistem sekolah. Saya hanya bisa mengubah apa yang bisa saya ubah. Pendidikan adalah tentang pembiasaan. Termasuk membaca buku dan sastra. Bahkan, saya pernah tidak mengajarkan materi selama setahun. Saya hanya menyuruh mereka membaca buku, menulis jurnal, dan mempresentasikan hasil bacaan mereka setiap pertemuan. Ini jauh lebih baik hasilnya ketimbang mengajarkan materi setahun tanpa membaca buku (buku nonteks atau sastra bukan buku paket). Ini saya lakukan setelah saya sakit hati karena tiga kelas yang saya ajar, tidak tahu arti kata "senja"—setelah mereka baca cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku" karya Seno Gumira Ajidarma. Saya tidak menyalahkan mereka. Salah satu faktornya, mereka kurang akses bacaan, tidak pernah menyentuh buku. Kata "senja" sangat asing bagi mereka. Oleh sebab itu, agar mereka banyak kosakata, saya wajibkan mereka baca buku selama setahun belajar bersama saya di kelas. Setiap pertemuan melaporkan hasil bacaan dan saya bantu jelaskan kata apa yang tidak mereka pahami. Ini sangat menarik. Saya bahagia dengan antusiasme mereka.

Pasca-Covid, saya cukup frustrasi. Metode yang saya terapkan di atas tidak mempan bagi mereka—ini juga menjadi tantangan saya pribadi. Otak anak-anak drastis berubah. Mereka tidak kooperatif. Beli buku saja tidak mau. Ada yang beli buku, tapi selama satu semester belum dibuka-buka sampulnya. Saya kasih buku-buku saya. Mereka tidak juga baca. Mereka sudah terpaku dengan layar HP. Di kelas, saat HP mereka saya ambil dan disimpan di meja saya—sebagian guru tidak menyuruh mereka mengumpulkan HP—mereka sudah seperti ikan tanpa air. Padahal baru beberapa menit. Dikasih buku, kurang tertarik. Saya pindahkan buku ke digital, ke HP, mereka malah main game dsb. Saya tidak bisa bekerja sendiri. Saya merasa cukup lelah. Saya biarkan saja apa yang mereka mau. Saya hanya bisa mengembangkan sesuatu kalau unsur-unsurnya kooperatif. Kalau dableg, apa mau dikata. Pergulatan di ruang kelas tak semudah yang dibayangkan. Itu baru satu-dua sekolah. Belum se-Indonesia. Para kurator dan segenap penyusun buku tersebut apakah tahu kondisi macam ini?

Mungkin zaman dulu ada program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) yang pernah digagas oleh alm. dosen saya Wan Anwar, juga Taufiq Ismail. Guru, penulis, bahkan sastrawan zadul pasti tahu program tersebut. Menurut saya itu keren. Coba digalakkan lagi Pak Nadiem. Ini saran saya saja. Semoga Bapak baca tulisan saya, ya, Pak!

Tidak semua guru di sekolah mengerti sastra, bahkan guru Bahasa Indonesia pun sumeh baca sastra padahal kuliahnya sesuai jurusannya. Program "Sastra Masuk Kurikulum" bisa jadi sindiran buat guru-guru macam itu, program "ngerjain" guru. Ada juga mungkin guru yang hebat, tapi tidak semua guru hebat kuat "hidup" di sekolah yang kurang kooperatif terkait siswa atau sistem yang ogah dan alergi dengan buku. Selain itu, saya juga tahu, tidak semua sastrawan yang mengerti sastra juga bisa mengajar. Nah, kalau kolaborasi, apa salahnya? Semua bisa saling belajar, saling melengkapi. 

Secara pribadi, dengan segala pro-kontranya, saya tetap mendukung program Pak Nadiem ini sebagai upaya dan langkah awal bahwa sastra sedang diperhatikan oleh Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namanya juga percobaan, ya coba saja dulu—segala kecacatan pasti ada. Artinya, kalau begini, saya tidak akan merasa menderita sendirian bagaimana menghadapi dunia baca sastra anak-anak kita di sekolah. Anda—para guru yang malas baca, yang santuy-santuy saja melihat anak-anak tidak suka membaca, juga para sastrawan kurator yang ”kelak” (semoga saja) terlibat mengajar di sekolah—harus merasakan bagaimana kondisi di lapangan. Tugas menyeleksi, menjadi kurator, dan menyuruh membaca itu tidak sama dengan tugas membina, bahkan hingga mereka ”menjadi”. 

Simpulan tulisan ini, saran saya buat Pak Nadiem, buku yang direkomendasikan oleh para kurator dalam Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra  itu kalau memang nanti berjalan, semoga buku-bukunya dikirim gratis ke sekolah-sekolah, ya!—terutama ke sekolah-sekolah pelosok yang minim buku sastra. Setiap sekolah kalau bisa didonasikan 50 s.d. 200 eksemplar per judul buku—menyesuaikan jumlah siswa dan kebutuhan sekolah. Kalau bisa, kerja sama antara dinas pendidikan atau dinas perpustakaan dan kearsipan setempat dengan penulis-penulis lokal di daerah tersebut. Beli buku mereka dan serbarluaskan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah setempat. Kalau begini, ekosistemnya sehat. Para penulis tiap daerah juga kena imbas kesejahteraan—meskipun ini bakal menjadi polemik lagi, siapa yang mengurasi karya sastra lokal dan bagaimana mekanismenya, itu bisa dibicarakan nanti. Tabik!


________

Penulis

Encep Abdullah, pemulung kata-kata.


Komentar