Oleh Encep Abdullah
ANGIN topan meluluhlantakkan pesta perkawinan Rukmana dan Gora. Tenda dan
segala isinya terbang melayang ke langit. Orang-orang berhamburan mencari
perlindungan. Anehnya rumah-rumah yang ada di sekitar tenda tak ada yang
hancur— utuh sempurna. Orang-orang menyaksikan kejadian itu dengan amat naif.
Mereka saling menyalahkan. Dan meyakini ada sesuatu yang salah dalam pesta
perkawinan itu. Salah seorang meyakini ada penyelundup yang masuk dalam tenda.
Yang lain meyakini ada kesalahan kostum dari kedua mempelai. Yang lain lagi
malah menduga kedua mempelai pernah melakukan hubungan badan di luar nikah.
Berbagai persepsi ini tak beralasan logis. Tak ada bukti-buti yang jelas.
Perselisihan pun tak berujung.
“Barangkali ada murka Tuhan yang tersembunyi,” gerutu salah seorang, sedangkan
yang lain masih sibuk menyaksikan peralatan pesta perkawinan yang melayang di
atas awan itu. Sebentar lagi senja menutup diri. Kedua mempelai sedang asyik
berdendang di kamar. Keduanya mengunci pintu rapat-rapat. Orang-orang tak ada
yang tahu mereka saling berselimut tubuh di kamar itu. Mereka saling beradu
kasih.
“Kamu tahu, ini bulan apa?” tanya seorang tua renta kepada menantunya.
“Safar, Nek.”
“Astagfirullahalazim.…”
***
Rukmana sudah hampir genap dua belas bulan hamil. Tapi, anak dalam perutnya
itu belum juga keluar. Rukmana sudah tak kuat menahan berat tubuhnya. Perutnya
sudah sangat membuncit bahkan melebihi perut seorang badut dalam sebuah pesta
ulang tahun. Ia sudah sangat ingin melahirkan. Keadaan masih berkata lain. Ia
belum merasakan tanda-tanda mau melahirkan. Mau tak mau, akhirnya ia putuskan
untuk sesar.
Menuju rumah sakit, tiba-tiba perut Rukmana mengempis. Rukmana dan suaminya
kaget bukan kepalang. Gora memeriksa bayi di bawah rok Rukmana, siapa tahu
anaknya berada di situ. Semua sia-sia belaka, tak ada seonggok daging pun di
bawah rok istrinya. Mamang angkot yang dicarter Gora pun ikut mencari sambil kelimpungan bingung dari peristiwa apa
yang sedang terjadi malam itu.
“Pak, kok anaknya bisa hilang begini? Memang tadinya ngidam apa?”
“Saya tidak tahu, Mas.”
Gora masih sibuk mencari anaknya di kolong-kolong
mobil.
“Sayang, anak kita ke mana ini?” tanyanya cemas kepada istrinya yang
hebatnya juga ikut mencari sambil sesenggukan menangis.
Malam sudah larut, keadaan makin semrawut. Rukmana masih menangis, malah
semakin deras air matanya mengalir di pipi. Sampai orang-orang di sekitar ikut
mencari hilangnya anak dalam perut Rukmana itu. Hasilnya nihil. Tak ada hasil.
Orang-orang—lebih-lebih Gora dan Rukmana—bingung setengah mati. Apa yang salah
dari diriku, pikir Rukmana. Tak ada gejala aneh sedikit pun sebelumnya, tapi
lagi-lagi nasib berkata lain. Dan pada malam itu, gonggongan dan lolongan
anjing terdengar saling bersahutan dari balik semak-semak—di sekitar Rukmana
dan Gora bersinggah. Anjing-anjing tampaknya sedang naik berahi untuk kawin
dengan pasangan masing-masing. Gora dan Rukmana sudah terlalu lelah mencari
anak mereka yang hilang. Keesokan hari, Gora dan Rukmana menemui seseorang yang
dianggap pintar untuk mengetahui di mana keberadaan anak mereka yang hilang.
“Ini semua karena waktu,” ujar Ki Samud.
“Maksud Ki?”
“Seharusnya kau tidak melakukan pernikahan di bulan Safar.”
“Kenapa, Ki?”
“Kau tahu, nenek moyang dulu percaya bahwa Safar adalah bulan yang penuh
kesialan. Safar itu sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut.
Dan itu bisa menimbulkan penyakit. Untungnya istrimu masih selamat. Jangan
melakukan aktivitas apa pun pada bulan ini. Apalagi berpergian jauh. Bulan
Safar, bulan di mana banyak penyakit menyebar. Bulan di mana anjing-anjing kawin.
Dan masih banyak lagi kesialan yang lain. Dan ingat, jangan main-main juga
dengan Safar Rebo Wekasan pada minggu
keempat bulan Safar. Itu puncak hari paling sial yang terjadi pada manusia.”
Gora dan Rukmana saling tatap setelah mendengarkan penjelasan dari Ki
Samud. Mereka merasa bersalah atas waktu pernikahan dulu. Mereka tidak tahu
kalau pernikahan mereka terjadi pada bulan Safar. Dan mereka berhubungan badan
pun di bulan Safar. Mereka betul-betul tidak tahu sama sekali mengenai hal itu.
Keduanya kembali menatap Ki Samud.
“Anak kalian hilang, itu juga salah satu dampak bulan Safar. Safar juga
bisa berarti kosong, dan akhirnya perut istrimu juga ikut kosong,” tukas lagi
Ki Samud.
Gora dan istrinya mengangguki apa yang semua dikatakan Ki Samud. Sepulang
dari tempat ritual itu, Gora langsung mengumumkan kepada seluruh warga kampung
akan kesialan bulan Safar. Orang-orang antusias mendengarkan penjelasan Gora
yang amat bersemangat—barangkali suara di toa masjid pun kalah keras. Dari
pedagang asongan, Pak RT, Ustaz Kampung, sampai sesepuh kampung menyimak
penjelasannya.
“Astagfirullah, musyrik kamu percaya itu!” ujar Ustaz Kampung sambil
menunjuk Gora yang masih ngos-ngosan usai bercerita.
“Ini sudah ada buktinya. Anak saya hilang!”
“Itu sudah takdir,” ujar Pak RT dengan nada lembut.
“Jangan merusak bulan kedua Hijriyah ini dengan tahayul. Baru saja kita
merayakan tahun baru Islam, masak iya langsung dirusak dengan hal seperti ini,”
jelas Ustaz kampung itu kepada para warga yang kontra dengan Safar.
“Kenapa, ya, kok, setiap bulan kedua setelah tahun baru itu ada saja yang
dipertentangkan, misalnya saja Februari yang juga banyak merayakan Valentine. Ini setelah Muharam, ada
Safar yang juga diperselisihkan,” ujar salah seorang pemudi.
“Hei, diam semua! Ini bukan perkara percaya tidak percaya. Ini soal apa
yang sudah terjadi. Saya yang mengalami sendiri!”
Warga yang lain pun protes. Seisi kampung saling berseteru akan kebenaran
Gora. Akhirnya, dari perseteruan itu pecahlah kampung itu menjadi dua bagian.
Kampung yang percaya kesialan Safar dan kampung yang tidak percaya kesialan
Safar. Kedua kampung ini pun menjadi sorotan para wartawan.
***
Gora beserta warga Kampung Safar sibuk melakukan segala ritual tolak bala.
Mereka menulis wafak di
atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di
dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum.
Orang-orang mengantre bahkan rela berdesak-desakan mengambil air tolak bala
itu. Rumah Gora pun selalu ramai dikunjungi para warga. Selain itu, ada pula
beberapa warga yang melakukan ritual tolak bala dengan cara memanjatkan doa dan
mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat keramat tertentu.
Kampung sebelah merasa terganggu dengan segala ritual Kampung Safar.
Beberapa tokoh datang membawa golok, kapak, parang, menerobos pagar pembatas
kampung. Mereka menghancurkan segala macam wafak dan perangkat tolak bala.
Menyelusuri sungai dan menghajar orang-orang yang sedang melakukan ritual di
sana.
“Dasar tak punya adab!” ujar Gora kepada Ustaz Kampung.
“Kau yang tidak punya adab!” balas Ustaz Kampung sembari menyingsingkan
sebilah golok.
“Apa salah kami? Kita sudah sepakat untuk berpisah diri. Kami dengan
kehidupan kami. Kalian dengan kehidupan kalian.”
“Tidak bisa! Kami merasa terganggu dengan aktivitas kalian. Kami tidak mau
golongan kalian secara diam-diam mempengaruhi golongan kami, juga golongan
orang-orang di luar sana yang berkeyakinan benar. Kalian sudah tersesat!”
“Justru kalian yang tersesat! Kami memercayai apa yang sudah terjadi. Kami
tidak mau berpenyakit dan banyak korban berjatuhan di kampung kami.”
“Persetan dengan penyakit! Penyakit itu datang dari Allah, bukan dari
tahayul seperti ini. Persetan dengan Safar!”
“Diam! Iblis!”
Kedua warga pun saling bertikam. Tak kenal yang dulunya pernah jadi sanak
saudara maupun tidak. Golok melayang. Darah bercucuran ke mana-mana. Ibu-ibu
dan anak-anak hanya bisa menjerit melihat pertikaian para suami mereka. Mayat
bergeletakan di mana-mana. Malam pun hening.
***
Gora dan Rukmana menghilang entah ke mana. Selepas kemenangan pertempuran
mereka, keduanya bersepakat untuk kabur dari kampung. Mereka sudah tidak betah
dengan ketidaksepahaman mereka dengan kampung sebelah. Warga Kampung Safar tak
ada yang tahu di mana dan kapan keduanya pergi. Pesan-pesan yang disampaikan
Gora masih melekat dalam otak warga meskipun jumlah kepala rumah tangga tak
seperti dulu. Para dedengkot kedua kampung itu sudah menghilang alias
sebagiannya tewas. Tak ada lagi tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk melanjutkan
pertempuran. Akhirnya kedua kampung tersebut rujuk kembali untuk berdamai
daripada nanti akan banyak lagi korban berjatuhan dan penduduk semakin sepi.
Mereka sudah tak mau lagi berseteru mana yang masih percaya dan mana yang
tidak. Semua melebur jadi satu. Dan semenjak pertempuran itu, warga bersepakat tidak ada yang keluar sampai minggu terakhir
bulan tiba. Mereka hanya berdiam diri di dalam rumah. Dalam kesepakatan mereka,
keluar rumah berarti mengantarkan nyawa pada hantu.
“Sekarang aku percaya, barangkali inilah Safar.
Warga kampung kita sudah dikepung penyakit mematikan. Penyakit hati. Lama-lama
begini bisa habis penduduk kita.”
“Barangkali begitu.”
“Anjing! Ke mana si Gora, tak bertanggung jawab!”
“Iya, giliran sudah begini saja, ia menghilang. Lantas, siapa yang mengatur
kita. Selain Pak Ustaz, cuma ia yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural.”
“Ah, biarlah! Semoga ia di sana dimakan makhluk buas!”
“Semoga.”
“Amin.
Para warga saling menghujat Gora. Mereka tak terima kampung mereka hanya
dijadikan lelucon pertempuran semata. Tapi, apalah daya tak ada yang bisa
mereka tumpahkan selain meluapkan segala kegundahan hati mereka kepada para
tetangga sekitar.
***
Malam itu gonggongan anjing bertubi-tubi
meneriaki telinga Gora dan Rukmana. Perjalanan mereka yang menuju entah ke mana
seketika terganggu. Mereka melempari anjing-anjing itu dengan sebilah kayu dan
batu. Dan tetap saja anjing-anjing itu tak mau pergi. Malah semakin mendekat.
Gora dan Rukmana sudah teramat kesal. Mereka
mendekati anjing-anjing itu, lalu memukuli mereka hingga tewas. Tubuh keduanya
penuh dengan bercak darah. Namun, anehnya gonggongan suara anjing itu masih
terngiang di kepala Gora dan Rukmana. Tak lama kemudian, anjing-anjing yang
lainnya berdatangan dari semak-semak itu. Mendekat. Semakin mendekat. Gora dan
Rukmana pusing tujuh keliling. Tak sanggup mereka menghabisi nyawa anjing
sebanyak itu. Keduanya diterkam bertubi-tubi. Baju sobek. Kulit sobek. Wajah
sobek. Dan hati mereka juga ikut sobek.
***
Ki Samud tiba-tiba tertarik hati untuk mengunjungi
warga Kampung Safar yang sedang sibuk membagi-bagikan kue apem ke tetangga
lainnya. Mereka saling berbahagia. Memandangi peristiwa itu, Ki Samud
mengernyitkan dahi. Keringatnya bercucuran. Kue apem adalah simbol bahwa hari
sudah memasuki Safar Rebo Wekasan. Ki Samud teringat Gora dan
istrinya. Mereka tak ada di tempat itu.
“Matilah kalian!!” Ki Samud menundukkan kepala.
Pontang, 27 November
2013
Komentar
Posting Komentar