Esai | Bahasa "Sampah" | Majalah Kandaga Edisi Agustus 2019

Esai Encep Abdullah


Unduh Majalah DI SINI!


BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA

SEBELUM ANDA DIBUANG 

BERSAMA TEMPATNYA

Pengumuman di atas saya baca setiap hari ketika saya melewati sebuah jembatan yang tak jauh dari rumah saya. Tentu saja kata-kata itu lama-lama melekat di kepala saya. Sebelumnya, saya ingin bercerita dan berprolog dulu. 

Masalah sampah, di mana pun itu, memang tak pernah luput diperbincangkan. Hal ini pun terbukti ketika saya berpindah tempat tinggal di salah satu kompleks perumahan—mengambil rumah sendiri. Kompleks perumahan yang benar-benar dari nol dan belum ber-RT. Ketika ke-RT-an dibentuk, persoalan sampah menjadi pokok bahasan utama. Kebetulan di sini saya ditunjuk sekretaris RT. Sungguh celaka!

Sebelum sampah benar-benar menumpuk, “sampah-sampah” bibir masyarakat sudah menumpuk lebih dulu di telinga saya. Satu rumah dengan rumah lain saling cekcok. Satu gang dengan gang lain saling berdebat karena beda pendapat dan pendapatan. Ada yang sepakat, ada pula yang menolak bila penarikan uang sampah per bulan dikenai Rp30.000,00. Masyarakat malah semakin larut berpolemik. Sampai ada yang ingin memisahkan diri dan membentuk RT baru—padahal baru dibentuk—karena memang tidak sepaham (baca: salah paham). Ada juga yang ngotot sampai “adu jotos”. 

Saya termasuk orang yang dilema terkait masalah ini karena selama beberapa waktu  beradaptasi di sini, masalah sampah tak kunjung mereda dan selesai. Saban hari sibuk mengurusi masalah ini, padahal kesibukan saya yang lain sudah menanti dan padat merayap. Saya ingin menghindar dari “benalu’ ini. Tapi, bila saya kabur, justru akan tambah masalah. Saya kuat-kuatkan.

Setelah berkali-kali perseteruan sengit terjadi, akhirnya ada kesepakatan—meski terpaksa. Semua setuju dengan nominal penarikan uang sampah tersebut demi kebersamaan. Namun, masalah berikutnya muncul, yakni tempat pembuangan sampah (TPS). TPS di sini jaraknya berdekatan dengan rumah warga yang lain—RT sebelah. Hal ini menjadi masalah berkelanjutan ketika satu per satu rumah yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah itu protes bahwa sampah-sampah tersebut akan menjadi wabah penyakit bagi mereka. Entah, saya harus menyalahkan siapa. Pembahasan ini terus berulang dan menjadi masalah baru lagi sekalipun sudah dibahas oleh orang-orang yang mengerti di bidang itu.

Alhasil, karena masalah sampah ini begitu kompleks, reaksi masyarakat terhadapnya pun bermacam-macam. Salah satunya seperti yang tertulis pada bagian awal tulisan ini. Begitu juga aksi mereka. Di kampung sebelah, reaksi terhadap sampah sungguh ekstrem. Saya selalu tertawa ketika membaca tulisan yang terpampang di pinggir jalan itu. 

YA ALLAH, CABUTLAH NYAWA 

BAGI ORANG YANG MEMBUANG SAMPAH 

DI SINI 

Duh, Gusti, berat sekali, mereka bawa-bawa nama Tuhan. Saya merinding setiap kali membacanya. Tega sekali orang yang membuat tulisan itu. Sebagaimana doa, seharusnya yang dimunajatkan adalah hal-hal yang baik. Tapi, barangkali inilah perasaan mereka yang terkena dampaknya secara langsung baik dari sisi personal maupun komunal yang tentu saja perasaaan mereka berbeda dengan orang-orang yang tak merasakan efeknya langsung. 

Mereka teraniaya. Yang membuang sampah malah tak merasa punya dosa. Selama ini, yang saya tahu, doa orang yang teraniaya itu  mudah dikabulkan oleh Tuhan. Dan, seketika saja saya teringat dengan sampah-sampah milik saya. Saya pun jadi khawatir, jangan sampah-sampah saya yang dibuang oleh tukang sampah itu juga menganiaya orang-orang di sekitarnya. Apalagi sering kali teman saya—yang kebetulan rumahnya dekat dengan tempat pembuangan sampah itu—selalu mengeluh di grup WA. Saya jadi merasa berdosa. Pembahasan ini pun dibuka kembali dan belum menemukan titik temu.

Tulisan sampah yang saya temukan itu belum cukup memuaskan saya. Saya pun berjelajah ke  dunia maya dan Google. Di sana, ternyata banyak juga yang menulis serupa dengan yang saya lihat, bahkan ada yang lebih sadis. Ada juga beberapa yang ditulis dengan unik dan lucu. 

1.

YA ALLAH

MISKINKANLAH ORANG

YANG MEMBUANG SAMPAH

DI TEMPAT INI

Amiin ..

2.

YA ALLAH

AKU RELA MISKIN 7 TURUNAN

KALAU BUANG SAMPAH

DI SEPANJANG JALAN INI.

3.

YA ALLAH ...

HANYA ORANG KAFIR SAJA YANG MEMBUANG

SAMPAH DI SEPANJANG JALAN INI

4.

YANG BUANG SAMPAH

DI SINI

YAHUDI

5.

YANG MEMBUANG 

SAMPAH DI SINI 

TIDAK SELAMAT 

DI DUNIA 

DAN DI AKHIRAT

6.

PERINGATAN KERAS !!!

BERANI BUANG SAMPAH, SEMBARANGAN

NYAWA TARUHANNYA.

DIBACOK WARGA, JANGAN SALAHKAN KAMI !


Gara-gara sampah, banyak manusia yang tiba-tiba dekat dengan Tuhan, bahkan mendoakan orang lain agar semakin “dekat” juga dengan-Nya: mati. Pada contoh (1) dan (2) adalah kalimat sinisme yang berfokus pada kata “miskin”. Secara tak langsung makna informasi tersebut bahwa orang yang membuang sampah sembarangan di situ adalah “orang-orang kaya”. Logikanya, bagaimana kalau orang yang membuang sampah itu adalah orang miskin? Tambah melarat, dong? 

Pada contoh (3), (4), (5), dan (6) bahasanya lebih “liar” karena penulisnya berani mengutarakan kata “kafir”, “yahudi”, dan urusan “keselamatan dunia-akhirat” kepada si pembuang sampah. Ternyata, sampah sudah menjadi sumber inspirasi peringatan dan “kutukan” kepada umat manusia. Juga mampu membikin hati manusia kacau-balau, bahkan memosikan diri sebagai Tuhan yang menentukan keselamatan di dunia dan akhirat. Duh, Gusti!

Tentu saja, saya pun tak sepenuhnya seratus persen menyalahkan si pembuat informasi itu. Mereka berbuat begitu pasti ada sebab, yakni karena buang sampah sembarangan. Orang yang membuang sampah pada tempatnya saja masih dipermasalahkan, apalagi yang membuangnya sembarangan. 

Otak manusia itu sensitif dan mudah tersulut emosi sehingga reaksi yang muncul bisa kebablasan dan tak terkontrol. Bahasa-bahasa yang tertulis di atas sebenarnya bukanlah sebuah doa yang benar-benar “doa” dan juga dosa yang benar-benar “dosa. Kata-kata tersebut hanyalah cermin dari kekesalan dan keruwetan seseorang atau segolongan orang kepada orang-orang di luar sana yang tak mempan dan tak jera membuang sampah sembarangan meski papan larangan terpampang jelas dan mengutuk.

Selain contoh di atas, ada juga yang memilih bangsa binatang sebagai objek tulisan informasi tersebut. 

7.

Oii MONYET... 

JANGAN BUANG 

SAMPAH 

DI SINI LAGI!!!

8.

HANYA MONYET 

YANG BOLEH BUANG SAMPAH

SEMBARANGAN

9.

HANYA ASU

YANG BOLEH BUANG

SAMPAH DISINI

Diksi “monyet” dan  “asu” adalah bentuk sarkasme dan satire. Tentu saja monyet dan anjing asli tidak bisa membaca informasi itu. “Monyet” dan “asu” hanyalah sebagai sindiran kepada si pembuang sampah. Kasihan juga monyet dan asu yang tak tahu apa-apa itu malah ikut terlibat. Seandainya mereka bisa membaca, masalah sampah pasti akan semakin panjang. Mereka bisa-bisa tidak terima dengan kenyataan pahit itu.

Golongan pencinta binatang ini biasanya tidak hanya untuk sampah, tetapi juga bisa ditemukan dalam percakapan sehari-hari manusia zaman sekarang. Bukan hanya kalangan remaja, melainkan juga orang tua dan anak-anak kecil yang masih bau kencur. Memang, di satu sisi, monyet dan asu ini tidak bisa “dinobatkan” sebagai bentuk ujaran makian atau umpatan  karena maksud dan tujuannya bisa jadi bukan untuk itu, melainkan semata demi kedekatan emosional dan persahabatan. Monyet dan asu pada pengumuman tersebut jelas bukan mengajak untuk bersahabat, melainkan bergulat. 

Dan lihatlah juga, contoh-contoh di atas keseluruhannya ditulis kapital. Penggunaan huruf kapital pada sebuah kata atau kalimat tentu saja punya maksud, yakni sebuah penekanan dan penegasan. Dalam hal ini penekanan dan penegasannya adalah si “aku” kesal” atau marah pada subjek “si pembuang sampah” itu maka huruf kapital menjadi pilihan. 

Selain itu, contoh-contoh pada tulisan “sampah” tersebut juga masih banyak tanda baca yang asal tulis, misalnya jumlah titik dan tanda seru. Seharusnya digunakan pada tempatnya dan tidak berlebihan (selanjutnya baca saja PUEBI). Namun saya senang, penulisan “DI SINI” hampir keseluruhannya tepat. 

Baik, untuk mengurangi ketegangan-ketegangan contoh di atas, ada juga informasi yang ditulis dengan model lain.

10. 

BILA ANDA TIDAK MAMPU

MEMBUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA

MAKA

TELAN MAKANAN MINUMAN ANDA

BERSERTA BUNGKUSNYA !!!

11.

SD 6 THN

SMP 3 THN

SMA 6 THN

KULIAH 5 THN

MASIH BUANG SAMPAH SEMBARANGAN?

17 THN SEKOLAH NGAPAIN AJA?

12.

Jangan Cuma 

MANTAN yg dibuang

Sampah Juga !!

13.

Gimana mau buang

Masalalu

Buang sampah saja

Sembarangan !!!!

14.

DILARANG !!!

BUANG SAMPAH DI SINI

KEMARIN ADA YANG

KESURUPAN

15.

HANYA SAYA

YANG BOLEH

BUANG

SAMPAH

DAN ROKOK DI SINI

Menurut saya, contoh-contoh tersebut (11—15) ditulis oleh orang-orang “gila”. Bahasanya sedikit lebih “intelektual”. Tulisan semacam ini adalah kreativitas bahasa yang bisa membuat pembacanya merenung lebih dalam. Seperti pada contoh (11). Berulang kali saya membacanya. Setelah saya cermati, informasi ini memang berbeda dengan contoh yang lain karena bentuknya pertanyaan, sedangkan yang lainnya berupa pernyataan dan larangan/perintah.

Alangkah baiknya sedikit saya singgung materi ini. Berdasarkan fungsinya, kalimat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kalimat imperatif, kalimat deklaratif, dan kalimat interogatif. Kalimat imperatif adalah kalimat yang bersifat memerintah atau memberi komando, mempunyai hak memberi komando, dan bersifat mengharuskan. Kalimat deklaratif adalah kalimat berisi suatu pernyataan yang berfungsi untuk memberi informasi atau berita tentang sesuatu hal. Kalimat interogatif adalah kalimat yang di dalamnya mengandung pertanyaan. 

Setelah saya baca contoh keseluruhan, kalimat yang sering digunakan oleh para penulis informasi/pengumuman “sampah” berbentuk imperatif dan deklaratif, sedangkan interogatif hanya ada pada contoh nomor (11). Mengapa bentuk interogatif jarang digunakan? Padahal bisa jadi lebih mengena. Saya  juga baru sadar, ternyata di rumah saya banyak tulisan yang saya tempel di tembok menggunakan kalimat interogatif, seperti “Sudah baca buku apa hari ini?” yang saya tempel di lemari, “Sudahkan Anda salat?” yang saya tempel di tembok dekat televisi, “Sudah menulis apa hari ini?” yang saya di tembok dekat rak buku. Saya pun baca terus menerus, kata-kata ternyata ini “kurang ajar” betul. Saya malah malu sendiri. 

Barangkali Anda juga memang harus membuat bentuk kalimat interogatif lebih banyak lagi agar mampu menyeimbangi kalimat deklaratif dan imperatif “sampah” yang banyak beredar itu. Bila tak mampu membuat kalimat imperatif layaknya seorang polisi yang bertanya pada seorang saksi, Anda bisa juga membuatnya dengan kalimat retoris. 

SUDAHKAN ANDA BUANG SAMPAH DENGAN BENAR?

BUANG SAMPAH SEMBARANGAN ATAU KUCIUM LEHERMU DENGAN PEDANG?

KAMU MANUSIA? KOK, BUANG SAMPAH DI SINI?

APAKAH KAMU TIDAK SADAR KALAU TUHAN MELIHATMU BUANG SAMPAH SEMBARANGAN DI SINI?

Atau bila tak mempan juga, Anda buatlah sayembara seperti ini.

SAYEMBARA

SETIAP ORANG DAPAT MENANGKAP

PEMBUANG SAMPAH LIAR DI JALAN

ATAU SUNGAI DI WILAYAH DESA DOKO

AKAN MENERIMA UANG JASA

Rp. 200.000-,

Semoga dengan dibuatnya sayembara semacam ini, muncul satu per satu “mujahid sampah” yang turut serta membantu pemerintah untuk memberantas “tuyul-tuyul sampah” yang suka berkeliaran di sudut-sudut kampung dan kota.

Selamat bersayembara. Semoga Anda menang!


PENULIS

Encep Abdullah, penulis buku Cabe-cabean (2015) dan Susu Bikini (2019).

Komentar