Esai | Orang Gila | Majalah Kandaga | Edisi Agustus 2021

 Esai Encep Abdullah


Klik Gambar untuk Mengunduh Majalah


Belum lama ini obrolan Deddy Corbuzier dan Mongol Stres di YouTube menjadi sorotan warganet. Konten podcast-nya disomasi oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) karena telah menyinggung dan keliru menyebut “Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)” dengan “orang gila”. Selain itu, kontennya juga dinilai telah melakukan penyesatan informasi, data, dan fakta tentang ODGJ—penjelasan secara hukum, Anda bisa melihat tayangan podcast Deddy bersama Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, S.H., M.Si. yang diunggah Deddy usai dilayangkan somasi. Deddy sama sekali tidak tahu sejak kapan ada larangan tidak boleh menggunakan istilah “orang gila” ini. Ia tidak mau ambil pusing, YouTuber kenamaan yang juga pesulap itu meminta maaf secara terbuka kepada publik. Baginya mungkin ini sesuatu yang sangat konyol.

Saya memang kurang tahu kapan istilah ODGJ dipopulerkan dan siapa yang memopulerkannya. Saya akrab dengan singkatan ini setelah beberapa kali mampir di kanal YouTube RianTV.  Di sini, ada fakta lucu yang saya amati. Pertama, pada 9 Juli 2019 Rian menulis frasa “orang gila” dalam setiap judul di kanal YouTube-nya. Jumlah penonton video ini paling banyak dibandingkan dengan video-video sebelumnya. Setelah itu, ia keterusan bikin konten tentang orang gila. Pada 25 Juli 2019 Rian tidak lagi menulis frasa “orang gila”, tetapi mengubahnya dengan “orang gangguan jiwa”. Pada 30 Agustus 2019, Rian bikin saya pangling. Ia bikin judul begini: Kejadian Unik Orang Gila Bersihin Orang Gangguan Jiwa di Jalan. Saya penasaran mengapa ia menggunakan frasa “orang gila” lagi. Setelah saya tonton, ternyata dalam video itu Rian menyamar menjadi orang gila. Mengapa ia di situ menyebut dirinya “orang gila”, sedangkan yang benar-benar gila ia sebut dengan “orang gangguan jiwa”? Pada 26 Januari 2020, entah dapat inspirasi dari mana, Rian untuk pertama kalinya menulis istilah ODGJ sebagai judul tayangan YouTube-nya. Rian konsisten tidak menggunakan istilah “orang gila” lagi. Semua diubah menjadi ODGJ. Ingat, catatan ini bukan acuan kapan istilah ODGJ ini dipopulerkan dan siapa yang memopulerkannya. Saya hanya merujuk sumber dari RianTV.

Dalam kasus ini, tentu ada proses dan sebab yang melatarbelakangi peralihan istilah orang gila menjadi ODGJ. Saya menduga ada pengaruh dari komentar warganet yang merasa kuping mereka panas mendengar istilah “orang gila”. Penggunaan frasa ini telah mengalami gejala ameliorasi, yakni pergeseran makna yang membuat makna kata baru lebih sopan dibandingkan dengan kata sebelumnya. Frasa “Orang dengan Gangguan Jiwa” (ODGJ) dianggap lebih sopan daripada “orang gila”. Kalau kita merujuk KBBI, gila berarti (1) gangguan jiwa; sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal); (2) tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal); (3) terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); (4)  ungkapan kagum (hebat); (5) terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, cinta, kasih sayang); (6) tidak masuk akal. Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, gila berarti (1) abnormal, bertukar akal, berubah akal, sesat akal, edan, gendeng, majenun, miring (ki), sakit ingatan, sedeng, sinting, terganggu; (2) gila-gilaan, luar biasa, tak masuk akal, terlalu; (3) cinta, gandrung, gemar.

Kembali ke Deddy. Ia mengaku tidak tahu kalau penggunaan frasa “orang gila” bisa sampai menyakiti hati oknum tertentu, tentu saja bukan menyakiti langsung hati si ODGJ, gila saja! Dalam konteks konten di YouTube-nya itu, Deddy mengatakan bahwa obrolannya itu terkait dengan komedi dan tidak sedang menyudutkan siapa pun. Deddy mengatakan bahwa ia sudah memeriksanya di KBBI dan kata gila masih tertulis di sana, merujuk kepada makna ‘gangguan jiwa’. Deddy malah menyampaikan harapannya kepada pakar bahasa, "Mudah-mudahan KBBI-nya juga segera diubah.” Penyampaiannya ini menurut saya sebenarnya bukan sebuah harapan penggantian makna, melainkan sindiran kepada mereka yang menyomasi Deddy yang intinya begini: “Tuh, lihat di KBBI!”


Kata gila tidak bisa dibuang begitu saja dari KBBI. Bila dibuang, buang lema nomor (1), sedangkan Lema (2) dan seterusnya harus tetap tertulis karena gila tidak hanya merujuk pada makna ‘gangguan jiwa’. Hal ini malah membuat warganet tersesat. Kalau saya baca di kolom komentar YouTube Deddy, orang-orang malah terseret kepada pemaknaan yang dangkal. Mereka mengganti setiap kata “gila” menjadi “ODGJ”, misalnya (1) Gila, lu Ndro! menjadi ODGJ, lu Ndro!; (2) Aku tergila-tiga menjadi Aku ter-ODGJ; (3) Bakso gila menjadi Bakso ODGJ; (4) Gila hormat menjadi ODGJ hormat.

Tidak semua yang gila itu disematkan kepada orang. Tidak semua yang gila juga karena terkena gangguan jiwa. Coba amati kembali judul salah satu video RianTV: Kejadian Unik Orang Gila Bersihin Orang Gangguan Jiwa di Jalan. Kata gila di sini dalam KKBI merujuk pada makna lema ‘tidak biasa’; ‘tidak sebagaimana mestinya’; ‘berbuat yang bukan-bukan’, sedangkan dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia bisa berarti ‘gila-gilaan’ (pura-pura gila). Biar bagaimanapun, orang dengan gangguan jiwa akan tetap merujuk kepada ‘orang gila’, sedangkan orang gila belum tentu merujuk kepada ‘ODGJ’. Begitu juga dengan penggunaan istilah lainnya: wong edan, orang sinting, dan sebagainya itu.

Anda juga perlu tahu bahwa singkatan ODGJ sudah tercatat dalam KBBI daring (kbbi.kemdikbud.gi.id)—entah siapa yang mengusulkan atau ini inisiatif Badan Bahasa (?). Saya tahu informasi ini dari kiriman seorang kawan di grup WA. Kalau sudah masuk KBBI, berarti istilah ODGJ memang sudah cukup viral. Wajar bila memang banyak yang begitu akrab dengan istilah ODGJ dan melupakan orang gila. Kasihan sekali, ya, orang gila! Seandainya di KBBI makna kata gila pada lema pertama dihapus, saya akan mengusulkan ODGJ tidak hanya merujuk ‘orang dengan gangguan jiwa’, tetapi juga merujuk ‘koruptor’, ‘penyebar hoaks’, ‘orang yang gemar hasud, dengki, iri, dsb’. Karena sejatinya, orang macam itulah yang sebenarnya terkena gangguan jiwa.

Selain orang gila dan ODGJ, setelah saya meluncur ke laman liputan6.com, saya menemukan istilah “penyandang disabilitas mental”. Istilah ini disebut oleh peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Jawa Tengah, Dewantara Damai Nazar dalam Penerimaan Diri sebagai Penyandang Disabilitas Mental dalam Proses Rehabilitasi di Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Mental (RPSDM) “Martani”. Dewantara menjelaskan bahwa penyandang disabilitas mental adalah individu yang mengalami gangguan jiwa yang telah dirawat di rumah sakit jiwa dan direkomendasikan dalam kondisi tenang.

Istilah lain juga saya temukan dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Selain Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dalam undang-undang ini juga terdapat istilah Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Di sini dijelaskan bahwa ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia, sedangkan ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Kalau saya baca penjelasan ini, berarti saran saya sebelumnya masuk kategori ODMK karena orang-orang macam koruptor, penyebar hoaks, dan orang yang gemar hasud, dengki, iri punya potensi menjadi ODGJ. Semoga ODMK juga bisa secepatnya ditulis di KKBI. Saya khawatir kalau hanya ODGJ saja yang masuk KBBI, ODMK bisa iri dan dengki sehingga berisiko menjadi ODGJ.

Terkait kata “masalah” dan “gangguan” dua singkatan di atas, ada sesuatu yang mengganjal batin saya. Kata masalah berarti ‘sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan); ‘soal’; ‘persoalan’, sedangkan gangguan berarti (1) halangan; rintangan; godaan; (2) sesuatu yang menyusahkan; (3) hal yang menyebabkan ketidakwarasan atau ketidaknormalan (tentang jiwa, kesehatan, pikiran); (4) hal yang menyebabkan ketidaklancaran. Kalau Anda amati dengan saksama, seolah ada diskriminasi istilah bahwa yang mengalami “gangguan” tidak harus diselesaikan dan dipecahkan, sedangkan yang mengalami “masalah” bisa diselesaikan dan dipecahkan, bahkan ada penekanan kata “harus” di situ. Padahal kalau Anda menonton tayangan di RianTV, sebenarnya ODGJ juga punya peluang besar untuk sembuh, bahkan sembuh total. Salah satunya Sinti, gadis cantik yang menjadi ODGJ karena persoalan asmara itu kondisinya kini makin hari maik membaik setelah ada penanganan dan komunikasi yang intensif dengan Rian. Jadi, istilah ODGJ ini juga sebenarnya masih perlu dikaji “kewarasannya” atau memang kita kembali kepada orang gila.

Sebelum saya menulis catatan ini, saya dan istri pergi ke luar rumah untuk membeli makan. Tak jauh dari rumah, ada seorang lelaki kumal, tak bersandal, berdiri di pinggir jalan sambil menenteng sampah plastik. Saya pun menyapanya dengan lambaian tangan. Istri saya langsung respons.

“Orang gila kok disapa!” ujar istri sambil menepuk pundak saya.

“Jangan panggil dia orang gila. Nanti kena somasi kayak Om Deddy.”

“Terus?”

“Panggil dia ODGJ.”

“Apa itu?

“Orang dengan gangguan jiwa.”

“Ah, ribet!”

Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan istri saya: ribet! 

Pernyataan istri saya ini memang gokil!


Kiara, Juli 2021



___

Encep Abdullah, penulis buku Susu Bikini.





Komentar