Cerpen | Sup Jempol Kaki Ustaz | Lampung Post, 21 Juli 2013

Cerpen Azka E.A. Abhipraya (Encep Abdullah)

Setiap malam orang-orang berbondong-bondong mendatangi kedai Sup Jempol Kaki Ustaz yang ada di samping rumah Pemuda. Bapak Pemuda tersenyum melihat anaknya yang sedang melayani para pelanggan. Sesekali ia melihat kedua jempol kakinya yang sudah lenyap.

*** 

Awalnya orang-orang jijik menyantap makanan ini. Sampai ada yang merem memakannya. Ada yang setengah-setengah ragu. Ada pula yang tak pikir panjang lagi untuk memakannya. Tapi, itu dulu. Seiring waktu berjalan, mereka memakannya seperti biasa. Seperti makan nasi campur telur. Seperti makan mi campur bakso. Mereka melupakan semua kejijikan itu. Apa yang terhidang, mereka santap. Terpenting mereka bisa pintar. Konon, masyarakat Kontang mempercayainya. Hal ini ramai semenjak setahun yang lalu. Semenjak seorang ustaz tak dikenal datang ke kampung tersebut. Menempati surau yang sudah agak reyot.

Ustaz itu berperawakan aneh. Tubuhnya besar. Tinggi. Seperti orang-orang Eropa. Matanya ada tiga—seperti Dajjal, tapi ia bukan Dajjal. Berpakaian serba putih. Dengan selendangnya yang tak pernah tertinggal melingkari kedua bahunya. Dan selalu membawa kitab kuning di tangannya.

Setiap malam ia selalu berzikir di surau yang amat sepi dengan jemaah itu. Mulutnya komat-kamit seperti mbah dukun baca mantra. Sembari memejamkan mata, ia tetap khusyuk melakukannya dari waktu salat ke waktu salat berikutnya. Ia benar-benar tampak begitu serius walaupun kadang-kadang orang-orang memerhatikannya dengan aneh. Ia tak menghiraukan. Warga memang agak khawatir bila ada orang baru yang masuk ke kampung. Apalagi berawakan aneh. Orang-orang tidak mau kejadian beberapa waktu silam itu terulang kembali, ketika ada seseorang yang membawa aliran agama sesat. Dan membikin sebagian warga kampung murtad.

“Ustaz, saya mau tanya, bo... bo... boleh?” tanya Pemuda suatu malam. Tangan dan bibirnya gemetar.

“Mau tanya apa anak muda?” Ustaz bertanya balik dengan nada suaranya yang besar. Menggema. Seperti ada dua suara yang mengikuti suara aslinya.

“Ustaz ini siapa, yah? Semenjak seminggu lalu saya perhatikan, ada aura yang tak biasa dari diri Ustaz. Ada sesuatu yang aneh. Dan membuat saya memberanikan diri untuk menghampiri dan bertanya langsung pada Ustaz.”

“Saya datang dari langit,” jawabnya singkat.

“Dari langit?” wajah Pemuda bingung. “Maksud Ustaz?” lanjutnya.

“Saya turun dari langit untuk menyampaikan pesan kepada engkau.”

“Kepada saya?” wajah pemuda tampak semakin bingung, sambil mengernyitkan dahi.

“Ya, Kau. Kau adalah orang pertama yang menyapa saya di dunia ini. Tuhan menyuruh saya untuk memberikan pesan ini kepada orang yang pertama kali menyapa saya. Kaulah orang itu, wahai, Pemuda!”

Pemuda membetulkan topinya yang sedari tadi miring ke kanan menjadi lurus ke depan. Ujung topinya hampir saja mengenai wajah Ustaz—topi panjang yang aneh. Ia agak mundur sedikit. Kembali wajahnya serius menatap Ustaz. Ia melanjutkan pertanyaannya.

“Kenapa harus saya? Saya bukan orang beriman. Saya hanyalah preman, ya, Ustaz.”

“Justru itu yang Tuhan inginkan. Pesan ini harus sampai pada orang yang belum memiliki banyak ilmu.”

“Dari mana Ustaz tahu otak saya memang kosong.”

“Pertanyaan engkau sudah menunjukkan jika kau kurang berilmu. Berapa umur engkau?”

“Dua puluh.”

“Bagus. Tolong sampaikan pesan ini kepada kawan-kawan yang otaknya tak jauh dari engkau. Setelah itu sampaikan kepada warga sekampung. Kampung ini kampung kotor. Perlu disucikan.”

“Baiklah, amanat apakah itu Ustaz?” tanya pemuda tak sabar.

Seusai Isya hingga menjelang Subuh mereka berdialog. Mata Pemuda sudah terlihat lelah. Sesekali ia tertidur, namun Ustaz itu sesekali menepuk bahunya. Ia pun sadar kembali dengan mata yang semakin segar bugar. Sentuhan Ustaz seperti setruman listrik baginya.

Semenjak pesan itu disampaikan kepada si Pemuda. Ustaz aneh tak pernah terlihat lagi. Pemuda itu beberapa kali berkeliling mengitari surau. Siapa tahu makhluk aneh—menurut Pemuda itu—ada di bilik-bilik belakang surau. Atau di atas genteng. Pemuda pasrah, dan kembali memikirkan pesan Ustaz yang membikin ia kebingungan bukan kepalang untuk melakukannnya.

“Wah, amanat yang aneh,” ujar kawan Pemuda di pos ronda.

“Iya, gue sebenarnya ragu harus mengamanatkan ini kepada kalian. Apakah kita bisa mencuri jempol kaki para ustaz untuk kita santap?” tanya Pemuda.

“Loe harus yakin dengan amanat dia. Utusan Tuhan loh. Wah, kalau begini gue juga yang kena! Baiklah, demi kemajuan warga kampung kita. Demi kemajuan otak gue juga, biar tambah pintar. Haha.”

“Ok. Mari kita mulai menyebarkan amanat ini!” seru Pemuda.

Satu orang, dua orang, tiga orang, sudah menyebarkan pesan itu. Warga kampung sedikit demi sedikit mulai geger dengan isu ini. Ada yang menerima. Ada pula yang resah. Takut kejadian pemurtadan itu datang lagi. Namun, Pemuda memercayai seratus persen apa yang memang dikatakan ustaz aneh itu. Tangan-tangan para ustaz memang memiliki wasiat. Dulu waktu ia di pesantren, ia dan para santri lainnya selalu menunggu air kobokan usai ustaz pesantren makan. Ternyata bukan hanya saat bersalaman saja yang para santri tunggu, melainkan juga air kobokan pun mereka tunggu. Ketika ustaz pesantren sudah meninggalkan tempat makan, para santri berebut untuk meminum air kobokan bekas makan ustaz pesantren itu.

“Ane dulu.”

“Ane dulu.”

“Eh, ane dulu. Biar ane pinter. Ente belakangan!”

Para santri berebut tak keruan. Kadang air kobokan yang hanya sedikit itu—seukuran gelas teh—tumpah karena ulah para santri. Hingga pada suatu hari, ketua santri berinisiatif membikin jadwal harian untuk bergantian meminum air kobokan ustaz pesantren itu. Ustaz yang sehari bisa makan lima kali. Lima kali makan= lima kali air kobokan untuk santri. Sayangnya, Pemuda keluar dari pesantren karena ketahuan merokok berkali-kali. Ia terbawa oleh kawannya yang teramat nakal di pesantren itu. Ayahnya pasrah mendengar hal ini.

“Dari tangannya saja sudah bikir geger para santri. Bagaimana jempol kakinya, yang kebanyakan orang-orang tidak tahu khasiatnya. Selain pintar, juga bisa bikin masuk surga, seperti apa yang dikatakan Ustaz di surau itu,” pikirannya sudah melayang terlalu jauh. “Andai saja gue masih di pesantren itu, mungkin gue nggak sebodoh ini,” lanjutnya.

“Kapan kita mulai untuk korban pertama?” tanya kawan Pemuda.

“Ustaz aneh itu bilang, kita harus punya minimal sepuluh orang yang bisa kita ajak untuk melakukan hal ini.”

“Kira-kira sudah cukuplah, mulai dari kawan-kawan kita saja dulu yang sudah jelas mau. Gue, Elu, Asep, Firman, Mang Icha, Sunaryo, Budi, Akbar, Atip, Rahmat.”

“Ok.”

Malam itu di pos ronda tanpa atap itu mereka berdiskusi. Pos ronda yang selalu sepi. Pos ronda yang sudah lama ditinggalkan warga. Pos ronda yang sudah menjadi basecamp para preman. Para pemuda sudah ada yang bersiap-siap bawa golok, celurit, kapak kecil, pisau, silet, dan senjata tajam lainnya. Padahal, belum ada instruksi memulai dari Pemuda.

Sembari ditemani suara burung-burung hantu dan tokek-tokek di pepohonan, suasana malam menjadi semakin tak keruan menggoyang-goyangkan bulu-bulu roma mereka. Sebagian hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Sebagian lagi mengenakan sarung yang membungkus tubuh mereka. Hanya kepala saja yang tampak. Mirip bebongkong. Dingin semakin merambat, menusuk tulang-tulang mereka.

Pemuda memimpin rapat. Suasana semakin tegang ketika mereka mulai menyebut satu per satu siapa saja ustaz yang akan menjadi korban. Mereka mencari korban dari para ustaz kampung sebelah yang namanya sudah tenar di telinga. Para pemuda yang sebagian preman ini sangatlah mudah mencari nama-nama ustaz itu. Wajar saja, mereka punya banyak teman yang hanya tinggal dihubungi saja melalui telepon genggam, siapa nama-nama ustaz yang tenar di kampung itu.

“Ustaz Mahmud, korban pertama!”

“Ustaz Damyati, korban kedua!”

“Ustaz Rusdi, korban ketiga!”

“Ustaz Kubil, korban keempat!

“Ustaz Komeng, korban kelima!”

“Hei, itu kan ayahku!” ujar Pemuda kaget.

“Wah, gimana, bokap loe ustaz. Ya, harus dibasmi juga.”

“Wah, nggak bisa. Kasihan!”

“Berarti loe nggak konsisten dengan amanat loe dong!” ujar kawan Pemuda lainnya.

Pemuda skeptis. Ia bingung setengah mati. Ia sendiri lupa jika bapaknya adalah seorang ustaz. Hanya tinggal satu-satunya ustaz yang ada di kampung tempat tinggalnya, yang lainnya sudah entah-berentah pergi ke mana. Merantau ke seluruh pelosok negeri. Mungkin dari mereka sudah membuat pondok pesantren di tempat masing-masing.

Suasana malam itu menjadi semakin tegang. Kawan-kawan Pemuda memojokkan Pemuda untuk konsisten dengan apa yang ia katakan. Pemuda hanya diam. Ia tak mampu berbicara sepatah kata pun.

“Tapi, bapak gue bukan ustaz pintar. Ia hanya ustaz kecil-kecilan. Ustaz undangan sunatan. Kalau ia pintar pasti gue juga nggak bakal seperti ini. Tangannya masih kotor. Suka menampar gue. Apalagi pas tahu kalau gue dikeluarkan dari pesantren. Jika tangannya kotor, gimana jempol kakinya.”

“Ah, itu hanya alasanmu saja. Tetap saja bokapmu itu ustaz!” ujar kawan Pemuda lain.

“Ya, sudah, kita jangan membicarakan bapak gue dulu. Nanti saja, lihat situasi dan kondisi. Simpan diurutan terakhir saja. Ingat, intinya sekarang surga ada di jempol kaki ustaz!” tegas Pemuda.

Malam sudah beringsut. Suara kokok ayam dari berbagai sudut kandang rumah warga mulai berkumandang. Pemuda dan kawan-kawannya membubarkan diri. Besok malam mereka harus sudah bersiap-siap untuk melakukan aksi, memotong jempol kaki ustaz untuk korban yang pertama.

Sepanjang jalan pulang, Pemuda masih memikirkan apa yang tadi dibicarakan di pos ronda bersama kawan-kawannya itu. Bagaimana dengan nasib bapak? Apakah harus menjadi korban juga? Kasihan juga, pikirnya.

Sesampainya di rumah, wajahnya kusut. Ia tak kuasa menatap wajah bapaknya yang harus menjadi salah satu korban dirinya. Mau bagaimana lagi, amanat istaz aneh itu bakal selalu terngiang di kepalanya bila hal ini tidak ia lakukan.

“Dari mana kamu?” Bapak Pemuda yang usai menutup bacaan Al-Quran memanggil. Pemuda yang sudah sampai depan pintu kamarnya itu menoleh ke belakang.

“Habis dari rumah teman,” jawabnya dengan nada setengah lesu.

“Pasti pesta rokok lagi, dasar anak tak tahu diri! Bisanya apa sih kamu!”

Pemuda tak meladeni perkataan bapaknya. Ia masuk ke kamar. Lantas memikirkan kembali apa yang sudah semalaman ia dan kawan-kawannya bicarakan.

Dalam benaknya, meski ia agak jengkel dengan perkataan bapaknya itu dari dulu, dalam hatinya ia tetap menyayanginya. Siapa lagi yang mengurusi ia semenjak ibunya pergi karena kanker otak itu kalau bukan bapaknya.

“Rasanya tak tega bila harus memotong jempol kaki Bapak. Sungguh, betapa sakitnya hal itu.” Matanya sudah lebam, lantas ia pun tertidur.

Pemuda bertemu kembali dengan ustaz dari langit itu. Ia menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya saat ini, meskipun misi pembataian jempol kaki para ustaz itu belum dimulai.

“Apa yang harus saya lakukan, wahai, Ustaz? ”

“Lakukan, meskipun itu bapakmu!”

“Saya tak tega, Ustaz.”

“Demi umat!” tegas ustaz dari langit.

“Saya sebenarnya masih bingung dengan amanat Ustaz.”

“Apa yang masih membuat engkau bingung, wahai, Pemuda?”

“Kenapa harus para ustaz yang menjadi korban?”

“Sudah saya katakan sebelumnya, semua ini demi umat. Terlebih kampungmu ini. Para ustaz sudah tak ada lagi. Surau selalu sepi. Pos ronda juga selalu sepi. Semoga dengan adanya jempol kaki para ustaz, bisa menggantikan keberadaan para ustaz yang sudah banyak hilang itu. Bisa meramaikan kampung ini kembali. Tubuh para ustaz itu suci. Apalah artinya jempol kaki mereka bila demi kemaslahatan umat. Saya yakin, ketika mereka tahu untuk apa sebenarnya engkau melakukan ini, mereka akan senang. Namun, tetap engkau harus melakukannya dengan sembunyi. Dengan mencurinya. Biarkan mereka mencari tahu sendiri ke mana jempol kaki mereka hilang.”

Keringat di kening Pemuda bercucuran. Ia gelisah. Lantas ia pun terbangun dari tidurnya. Matanya melotot ke mana-mana.

“Astagfirullah…!” Pemuda mengusap cucuran keringatnya.

Serang, 28—30 Juli 2012 (11.40 AM)


Komentar