Cerpen | Percakapan Angin | Majalah Kandaga, April 2019

 Cerpen Encep Abdullah



*Kabul, Bakul, Pak Bihul

Saban malam, gardu Gang Wes-Ewes tidak pernah sepi. Satu, dua, tiga orang pasti ada yang nongkrong di situ. Dan percakapan-percakapan tentang segala persoalan hidup tak pernah terlewat. Mulai dari soal cinta hingga soal selangkangan.

“Kalian tahu nggak, kemarin gue lihat isi dalam rok bininya si Kubil saat ia sedang jemur pakaian di depan rumah,” ujar si Kabul.

“Serius lu!” si Bakul penasaran.

“Serius!”

“Warna apa?” saut si Bakul.

“Huss … kalian itu tak bisa ya bahas hal lain. Kayak gitu kok dibahas. Itu loh, ngapain coba si Kibul katanya mau beli mobil baru segala. Buat apa sih. Kurang mainan!” potong Pak Bihul.

“Iya, memang kurang kerjaan,” timpal si Kabul.

“Biarin sih, duit dia ini!” si Bakul menimpali dengan sewot.

“Iya, tapi apa dia punya garasi mobil? Mau ditaruh di mana coba?” si Bihul menguatkan diri.

Seketika percakapan-percakapan itu semakin larut dan lamat-lamat menghilang dan berganti dengan percakapan lainnya. Berganti pada ruang lainnya.


*Kubil dan Istri

Pada remang cahaya di dalam kamar, si Kubil sedang-saling bermesra dengan istrinya. Mereka jarang sekali keluar rumah sehingga selalu menjadi sasaran empuk perbincangan para tetangga mereka. Padahal mereka sebenarnya tidak pernah tahu apa yang dikatakan oleh para tetangga itu tentang kehidupan mereka, selain daripada kabar-kabar angin yang sampai pada mereka.

“Sayang, mereka ngapain sih suka ngumpul di gardu. Nggak jelas. Setiap malam pula. Mending kita di rumah saja. Kamu jangan kayak mereka ya! Bolehlah keluar, sesekali saja,” ujar istri Kubil dengan mesra sembari meraih tangan suaminya lalu menaruh telapak tangannya ke pipi.

“Iya. Mereka itu tidak punya otak sama sekali. Malam-malam suka begadang. Apa gunanya. Berisik dan mengganggu malah. Coba dengar, mari dengar, coba, itu suara tertawa si Kabul, bukan?”

“Iya memang berisik. Apalagi gardunya tepat di depan rumah kita.”

“Apa sih yang mereka bicarakan sampai tertawa sehebat itu?”

“Entahlah. Eh, tuh, suara siapa lagi itu? Jelek sekali!”

“Itu kan suaranya Pak Bihul. Suara dia memang jelek. Aku pernah mendengar dia nyanyi di kamar mandi. Jelas sekali!”

“Bagaimana tidak terdengar jelas, rumahnya sebelah rumah kita. Satu tembok lagi!”

“Ya, namanya juga kompleks perumahan subsidi.”

“Pokoknya aku nggak suka dengar dia nyanyi. Pengin muntah.”

“Sama.”


*Kubil dan Bakul

Suatu sore Bakul nongkrong di teras rumah Kubil. Kebetulan Kabul—tetangga sebelah kanan rumah Kubil— sedang tidak ada di rumah. Belum pulang kerja. Biasanya dia pulang pukul empat sore dari pabrik sepatu. Kubil dan Bakul sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Bakul duduk di kursi, lalu mengepuskan asap rokoknya sembari kepalanya bersandar di tembok rumah Kubil—abu cat temboknya menempel di rambut Bakul, kayak uban. Kubil yang berada di samping kirinya menepis-nepis asap rokok Bakul.  

“Eh, lu tahu nggak. Masa, kemarin malam si Kabul bilang dia melihat isi dalam rok bini lu. Katanya warnanya hitam. Kayaknya dia napsu banget sama bini lu.”

“Serius?”

“Iya.”

“Bangsat tuh orang! Dia pikir bini gue cewek murahan!”

“Makanya, mending lu hajar saja tuh orang. Otaknya memang mesum. Maklumlah, dia itu kan masih perjaka tingting. Mungkin iri kali melihat lu yang baru jadi penganten baru.”

“Dia ngomong apa lagi?”

“Ah, banyak pokoknya. Katanya masa cewek secantik itu bisa suka sama lu. Sedangkan wajah lu jauh dari dunia milenial.”

“Ah, bangsat benar itu mulut!”

“Iya, mulut dia itu memang tengik!”

Si Bakul terus saja tiada henti menyulut amarah Kubil. Segala yang mungkin tak pernah dibicarakan Kabul dengan mudahnya terlontar begitu saja dari mulutnya. Pada senja yang merona itu, kobaran api membakar hati Kubil. Tapi, betapa pun marahnya Kubil, ia tidak akan berani menegur Kabul. Ia tahu tetangganya itu adalah anak preman. Tatonya banyak. Bisa mati konyol dia kalau melawan Kabul. Meski dalam hatinya menaruh dendam, tapi tak sampai jua kemarahannya itu ia luapkan. Percakapan pun terus berlanjut sampai suara motor RX King Kabul terdengar dari balik pengkolan jalan Gang Wes-Ewes.


*Kubil, Kabul, Kibul

Malam itu tak biasanya Kubil keluar rumah. Ia ikut nongkrong di gardu gang—gardu yang dibuat tepat bersandar dengan kuburan warga yang tak mau digusur menjadi kompleks perumahan itu. Mereka saling menyeruput kopi. Kopi  yang sudah disiapkan oleh Kabul. Stok kopinya memang banyak. Apa saja ada. Suasana malam itu tampak seperti tak ada masalah apa pun di antara mereka. Padahal mereka masing-masing saling tahu segala perkara percakapan yang ganjal didengar oleh kabar-kabar angin itu.

“Kibul, kau tahu tidak, kemarin malam Pak Bihul bilang katanya kau tak pantas punya mobil. Padahal kan kau berhak punya mobil,” Kabul membuka percakapan—malam itu kebetulan Pak Bihul dapat sift malam di pabrik.

“Waduh, tak bisa dibiarkan. Tukang cari gara-gara!” timpal Kibul.

“Masa iya, orang baik kayak Pak Bihul ngomong begitu?” ujar Kubil tidak yakin.

“Dia ngomong di depan mata kepala saya sendiri,” Kabul berusaha meyakinkan diri sembari menunjuk kedua bola matanya.

“Tapi di depan mataku juga sih, Pak Bihul sebenarnya orang baik,” Kibul berbeda pandangan lagi.

“Kebaikan seseorang kan bisa dimanipulasi,” tukas Kabul.

“Iya juga sih. Ah, tapi saya juga tidak mau berprasangka buruk dulu. Siapa tahu kau juga salah dengar.”

“Terus, masa dia juga bilang buat apa beli mobil kalau tidak punya garasi. Itu sama saja memakan tanah haram hak orang lain untuk akses jalan,” tambah Kabul.

“Astagfirullah!”

Kibul hanya mengelus dada. Sedangkan, sekali lagi Kubil hanya menyimak percakapan dari Kabul dan Kibul. Ia cuma sekali menjawab dengan retoris. Dalam hati, sebenarnya Kubil marah dan ingin memberontak apa yang sudah dikatakan Kabul pada malam kemarin. Tapi, Kubil tak bisa berbuat apa-apa. Mentalnya melempem. Padahal ketika ia kembali ke rumah, ia kembali sewot. Percakapan malam itu cukup panjang dan banyak percakapan yang malang-melintang tak tahu arahnya, saling melempar kabar angin.


*Kibul dan Pak Bihul

Pada hari itu Kibul dan Pak Bihul mendapat sift yang sama di pabrik. Hati-terkoyak Kibul tak bisa langsung diungkapkan kepada Pak Bihul. Biar bagaimana pun, Pak Bihul adalah rekan kerja setianya di pabrik, juga sebagai rekan satu jiwa sebagai satpam. Banyak hal yang sudah mereka lalui bersama selama hampir lima tahun terakhir. Usia mereka memang terpaut jauh, beda sepuluh tahun. Kibul sudah menganggap Pak Bihul sebagai kakaknya sendiri. Ia sering diberikan kopi, rokok, bahkan makanan oleh Pak Bihul. Kadang ketika Kibul tidak punya uang pun, Pak Bihul selalu ada untuknya. Pak Bihul memang rajin menabung. Cukup banyak tabungannya. Wajar saja, istrinya juga punya penghasilan sendiri. Anaknya cuma satu, sudah kerja pula.

Sejauh ini, Kibul tak pernah menganggap percakapan pada malam itu—dengan Kabul—ada. Tapi, betapa sungguh hatinya masih menyimpan api meski harus ditahan dan dikalahkan oleh faktor kedekatan dan persahabatan.

“Pak Bihul, saya mau tanya. Menurut Pak Bihul, si Kabul itu orangnya bagaimana sih?”

“Loh, kok, tumben ngomongin dia. Kenapa? Ada masalah?”

“Nggak ada kok, Pak. Cuma agak aneh aja, kok saya kurang sreg ya kalau ngbrol sama dia. Setiap kata-katanya meragukan.”

“Ngobrolin apa?”

“Apa saja.”

“Ah, Kibul. Kau tak perlu mikirin Kabul. Dia memang wataknya seperti itu. Suka memfitnah dan mengadu domba. Saya pernah jadi korbannya. Tapi, saya tahu itu karakter dia. Maka, saya biarkan saja.”

“Pak Bihul tidak marah atau dendam?”

“Untuk apa? Itu hanya akan menguras energi. Toh, lihat mulut si Kabul. Suka ke sana -kemari tanpa dikontrol. Masa dia suka manggil saya 'sesepuh tua bangka yang bau tanah di Gang Wes-Ewes'. Saya kan tidak terima, saya ini masih muda. Loh. Iya, kan? Mulut si Kabul itu memang tidak punya adab dan sopan santun.”

Pernyataan itu membuat Kibul yakin, apa yang dikatakan Pak Bihul itu benar. Dan, kayaknya tidak mungkin Pak Bihul berkata seperti apa yang dikatakan Kabul pada waktu itu. Kini, Kibul sedikit menaruh amarah kepada Kabul karena ulahnya. Kibul lupa pada segala apa yang dikatakan Kabul kepadanya waktu itu.

Percakapan mereka pun melebur ke mana-mana. Sampai tahi cicak jatuh pun mereka bicarakan.

“Nah, mulut si Kabul itu kayak tahi cicak ini, bacin!” Pak Bihul menunjuk tahi yang jatuh di meja pos satpam.

Pak Bihul dan Kibul pun saling tertawa terbahak-bahak. Mereka lupa pada apa yang sedang dirahasiakan. Pada apa yang tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam.


 *Kubil dan Pak Bihul

Pada suatu hari, Minggu pagi, di teras rumah Kubil.

“Kubil, si Kabul ke mana tumben hari ini belum kelihatan di basecamp?”

“Kurang tahu, Pak. Kenapa Bapak nanya ke saya, saya kan jarang ngumpul di gardu.”

“Dia itu suka ngomongin kamu di gardu. Dia juga suka kepo. Suka nanya warna pakaian dalam yang disukai istrimu itu apa. Padahal kan itu rahasia pribadi.”

“Kelewatan ya memang. Kemarin si Kabul, sekarang si Bakul. Dua orang itu kok kurang kerjaan sih.”

“Iya saya juga bingung. Dia juga bilang kalau kamu itu sebenarnya homo. Kelihatan dari muka kamu yang tidak punya hasrat sama sekali sama perempuan.”

“Berengsek!”


*Kubil,  Kibul,  dan Pak Bihul

Pada suatu malam, bulan purnama—dan besok hari libur karena tanggal merah—para Bapak Gang Wes-Ewes seperti biasa bikin acara masak-masak dan makan-makan—sembelih ayam kampung—, sedang istri-istri mereka, saling menyendiri di rumah. Istri-istri mereka memang tidak begitu hobi berkumpul apalagi bergosip. Lebih baik di rumah, main HP, main Instagram, mencari model-model baju terbaru dan belanja online.

Malam itu memang tidak ada sosok Kabul. Tapi, sosok Bakul juga tiba-tiba menghilang dari keramaian acara malam itu. Padahal, tadi, Bakul benar-benar masih ada, duduk digardu sembari main HP.

“Tadi sih, saya lihat Bakul ngendap-ngendap masuk menuju rumah Kabul,” ujar Pak Bihul.

Kubil, Kibul, dan Pak Bihul penasaran. Mereka mengintip dari celah gorden rumah Kabul yang kebetulan lampunya menyala. Dari celah itu, tampak dua lelaki bugil yang sedang beradu kejantanan di atas kasur. Kubil, Kibul, dan Pak Bihul dalam posisi setengah jongkok saling menelan ludah. Geleng-geleng tidak percaya. Di dalam sana, Kabul dan Bakul saling mendesah. Saling menikmati. 

Kiara, 28--30 September 2018


UNDUH MAJALAH!

Komentar