Esai | Susu | Majalah Kandaga Edisi Agustus 2018

 Esai Encep Abdullah




Sebagian teman saya di media sosial saling berebut susu. Mereka berbicara tentang produk susu yang katanya bukan susu itu: susu kental manis (selanjutnya: SKM). Surat Edaran Nomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 Tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya (Kategori Pangan 01.3) memang bikin netizen rusuh. Kepada susu mana mereka harus berpihak. Sebagian tidak mencari sumber kepastian untuk menafsirkannya secara betul. Juga, banyak persepsi yang keliru di masyarakat dalam mengonsumsi SKM.

Mengutip dari situs BPOM, Suratmono, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan (BPOM) menegaskan bahwa susu kental manis tidak dilarang, tapi cara mengonsumsinya berbeda dari susu biasa. Menurutnya, hal ini yang harus disosialisasikan agar masyarakat tidak keliru mengonsumsinya. Kepala BPOM, Penny K Lukito juga menyatakan, SKM mengandung susu yang dipekatkan sebelum ditambahkan gula yang menjadikannya manis (Ardito Ramadhan, kompas.com, 2018).

Sebenarnya ada empat poin yang disampaikan dalam surat edaran itu: (1) dilarang menampilkan anak-anak berusia di bawah lima tahun dalam bentuk apa pun, (2) dilarang menggunakan visualisasi bahwa produk susu kental dan analognya disetarakan dengan produk susu lain sebagai penambah atau pelengkap zat gizi dan produk susu lain itu di antaranya susu sapi/ susu yang dipasteurisasi/ susu yang disterilisasi/ susu formula/ susu pertumbuhan, (3) dilarang menggunakan visualisasi gambar susu cair dan/ atau susu dalam gelas serta disajikan dengan cara diseduh untuk dikonsumsi sebagai minuman, dan (4) khusus untuk iklan, dilarang ditayangkan pada jam tayang acara anak-anak. Penutup surat itu pun tertulis “Produsen/ importir/ distributor produk susu kental dan analognya harus menyesuaikan dengan surat edaran ini, paling lambat enam bulan sejak ditetapkan”.

Persoalan yang menarik bagi saya adalah mencari segala akar kata: susu. Apa itu susu? Mengapa disebut susu? Tentu saja hal ini harus akan terkait dengan serba-serbi bahasa. Dalam KBBI susu berarti (1) organ tubuh yang terletak di bagian dada; (2) organ tubuh yang terletak di dada wanita yang dapat menghasilkan makanan untuk bayi, berupa cairan; buah dada; payu dara; tetek; (3) organ tubuh yang terletak di bagian perut atau dada (binatang) yang menghasilkan makanan untuk bayi, berupa cairan; (4) air yang keluar dari buah dada, susu binatang; (5) bahan minuman, berupa cairan atau bubuk.

Berikut lema yang terkait dengan susu: (1) susu asam ‘air susu yang telah rusak (pecah) karena perkembangbiakan bakteri sehingga rasanya menjadi asam’; (2) susu awet ‘susu yang telah diproses dan dapat disimpan lama tanpa menjadi busuk’;  (3) susu bubuk ‘air susu lembu yang dikeringkan dan dijadikan bubuk’; (4) susu kaleng ‘air susu lembu yang diawetkan dalam kaleng’;  (4) susu kental ‘susu yang dikentalkan dan diberi gula’; (5) susu lanjutan ‘makanan yang berbahan dasar susu bubuk, diberikan kepada bayi sejak berusia 6 bulan sampai dengan 4 tahun’; (6) susu macan cak ‘nama minuman yang dibuat dari air susu sapi dicampur dengan minuman keras’; (7) susu mandi ‘sediaan untuk mandi berupa emulsi minyak wangi dalam air’;  (8) susu murni ‘susu yang masih asli, seperti pada saat diperah dan belum dicampur dengan bahan’; (9) susu pembersih ‘kosmetik berupa cairan kental, berwarna putih, hijau, dan sebagainya untuk membersihkan wajah’; (10) susu puan ‘susu sapi (kambing dan sebagainya) hasil pemerahan’; (11) susu segar ‘susu murni hasil pemerahan; susu yang masih dalam keadaan segar dan tidak mengalami pemrosesan’; (12) susu sisa ‘susu yang masih terdapat dalam ambing setelah sapi tidak diperah lagi karena bunting tua’; (13) susu skim ‘cairan susu yang telah dipisahkan dari kepala susu sehingga kadar lemak dan vitaminnya rendah’;  (14) susu steril ‘susu yang diproses dengan memanaskannya pada temperatur tinggi dalam waktu yang sangat singkat’; (15) susu tepung ‘susu bubuk’; (16) susu tepung tanpa lemak ‘susu tepung hasil pengolahan (pengeringan) air susu yang telah diambil lemaknya’; (17) susu yang dipasteurisasi ‘susu yang diawetkan dengan cara memanaskan pada temperatur 80oC selama 30 menit’.

Pengertian SKM yang viral di media sosial itu ada pada nomor (4). Hanya, tidak ada kata tambahan ‘manis’. Istilah manis itu saya rasa sama dengan istilah ‘diberi gula’. Artinya, makna tersebut mengindikasikan bahwa SKM bukanlah susu murni. Lihatlah juga pengertian susu murni pada nomor (8). Memang, terlalu naif bila mengatakan bahwa kita dibohongi produsen. Kita tidak dibohongi dalam istilah. Kebohongan itu terjadi karena ada makna bahasa yang terputus. Kita hanya dibohongi dari segi komersial dalam wujud periklanan SKM itu seperti yang tertulis pada empat poin surat edaran di atas. Susu yang seharusnya bukan dijadikan sebagai minuman siap saji, malah divisualisasikan sebaliknya, seolah SKM adalah minuman siap saji dan berenergi, padahal bukan. SKM hanya sebatas pelengkap makanan, bukan khusus untuk diminum bulat-bulat—walaupun juga tidak mengapa. Seperti juga menurut Wikipedia bahasa Indonesia yang mengartikan bahwa susu SKM—dikenal juga sebagai susu kental, kental manis—adalah susu sapi yang airnya dihilangkan dan ditambahkan gula sehingga menghasilkan susu yang sangat manis rasanya dan dapat bertahan selama satu tahun bila tidak dibuka. Susu kental manis sering ditambahkan pada  hidangan penutup, seperti kue atau minuman es.

Pendapat di atas seolah bersebrangan dengan pendapat Holy Adib di Facebook pada 8 Juli 2018 bahwa BPOM meminta produsen produk kental manis tidak mencantumkan kata "susu" pada kemasan maupun iklan produknya. Menurutnya, kalau begitu  apa sebutan yang cocok untuk menyebut produk kental manis selain "produk kental manis"?

Holy Adib mengatakan bahwa susu kedelai juga bukan susu. Apakah produsen susu kedelai harus dilarang juga menyebut produknya sebagai susu kedelai? Ada lagi minuman yang disebut teh, misalnya teh daun gambir, teh kulit manggis, dan teh jahe merah. Minuman-minuman yang disebut teh ini tidak dibuat dari bahan dari pohon teh (Camellia Sinensis). Apakah produsen minuman semacam teh ini mesti dilarang mencantumkan kata "teh" pada produknya?

Artinya, sebelum Holy mendapat kebenaran dari berita yang sebenarnya, ia sekadar memprotes sekaligus mendukung bahwa apakah sesuatu yang beristilah susu harus ada susunya? Harus dilihat dari frasa itu sendiri. Susu kental manis, bersubjek susu. Jadi, yang menonjol adalah susu. Susu kental manis bukan idiom yang konotatif. Beda dengan mata sapi, misalnya. Frasa ini adalah idiomatis, bukan mata, bukan juga sapi sungguhan. Ia bermakna kiasan yang bermakna ‘telur yang digoreng tanpa dihancurkan’.

Bagaimana dengan susu kedelai? Menurut Wikipedia, susu [kacang] kedelai (Hanzi) adalah semacam minuman yang dibuat dari kedelai dan disebut susu karena produk berwarna putih kekuningan mirip dengan susu. Susu ini juga dikenal sebagai susu kedelai di Indonesia. Susu kedelai lazim sebagai hidangan sarapan pagi bersama dengan penganan lainnya seperti youtiao. Susu kacang memiliki komposisi yang mirip dengan susu: 3,5% protein, 2% lemak, serta 2,9% karbohidrat. Menurut seorang ahli nutrisi, susu kedelai bukanlah termasuk kategori susu karena susu adalah cairan yang hanya diproduksi oleh kelenjar susu pada mamalia dan manusia.

Nah, susu kedelai adalah sesuatu yang mirip dengan susu, bukan susu. Jadi, bisa jadi itulah dusta bahasa seperti yang diistilahkan oleh Iqbal Aji Daryono dalam artikelnya Susu Kental Manis yang Hilang Susunya yang diposting 6 Juli 2018 pada laman bahasakita.com. Katanya, coba Anda baca unsur-unsur yang terkandung di dalam produk susu kental manis. Kalau pabrik mereka tidak ngawur, tentulah mereka menuliskan apa adanya. Artinya, tidak ada “dusta ilmiah” yang mereka lakukan. Wilayah ilmiah pada kemasan mereka terletak pada kotak ingredients itu, bukan? Bagian dari “dusta bahasa”, yaitu dengan menyebut produk mereka sebagai susu kental manis. Otomatis orang akan mengira itu susu betulan.

Memang, dusta ini akan dikatakan dusta ketika pembaca tidak tahu makna sebenarnya, yang ada hanyalah makna seadanya. Hasilnya adalah dusta bahasa yang disalahpahami sebagai dusta yang nyata. Dalam bahasa, tentu keterkaitan susu ini harus dicari muasalnya. Dengan berpedoman kuota internet, saya cukup kerepotan untuk mempertanggungjawabkan. Dari mana asal kata susu? Seharusnya saya bertanya kepada Remy Sylado. Tapi, saya kupas saja semampu saya, bisa jadi ini menelanjangi diri saya sendiri. 

Dalam Wiktionary—setelah saya baca—, bahasa yang paling mendekati muasal susu saya kira adalah bahasa Uzbek yaitu ‘sut’, tapi setelah saya cari padanan katanya di Google Translate, beberapa yang mendekati adalah bahasa Azerbaijani ‘süd’ dan Vietnam ‘sữa’. Ada dua kata awal ‘su’. Bisa jadi orang Indonesia bilang ‘su-su’. Sedangkan dalam istilah lain: Inggris ‘milk’, Belanda ‘melk’, Finlandia ‘maito’, Jerman ‘milch’, Italia ‘latte’, Prancis ‘lait’, Polandia ‘mleko’, Portugis ‘leite’, Rusia ‘молоко (moloko), istilah ini sangat jauh dengan penyebutan “susu”.

Selain itu pikiran jahil saya teringat dengan istilah Inggris so so yang merupakan salah satu jawaban mitra tutur ketika ditanyai kabarnya. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan ‘bias-biasa saja’ atau ‘lumayan’ atau ‘sedang-sedang saja’ atau “tidak sedang benar-benar sehat juga tidak sedang benar-benar sakit”. Tapi, apakah ada kaitannya so so dengan susu?

Pikiran jahil saya pun beralih kepada istilah show yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti (1) pameran, tontonan, (2) pertunjukan, (3) film, bioskop. Apa hubungan show dengan susu? Bisa saja ketika itu ada seseorang yang melihat (maaf) susu perempuan, ia berkata “show! show!’ sehingga terus berulang dan terdengar “susu”. Sebagai lelaki normal, bisa jadi sebagian lelaki menganggap bahwa ini memang sebuah tontonan atau pameran sehingga mereka bilang “show! show!” yang berarti “tontonan! tontonan!”.

Tampaknya, pembahasan ini sudah terlampau gila. Saya terlalu banyak berimajinasi tentang susu. Apakah benar, susu adalah sebuah tontonan? Tentu, kaum hawa pasti akan menentang pendapat saya ini meski pada kenyataannya bisa jadi iya—bagi para lelaki berhidung belang. Kalaupun saja dugaan saya itu salah semua, anggap saja itu adalah sebuah cerita fiktif.

Berbicara masalah merek produk dan susu, pada 28 Agustus 2016, saya pernah menulis di kolom bahasa Haluan Padang berjudul “Metonimia Absurd”. Saya menulis “Masa, Teh Botol Sosro dan Teh Gelas dikemas dalam bentuk kotak? Kan, lucu. Lah, kalau Teh Kotak dikemas dalam botol, apakah tetap namanya Teh Kotak?”

Pernyataan sekaligus pertanyaan saya ini sebenarnya masih berkaitan dengan masalah SKM di atas. Hanya, kalau SKM itu tidak begitu tampak dusta bahasa secara kasat mata, sedangkan Teh Botol Sosro dan Teh Gelas yang dikemas dalam bentuk kotak sangat jelas berbeda secara kasat mata dari segi fisik, juga logika bahasa yang berlawanan. Nah, bedanya, dalam produk teh, dusta bahasa tampak eksplisit, sedang dalam susu kental manis tampak implisit, ada yang tersembunyi. Kedua produsen berusaha saling mencari istilah, mencari intrik, mencari taktik. Logika bahasa dan dusta bahasa bisa dibenturkan dengan makna sebenarnya hanya demi nilai komersial semata, merek semata.

Pada akhir tulisan di koran Haluan Padang itu, saya bertanya tentang sebuah tebak-tebakkan yang gila menurut saya yang sering dilontarkan sahabat saya dulu sewaktu SMA.

“Dilihat kotak, dipegang bulat, apa?”

Saya menggeleng, tanda meyerah.

Ia pun menjawab,

“Logo OSIS di baju perempuan!”

Saya mengernyitkan dahi: Loh?

Nah, jawaban dari akhir tulisan saya di Haluan Padang itu adalah susu. Ini jawaban yang cukup menggelikan. Bahasa dan makna begitu dengan mudahnya dibolak-balikkan. Seperti yang disampaikan oleh Gorys Keraf dalam Komposisi (Nusa Indah, Cet. X, hlm. 3) bahwa garis besar bahasa dapat berupa: (1) untuk menyatakan ekspresi, (2) sebagai alat komunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, (4) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Barangkali hal macam di atas itu adalah bagian dari nomor satu, yaitu untuk menyatakan ekspresi. Bagaimana dengan susu dan teh? Mungkin Anda bisa menilai sendiri.

Istilah susu dalam bahasa Indonesia juga dapat ditemukan dalam peribahasa. Ada istilah air susu dibalas dengan air tuba yang berarti ‘kebaikan dibalas dengan kejahatan’. Ada juga peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga yang berarti ‘karena kejahatan atau kesalahan kecil, hilang segala kebaikan yang telah diperbuat’. Ada juga kerbau punya susu, sapi punya nama yang berarti ‘seseorang yang membuat kebaikan atau bersusah payah, tetapi orang lain yang mendapat pujian’. Artinya, dalam peribahasa, susu juga bisa dikategorikan sebagai pembawa kemaslahatan dan kemudaratan (kebaikan dan keburukan). Tinggal bagaimana menempatkan istilah itu dengan diksi yang mengikutinya. Air susu dibalas dengan air tuba, tentu saja perbandingannya sangat jauh. Artinya sesuatu yang manis malah dibalas dengan racun. Ini kontradiktif  dan berlawanan arah. Peribahasa kedua, susu yang dimaksud bukanlah susu ‘payudara’ melainkan susu ‘perada’ yakni tumbuhan terna yang tingginya mencapai 65 cm, bunga tumbuh di ujung batang, rimpangnya membesar menjadi umbi, daunnya digunakan sebagai obat; Globba atrosanguinea.

Jujur, saya pribadi baru tahu—tepatnya malas mencari tahu—makna kata di atas. Juga makna dari nila dan sebelanga [bukan sebelangga] dalam peribahasa di atas. Kata nila berarti (1) tumbuhan perdu, tegak, tingginya 1—2 m, bercabang sedikit, berdaun majemuk menyirip ganjil, mengandung indikan yang menghasilkan zat warna indigo (nila), digunakan untuk mewarnai tekstil; tarum; Indigofera suffruticosa; (2) n bahan cat (pewarna) biru yang dibuat dari daun tarum; (3) a biru. Sedangkan, sebelanga berarti ‘satu bilangan’. Peribahasa yang terakhir kerbau punya susu, sapi punya nama ini cocok dengan kasus SKM yang sedang heboh itu. Bukankah sebagian binatang punya susu, tapi mengapa seolah segala yang produk yang berbau susu adalah bersumber dari sapi. Sapi menjadi semain terkenal, produsen yang kena getahnya. 

Segala kebaikan dan keburukan yang diterima oleh perusahaan atau produsen dari konsumen bisa jadi karena faktor bahasa itu. Maka, bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam Sosiolinguistik (Rineka Cipta, 2010 hlm. 13), meskipun lambang-lambang itu bersifat arbitrer, tetapi juga bersifat konvensional. Artinya, setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Masalahnya, hukum konvensional SKM sebenarnya sudah terbentuk (menganggap bahwa SKM adalah susu sapi murni), tetapi ada konvensional yang banyak orang belum ketahui bahwa SKM bukan susu murni. Nah, hukum konvensional itu terpecah pada orang yang berpengetahuan dengan orang yang apatis dengan makna konvensional yang ortodoks. Ah, lagi-lagi bahasa, seperti kata Abdul Chaer bahwa bahasa juga bersifat produktif, artinya, dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.

Bahkan apa yang hendak dimaksud oleh Abdul Chaer itu malah melebihi batas makna. Mungkin Abdul Chaer tidak pernah terpikir sebelumnya. Coba kita tengok di lapangan. Dulu, kala masuk perguruan tinggi, ada kegiatan wajib dan iseng bernama ospek. Perpeloncoan yang kini sudah dihapus oleh Anies Baswedan itu memilki keunikan bahasa tersendiri yang digunakan oleh para mahasiswa (senior kepada juniornya). Misal, dalam suatu kasus, para senior itu memberikan sebuah teka-teki kepada juniornya dengan cara menyamarkan nama aneka makanan dan minuman yang harus dibawa ospek besok atau lusa. Salah satunya adalah minuman yang berbau susu. Istilah-istilah itu di antaranya, si manis cap ehem= susu kental manis cap Enak, susunya orang kaya = susu Bear Brand, susu perawan Belanda/ susu si Mbok= susu kental manis Milkmaid, susu tengkorak= susu putih (karena tengkorak itu putih), susu kotak bantal/ susu ngantuk= semacam susu Ultra dan sebagainya, hanya atasnya dibuka layaknya bantal, minuman bendera/ susu kebangsaan= susu Frisian Flag, susu unta = Real Good (mata uang arab= real), dan santan sapi murnisusu cair.  Bukankah itu semacam kreativitas tanpa batas yang cukup produktif.

Selanjutnya, ada juga susu yang saya temukan pada jenis permainan tradisional. Ini jenis permainan sewaktu saya kecil. Saya bersyukur, adik-adik saya juga masih memainkan ini. Namanya permainan “susu tela”. Kabarnya jenis permainan ini disebut dengan kakawihan yang berarti dari hati ke hati, bisa juga berarti lagu. Setelah saya cari informasinya, ternyata kakawihan merupakan lagu-lagu yang biasa digunakan dalam permainan anak-anak di daerah Sunda. Salah satu permainan yang berasal dari Lembang, Bandung Barat (dok. Astri Handayani tentang Struktur Dina Kaulinan Tradisional di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang, Kab. Bandung Barat Pikeun Bahan Pengajaran Maca di SMP Kelas VII [Volume 2, Nomor 1, April 2014], Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia). Saya juga kurang tahu apa makna dibalik “susu tela” itu. Saya biasa menyanyikannya dengan lirik begini—sambil mengelilingi jari tangan yang ikut bermain—: susu tela berjalan-jalan di pinggir kali, ikan apa yang kamu sukai? Setelah nyayian berhenti pada kata “sukai” berarti orang itu yang harus menjawab, misalnya “ikan betik”. Maka si dalang yang mengelingi jari-jari para pemain bernanyi lagi: hai ikan betik kataya kamu cantik, hai wele-wele hilang satu. Saat jari dalang berhenti pada lirik “satu” maka jari itu yang hilang. Lalu, seterusnya dan seterusnya sampai hilang semua jari itu, siapa yang jarinya habis duluan (selesai permainan), ialah pemenangnya. Jujur, sejauh ini saya tidak mengerti apa maksud dari permainan itu. Juga makna dari “susu tela” itu sendiri. Bukankah mengartikan hal semacam ini lebih rumit daripada sekadar meributkan susu kental manis? Ini jauh lebih berkelas karena menyangkut kekayaan dan khazanah permaian tradisional Indonesia yang luput dunia anak-anak zaman sekarang.

Selain itu, istilah susu juga masuk pada wilayah sastra. Hiruk pikuk susu memang tiada habisnya. Pada novel, ada Ibu Susu karya Rio Johan (KPG, 2017), yakni bercerita tentang pencarian seorang Pangeran Sem untuk bertemu ibu susunya. Dalam KBBI, ibu susu berarti ‘wanita yang menyusui anak yang bukan anak kandungnya’. Hal ini biasa kita temui atau kita baca pada literatur orang-orang timur, salah satunya bangsa Arab, bahkan Muhammad pun punya ibu susu, yakni bernama Halimah Sa’diyah. Selain ibu susu, ada juga istilah seperti cerai susu (sudah disapih) dan dapur-dapur susu (bagian tubuh di bawah payudara). Juga ada novel Tulang Rusuk Susu karya Indra Widjaya (Bukune, Desember 2013) dan catatan harian Cinta Semanis Kopi, Sepahit Susu karya Bunda Novi (Qibla, 2017). Judul buku yang terakhir ini agak-agak mirip dengan peribahasa kerbau punya susu, sapi punya nama meski lain makna.

Pada cerpen, ada judul (juga dijadikan sebagai judul buku) Payudara karya Skylashtar Maryam (Langit Amaravati?). Memang istilah payudara ini lebih jelas ketimbang susu. Susu bisa bermakna ganda: susu sebagai wadah susu, susu sebagai cairan yang dihasilkan oleh susu. Payudara, menurut Eko Setiawan dalam Kompasiana (2011), berasal dari bahasa Sansekerta, payodhara, lalu diadaptasi menjadi payudara yang berarti ‘susu atau tetek’. Tapi, rasanya tidak mungkin istilah susu kental manis diganti menjadi payudara kental manis. Susu bisa jadi manis karena gula. Susu yang keluar dari payudara tidak akan manis karena tidak bercampur dengan gula apa pun. Kalaupun memang manis, maka kurang tepat juga disebut susu/ payudara kental manis, karena tidak hanya kental, tetapi juga kentul lebih tepatnya susu/ payudara kental-kentul manis.

Ah, berbicara susu, memang tak ada habisnya. Simpulan saya, apa pun pun susu yang dibahas di sini semoga dapat membuka wawasan sekaligus cakrawala harapan pembaca tentang susu yang inilah dan susu yang itulah (Zaskia Ghotic). Saya tutup saja tulisan ini dengan sebuah puisi karya anak bangsa, Imam Jafar Shodiq.

 

SUSU DAN SEMUT

Aku senang minum susu
Susu kental manis kesukaanku
Untuk gizi dan pertumbuhanku
Segar hangat di badanku

Setiap pagi aku harus berebut minum
Bukan dengan adik atau siapa pun
Melainkan dengan si pemakan manis-manis
Semut-semut yang imut-imut

Pernah suatu kali
Saat kureguk sisa tetes susuku
Tiba-tiba terasa panas di lidah
Ternyata semut tergigit
Rasanya pedas

Susu manisku pedas di lidah
Oh... kenapa wahai semut
Kamu suka gula dan manis-manis
Tetapi tulangmu panas dan darahmu pedas?

Imam Jafar Shodiq,
Siswa Kelas V SD/MI Zakaria III Bandung

Sumber puisi: Kompas Minggu, 28 Desember 2008

Pipitan, 31 Juli 2018


Komentar