Proses Kreatif | Tak Harus Produktif, Yang Penting Keren

 


Oleh Encep Abdullah



Sebagai tukang kuli yang baik, menjadi penulis produktif adalah kebanggaan tersendiri. Seperti saya. Katakan saja saya ini penulis produktif. Apa saja ditulis. Bahkan, catatan-catatan yang tak begitu penting pun ditulis. Saya tidak peduli dibaca orang atau tidak. Karena sasaran saya bukan cuma orang, melainkan bangsa jin dan bangsa minke, siapa tahu mereka lebih suka tulisan saya.

Saya banyak menulis di koran. Saya berpendapat, juga berpendapatan. Kalau kirim tulisan, saya selektif. Yang bagus di kirim ke koran yang honornya juga bagus. Yang jancuk dikirim ke media yang jancuk pula. Bagi saya sih rugi kalau tulisan bagus nongol di media jancuk. Kalau di media yang bagus itu tak berjodoh, media jancuk adalah pilihan terakhir. Dalam kondisi ini, honor dikesampingkan ketimbang eksistensi diri. Yang penting bisa bikin status kalau minggu ini tulisannya dimuat di media. Di-tag pula di Grup Sastra Alhamdulillah. Ciee ...

Makin produktif, makin banyak status pula di medsos. Urusan terkenal belakang. Kalau berjodoh ya terkenal, kalau sudah nasib ya nasib. Jangan dikira orang yang ngelike dan memuji itu membaca tulisan-tulisan yang dimuat di media itu. Ini zaman Sastra Alhamdulillah dan Sastra Selamat, Bro. Wis pokoke baca nggak baca yang penting selamat. 

Belum lagi dia produktif menang ini dan itu. Punya label sebagai penulis berpengaruh dan sebagainya. Kayak saya. Saya akui. Saya ini penulis berpengaruh terhadap diri saya sendiri, entah buat orang lain. Ya, pasti ada, mungkin pengaruh juancuk saya. Penghargaan saya juga banyak, sertifikat numpuk. Ada juga yang saya print sendiri. Uju buneng, apa lagi yang saya cari. Semua sudah saya rasakan walaupun penghargaan-penghargaan itu cuma setingkat RT.   Yang namanya penghargaan tetap penghargaan. 

Meskipun saya produktif, bukan berarti saya menang terus dan tulisan diterima semua. Misalnya begini, saya punya 100 tulisan, saya yakin  paling 99 yang diterima, 1 ditolak. Sombong kan? Ya kenyataannya begitu bagaimana? Tapi, apakah produktif saya itu keren. Itu masalahnya. 

Saya sih penginnya kayak Niduparas Erlang yang tidak begitu produktif, tapi tetap keren. Juga kayak Dwi Ratih Ramadhany yang tidak banyak amat menulis, tapi tetap kece. Kenapa Bang Encep tidak memilih yang produktif dan keren sih? Itumah biasa. Yang paling bangsa* adalah dia penulis, tidak produktif, jelek pula tulisannya, keren juga kagak ada sedikit pun. Tapi, si doi ini gayanya bak anak sultan. Nauzubillah.


Kiara, 26 Mei 2021

Komentar