Esai Encep Abdullah
Mengutip dari situs BPOM, Suratmono, Deputi Bidang
Pengawasan Pangan Olahan (BPOM) menegaskan bahwa susu kental manis tidak
dilarang, tapi cara mengonsumsinya berbeda dari susu biasa. Menurutnya, hal ini
yang harus disosialisasikan agar masyarakat tidak keliru mengonsumsinya. Kepala
BPOM, Penny K Lukito juga menyatakan, SKM mengandung susu yang dipekatkan
sebelum ditambahkan gula yang menjadikannya manis (Ardito Ramadhan, kompas.com, 2018).
Sebenarnya ada empat poin yang disampaikan dalam surat edaran itu: (1) dilarang
menampilkan anak-anak berusia di bawah lima tahun dalam bentuk apa pun, (2) dilarang
menggunakan visualisasi bahwa produk susu kental dan analognya disetarakan
dengan produk susu lain sebagai penambah atau pelengkap zat gizi dan produk
susu lain itu di antaranya susu sapi/ susu yang dipasteurisasi/ susu yang
disterilisasi/ susu formula/ susu pertumbuhan, (3) dilarang menggunakan visualisasi
gambar susu cair dan/ atau susu dalam gelas serta disajikan dengan cara diseduh
untuk dikonsumsi sebagai minuman, dan (4) khusus untuk iklan, dilarang
ditayangkan pada jam tayang acara anak-anak. Penutup surat itu pun tertulis “Produsen/
importir/ distributor produk susu kental dan analognya harus menyesuaikan dengan
surat edaran ini, paling lambat enam bulan sejak ditetapkan”.
Persoalan yang menarik bagi saya adalah mencari segala
akar kata: susu. Apa itu susu? Mengapa disebut susu? Tentu saja hal ini harus
akan terkait dengan serba-serbi bahasa. Dalam KBBI susu berarti
(1) organ tubuh yang terletak di bagian dada; (2) organ tubuh yang
terletak di dada wanita yang dapat menghasilkan makanan untuk bayi, berupa
cairan; buah dada; payu dara; tetek; (3) organ tubuh yang terletak di bagian
perut atau dada (binatang) yang menghasilkan makanan untuk bayi, berupa cairan;
(4) air yang keluar dari buah dada, susu binatang; (5) bahan minuman, berupa
cairan atau bubuk.
Berikut lema yang terkait dengan susu: (1) susu asam ‘air susu yang telah rusak (pecah)
karena perkembangbiakan bakteri sehingga rasanya menjadi asam’; (2) susu awet ‘susu yang telah
diproses dan dapat disimpan lama tanpa menjadi busuk’; (3) susu bubuk ‘air susu lembu yang
dikeringkan dan dijadikan bubuk’; (4) susu kaleng ‘air susu lembu yang diawetkan dalam kaleng’; (4) susu kental ‘susu yang
dikentalkan dan diberi gula’; (5) susu
lanjutan ‘makanan yang berbahan dasar susu bubuk, diberikan kepada
bayi sejak berusia 6 bulan sampai dengan 4 tahun’; (6) susu macan cak ‘nama
minuman yang dibuat dari air susu sapi dicampur dengan minuman keras’; (7) susu mandi ‘sediaan untuk mandi
berupa emulsi minyak wangi dalam air’; (8) susu murni ‘susu yang masih asli, seperti pada saat diperah dan
belum dicampur dengan bahan’; (9) susu
pembersih ‘kosmetik berupa cairan kental, berwarna putih, hijau,
dan sebagainya untuk membersihkan wajah’; (10) susu puan ‘susu sapi (kambing dan sebagainya) hasil pemerahan’; (11) susu segar ‘susu murni hasil
pemerahan; susu yang masih dalam keadaan segar dan tidak mengalami pemrosesan’;
(12) susu sisa ‘susu yang
masih terdapat dalam ambing setelah sapi tidak diperah lagi karena bunting tua’; (13)
susu skim ‘cairan susu yang
telah dipisahkan dari kepala susu sehingga kadar lemak dan vitaminnya rendah’;
(14) susu steril ‘susu yang
diproses dengan memanaskannya pada temperatur tinggi dalam waktu yang sangat
singkat’; (15) susu tepung ‘susu
bubuk’; (16) susu tepung tanpa lemak ‘susu
tepung hasil pengolahan (pengeringan) air susu yang telah diambil lemaknya’; (17)
susu yang dipasteurisasi ‘susu
yang diawetkan dengan cara memanaskan pada temperatur 80oC selama 30 menit’.
Pengertian
SKM yang
viral di media sosial itu ada pada nomor (4). Hanya, tidak ada kata tambahan
‘manis’. Istilah manis itu saya rasa sama dengan istilah ‘diberi gula’.
Artinya, makna tersebut mengindikasikan bahwa SKM bukanlah susu murni. Lihatlah
juga pengertian susu murni pada nomor (8). Memang, terlalu naif bila mengatakan
bahwa kita dibohongi produsen. Kita tidak dibohongi dalam istilah. Kebohongan
itu terjadi karena ada makna bahasa yang terputus. Kita hanya dibohongi dari
segi komersial dalam wujud periklanan SKM itu seperti yang tertulis pada empat
poin surat edaran di atas. Susu yang seharusnya bukan dijadikan sebagai minuman
siap saji, malah divisualisasikan sebaliknya, seolah SKM adalah minuman siap
saji dan berenergi, padahal bukan. SKM hanya sebatas pelengkap makanan, bukan
khusus untuk diminum bulat-bulat—walaupun juga tidak mengapa. Seperti juga menurut
Wikipedia bahasa Indonesia yang mengartikan bahwa susu SKM—dikenal juga sebagai susu kental, kental manis—adalah susu sapi yang airnya dihilangkan dan
ditambahkan gula
sehingga menghasilkan susu yang sangat manis rasanya dan dapat bertahan selama
satu tahun bila tidak dibuka. Susu kental manis sering ditambahkan pada hidangan penutup,
seperti kue atau minuman es.
Pendapat
di atas seolah bersebrangan dengan pendapat Holy Adib di Facebook pada 8 Juli
2018 bahwa BPOM meminta produsen produk kental
manis tidak mencantumkan kata "susu" pada kemasan maupun iklan
produknya. Menurutnya, kalau begitu apa sebutan yang cocok untuk menyebut produk
kental manis selain "produk kental manis"?
Holy Adib mengatakan bahwa susu kedelai juga bukan susu.
Apakah produsen susu kedelai harus dilarang juga menyebut produknya sebagai
susu kedelai? Ada lagi minuman yang disebut teh, misalnya teh daun gambir, teh
kulit manggis, dan teh jahe merah. Minuman-minuman yang disebut teh ini tidak
dibuat dari bahan dari pohon teh (Camellia
Sinensis). Apakah produsen minuman semacam teh
ini mesti dilarang mencantumkan kata "teh" pada produknya?
Artinya, sebelum Holy mendapat kebenaran dari berita yang
sebenarnya, ia sekadar memprotes sekaligus mendukung bahwa apakah sesuatu yang
beristilah susu harus ada susunya? Harus dilihat dari frasa itu sendiri. Susu kental
manis, bersubjek susu. Jadi, yang menonjol adalah susu. Susu kental manis bukan
idiom yang konotatif. Beda dengan mata sapi, misalnya. Frasa ini adalah idiomatis, bukan mata, bukan
juga sapi sungguhan. Ia bermakna kiasan yang bermakna ‘telur yang digoreng
tanpa dihancurkan’.
Bagaimana
dengan susu kedelai? Menurut Wikipedia, susu
[kacang] kedelai (Hanzi)
adalah semacam minuman yang dibuat dari kedelai dan disebut susu karena produk berwarna putih kekuningan mirip dengan susu. Susu ini juga dikenal sebagai susu
kedelai di Indonesia. Susu kedelai lazim sebagai hidangan sarapan pagi bersama
dengan penganan lainnya seperti youtiao. Susu kacang memiliki komposisi
yang mirip dengan susu: 3,5% protein, 2% lemak, serta 2,9% karbohidrat. Menurut
seorang ahli nutrisi, susu kedelai bukanlah termasuk
kategori susu
karena susu adalah cairan yang hanya diproduksi oleh kelenjar susu pada mamalia dan manusia.
Nah, susu kedelai adalah sesuatu
yang mirip dengan susu, bukan susu. Jadi, bisa jadi itulah dusta bahasa seperti
yang diistilahkan oleh Iqbal Aji Daryono dalam artikelnya Susu Kental Manis yang Hilang
Susunya yang diposting 6
Juli 2018 pada laman bahasakita.com.
Katanya, coba Anda baca unsur-unsur yang terkandung di dalam produk susu kental
manis. Kalau pabrik mereka tidak ngawur, tentulah mereka menuliskan apa adanya.
Artinya, tidak ada “dusta ilmiah” yang mereka lakukan. Wilayah ilmiah pada
kemasan mereka terletak pada kotak ingredients itu,
bukan? Bagian dari “dusta bahasa”, yaitu dengan menyebut produk mereka sebagai
susu kental manis. Otomatis orang akan mengira itu susu betulan.
Memang, dusta ini akan dikatakan dusta ketika pembaca tidak tahu makna sebenarnya, yang ada hanyalah makna seadanya. Hasilnya adalah dusta bahasa yang disalahpahami sebagai dusta yang nyata. Dalam bahasa, tentu keterkaitan susu ini harus dicari muasalnya. Dengan berpedoman kuota internet, saya cukup kerepotan untuk mempertanggungjawabkan. Dari mana asal kata susu? Seharusnya saya bertanya kepada Remy Sylado. Tapi, saya kupas saja semampu saya, bisa jadi ini menelanjangi diri saya sendiri.
Dalam Wiktionary—setelah saya baca—, bahasa yang paling mendekati muasal susu saya kira adalah bahasa Uzbek yaitu ‘sut’, tapi setelah saya cari padanan katanya di Google Translate, beberapa yang mendekati adalah bahasa Azerbaijani ‘süd’ dan Vietnam ‘sữa’. Ada dua kata awal ‘su’. Bisa jadi orang Indonesia bilang ‘su-su’. Sedangkan dalam istilah lain: Inggris ‘milk’, Belanda ‘melk’, Finlandia ‘maito’, Jerman ‘milch’, Italia ‘latte’, Prancis ‘lait’, Polandia ‘mleko’, Portugis ‘leite’, Rusia ‘молоко’ (moloko), istilah ini sangat jauh dengan penyebutan “susu”.
Selain itu pikiran jahil
saya teringat dengan istilah Inggris so so
yang merupakan salah satu jawaban mitra tutur ketika ditanyai kabarnya. Dalam
bahasa Indonesia bisa diartikan ‘bias-biasa saja’ atau ‘lumayan’ atau ‘sedang-sedang
saja’ atau “tidak sedang benar-benar sehat juga tidak sedang benar-benar sakit”.
Tapi, apakah ada kaitannya so so dengan susu?
Pikiran jahil saya pun beralih kepada istilah show yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti (1) pameran, tontonan, (2) pertunjukan, (3) film,
bioskop. Apa hubungan show dengan susu? Bisa saja ketika itu ada seseorang
yang melihat (maaf) susu perempuan, ia berkata “show! show!’ sehingga terus
berulang dan terdengar “susu”. Sebagai lelaki normal, bisa jadi sebagian lelaki
menganggap bahwa ini memang sebuah tontonan atau pameran sehingga mereka bilang
“show! show!” yang berarti “tontonan! tontonan!”.
Tampaknya, pembahasan ini sudah terlampau gila. Saya
terlalu banyak berimajinasi tentang susu. Apakah benar, susu adalah sebuah
tontonan? Tentu, kaum hawa pasti akan menentang pendapat saya ini meski pada
kenyataannya bisa jadi iya—bagi para lelaki berhidung belang. Kalaupun saja
dugaan saya itu salah semua, anggap saja itu adalah sebuah cerita fiktif.
Berbicara
masalah merek produk dan susu, pada 28 Agustus 2016, saya pernah menulis di kolom
bahasa Haluan Padang berjudul “Metonimia
Absurd”. Saya menulis “Masa, Teh Botol Sosro dan Teh Gelas dikemas dalam bentuk
kotak? Kan, lucu. Lah, kalau Teh Kotak dikemas dalam
botol, apakah tetap namanya Teh Kotak?”
Pernyataan sekaligus pertanyaan saya
ini sebenarnya masih berkaitan dengan masalah SKM di atas. Hanya, kalau SKM itu
tidak begitu tampak dusta bahasa secara kasat mata, sedangkan Teh Botol Sosro
dan Teh Gelas yang dikemas dalam bentuk kotak sangat jelas berbeda secara kasat
mata dari segi fisik, juga logika bahasa yang berlawanan. Nah, bedanya, dalam
produk teh, dusta bahasa tampak eksplisit, sedang dalam susu kental manis tampak implisit,
ada yang tersembunyi. Kedua produsen berusaha saling mencari istilah, mencari
intrik, mencari taktik. Logika bahasa dan dusta bahasa bisa dibenturkan dengan
makna sebenarnya hanya demi nilai komersial semata, merek semata.
Pada akhir tulisan di koran Haluan Padang itu, saya bertanya tentang
sebuah tebak-tebakkan yang gila menurut saya yang sering dilontarkan sahabat
saya dulu sewaktu SMA.
“Dilihat kotak, dipegang bulat, apa?”
Saya menggeleng, tanda meyerah.
Ia pun menjawab,
“Logo OSIS di baju perempuan!”
Saya mengernyitkan dahi: Loh?
Nah,
jawaban dari akhir tulisan saya di Haluan
Padang itu adalah susu. Ini jawaban yang cukup menggelikan. Bahasa dan
makna begitu dengan mudahnya dibolak-balikkan. Seperti yang disampaikan oleh Gorys
Keraf dalam Komposisi (Nusa Indah, Cet. X, hlm. 3) bahwa garis
besar bahasa dapat berupa: (1) untuk menyatakan ekspresi, (2) sebagai alat
komunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial,
(4) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Barangkali
hal macam di atas itu adalah bagian dari nomor satu, yaitu untuk menyatakan
ekspresi. Bagaimana dengan susu dan teh? Mungkin Anda bisa menilai sendiri.
Istilah
susu dalam bahasa Indonesia juga dapat ditemukan dalam peribahasa. Ada istilah air susu dibalas dengan air tuba yang
berarti ‘kebaikan dibalas dengan kejahatan’. Ada juga peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga
yang berarti ‘karena kejahatan atau kesalahan kecil, hilang segala kebaikan
yang telah diperbuat’. Ada juga kerbau
punya susu, sapi punya nama yang berarti ‘seseorang yang membuat kebaikan
atau bersusah payah, tetapi orang lain yang mendapat pujian’. Artinya, dalam
peribahasa, susu juga bisa dikategorikan sebagai pembawa kemaslahatan dan kemudaratan (kebaikan dan keburukan). Tinggal bagaimana
menempatkan istilah itu dengan diksi yang mengikutinya. Air susu dibalas dengan
air tuba, tentu saja perbandingannya sangat jauh. Artinya sesuatu yang manis
malah dibalas dengan racun. Ini kontradiktif
dan berlawanan arah. Peribahasa kedua, susu yang dimaksud bukanlah susu
‘payudara’ melainkan susu ‘perada’
yakni tumbuhan terna yang tingginya mencapai 65 cm, bunga tumbuh di ujung
batang, rimpangnya membesar menjadi umbi, daunnya digunakan sebagai obat; Globba
atrosanguinea.
Jujur, saya pribadi baru
tahu—tepatnya malas mencari tahu—makna kata di atas. Juga makna dari nila
dan sebelanga [bukan sebelangga] dalam peribahasa di atas. Kata nila berarti (1) tumbuhan perdu, tegak, tingginya 1—2 m, bercabang
sedikit, berdaun majemuk menyirip ganjil, mengandung indikan yang menghasilkan
zat warna indigo (nila), digunakan untuk mewarnai tekstil; tarum; Indigofera
suffruticosa; (2) n bahan cat (pewarna) biru yang dibuat
dari daun tarum; (3) a biru. Sedangkan, sebelanga berarti ‘satu bilangan’. Peribahasa yang terakhir kerbau punya susu, sapi punya nama ini
cocok dengan kasus SKM yang sedang heboh itu. Bukankah sebagian binatang punya
susu, tapi mengapa seolah segala yang produk yang berbau susu adalah bersumber
dari sapi. Sapi menjadi semain terkenal, produsen yang kena getahnya.
Segala
kebaikan dan keburukan yang diterima oleh perusahaan atau produsen dari
konsumen bisa jadi karena faktor bahasa itu. Maka, bahasa menurut Abdul Chaer
dan Leonie Agustina dalam Sosiolinguistik
(Rineka Cipta, 2010 hlm. 13),
meskipun lambang-lambang itu bersifat arbitrer, tetapi juga bersifat konvensional.
Artinya, setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang
dengan yang dilambangkannya. Masalahnya, hukum konvensional SKM sebenarnya
sudah terbentuk (menganggap bahwa SKM adalah susu sapi murni), tetapi ada
konvensional yang banyak orang belum ketahui bahwa SKM bukan susu murni. Nah,
hukum konvensional itu terpecah pada orang yang berpengetahuan dengan orang
yang apatis dengan makna konvensional yang ortodoks. Ah, lagi-lagi bahasa,
seperti kata Abdul Chaer bahwa bahasa juga bersifat produktif, artinya, dengan
sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang
hampir tidak terbatas.
Bahkan apa yang hendak dimaksud oleh
Abdul Chaer itu malah melebihi batas makna. Mungkin Abdul Chaer tidak pernah terpikir
sebelumnya. Coba kita tengok di lapangan. Dulu, kala masuk perguruan tinggi,
ada kegiatan wajib dan iseng bernama ospek. Perpeloncoan yang kini sudah dihapus
oleh Anies Baswedan itu memilki keunikan bahasa tersendiri yang digunakan oleh
para mahasiswa (senior kepada juniornya). Misal, dalam suatu kasus, para senior
itu memberikan sebuah teka-teki kepada juniornya dengan cara menyamarkan nama aneka
makanan dan minuman yang harus dibawa ospek besok atau lusa. Salah satunya adalah
minuman yang berbau susu. Istilah-istilah itu di antaranya, si manis
cap ehem= susu kental manis cap Enak,
susunya orang kaya = susu Bear Brand,
susu perawan Belanda/ susu si Mbok= susu
kental manis Milkmaid, susu tengkorak=
susu putih (karena tengkorak itu putih), susu
kotak bantal/ susu ngantuk= semacam susu Ultra dan sebagainya, hanya
atasnya dibuka layaknya bantal, minuman
bendera/ susu kebangsaan= susu Frisian Flag, susu unta = Real Good (mata uang arab= real), dan santan sapi
murni = susu cair. Bukankah itu semacam kreativitas tanpa batas yang
cukup produktif.
Selanjutnya,
ada juga susu yang saya temukan pada jenis permainan tradisional. Ini jenis
permainan sewaktu saya kecil. Saya bersyukur, adik-adik saya juga masih memainkan
ini. Namanya permainan “susu tela”. Kabarnya jenis permainan ini disebut dengan
kakawihan yang berarti ‘dari hati ke hati’, bisa juga berarti ‘lagu’. Setelah saya cari informasinya, ternyata kakawihan merupakan lagu-lagu yang biasa
digunakan dalam permainan anak-anak di daerah Sunda. Salah satu permainan yang
berasal dari Lembang, Bandung Barat (dok. Astri Handayani tentang Struktur Dina Kaulinan Tradisional di Desa
Pagerwangi Kecamatan Lembang, Kab. Bandung Barat Pikeun Bahan Pengajaran Maca
di SMP Kelas VII [Volume 2, Nomor 1, April 2014], Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia). Saya
juga kurang tahu apa makna dibalik “susu tela” itu. Saya biasa menyanyikannya
dengan lirik begini—sambil mengelilingi jari tangan yang ikut bermain—: susu tela berjalan-jalan di pinggir kali,
ikan apa yang kamu sukai? Setelah nyayian berhenti pada kata “sukai”
berarti orang itu yang harus menjawab, misalnya “ikan betik”. Maka si dalang
yang mengelingi jari-jari para pemain bernanyi lagi: hai ikan betik kataya kamu cantik, hai wele-wele hilang satu. Saat
jari dalang berhenti pada lirik “satu” maka jari itu yang hilang. Lalu,
seterusnya dan seterusnya sampai hilang semua jari itu, siapa yang jarinya
habis duluan (selesai permainan), ialah pemenangnya. Jujur, sejauh ini saya
tidak mengerti apa maksud dari permainan itu. Juga makna dari “susu tela” itu
sendiri. Bukankah mengartikan hal semacam ini lebih rumit daripada sekadar
meributkan susu kental manis? Ini jauh lebih berkelas karena
menyangkut kekayaan dan khazanah permaian tradisional Indonesia yang luput dunia
anak-anak zaman sekarang.
Selain itu, istilah susu juga masuk
pada wilayah sastra. Hiruk pikuk susu memang tiada habisnya. Pada novel, ada Ibu Susu karya Rio Johan (KPG, 2017),
yakni bercerita tentang pencarian seorang Pangeran Sem untuk bertemu ibu
susunya. Dalam KBBI, ibu susu berarti
‘wanita yang menyusui anak yang bukan anak
kandungnya’. Hal ini biasa kita temui atau kita baca pada literatur orang-orang
timur, salah satunya bangsa Arab, bahkan Muhammad pun punya ibu susu, yakni
bernama Halimah Sa’diyah. Selain ibu
susu, ada juga istilah seperti cerai
susu (sudah disapih) dan dapur-dapur
susu (bagian tubuh di bawah payudara). Juga ada novel Tulang Rusuk Susu karya Indra Widjaya (Bukune, Desember 2013) dan catatan
harian Cinta Semanis Kopi, Sepahit Susu
karya Bunda Novi (Qibla, 2017). Judul buku yang terakhir ini agak-agak mirip
dengan peribahasa kerbau punya susu, sapi
punya nama meski lain makna.
Pada cerpen, ada judul (juga
dijadikan sebagai judul buku) Payudara
karya Skylashtar Maryam (Langit Amaravati?).
Memang istilah payudara ini lebih
jelas ketimbang susu. Susu bisa
bermakna ganda: susu sebagai wadah susu, susu sebagai cairan yang dihasilkan
oleh susu. Payudara, menurut Eko Setiawan dalam Kompasiana (2011), berasal dari bahasa Sansekerta, payodhara, lalu diadaptasi menjadi payudara yang berarti ‘susu atau tetek’.
Tapi, rasanya tidak mungkin istilah susu kental manis diganti menjadi payudara
kental manis. Susu bisa jadi manis karena gula. Susu yang keluar dari payudara tidak
akan manis karena tidak bercampur dengan gula apa pun. Kalaupun memang manis,
maka kurang tepat juga disebut susu/ payudara kental manis, karena tidak hanya
kental, tetapi juga kentul lebih
tepatnya susu/ payudara kental-kentul
manis.
Ah,
berbicara susu, memang tak ada habisnya. Simpulan saya, apa pun pun susu yang dibahas di sini semoga dapat
membuka wawasan sekaligus cakrawala harapan pembaca tentang susu yang inilah dan susu yang itulah
(Zaskia Ghotic). Saya tutup saja tulisan ini dengan sebuah puisi karya anak bangsa,
Imam Jafar Shodiq.
SUSU DAN SEMUT
Aku senang minum susu
Susu kental manis kesukaanku
Untuk gizi dan pertumbuhanku
Segar hangat di badanku
Setiap pagi aku harus berebut minum
Bukan dengan adik atau siapa pun
Melainkan dengan si pemakan manis-manis
Semut-semut yang imut-imut
Pernah suatu kali
Saat kureguk sisa tetes susuku
Tiba-tiba terasa panas di lidah
Ternyata semut tergigit
Rasanya pedas
Susu manisku pedas di lidah
Oh... kenapa wahai semut
Kamu suka gula dan manis-manis
Tetapi tulangmu panas dan darahmu pedas?
Imam Jafar Shodiq,
Siswa Kelas V SD/MI Zakaria III Bandung
Sumber puisi: Kompas
Minggu, 28 Desember 2008
Pipitan, 31 Juli 2018
Komentar
Posting Komentar