Oleh Azka EA Abhipraya [Encep Abdullah]
Puisi bukan terletak pada rumit dan
tidaknya sebuah kalimat ditulis, akan tetapi terletak pada kemampuan mengolah
bahasa, dalam hal ini kemampuan berekspresi. Puisi yang saya tulis semuanya terang
benderang dan itu tidak berarti tidak ada kedalaman dalam puisi saya (Rendra).
Kutipan di atas saya ambil dari sebuah buku esai (apresiasi puisi) Soni Farid Maulana. Isi
kutipan itu adalah pengakuan Rendra sendiri atas karyanya. Ia membuka “kartunya”
sendiri. Jadi, siapa pun yang membaca karyanya tentu percaya dari apa yang tertulis
di atas. Begitu pun dalam kumpulan sajak terbarunya Doa untuk Anak Cucu yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, 2013. “Kartu”
apa yang kira-kira Rendra buka dengan terang benderang. Apakah urusannya lagi-lagi
dengan rakyat, politisi, alam, atau yang lainnya.
Saya membayangkan sedang berdialog dengan penulisnya ketika membaca kumpulan sajak ini. Ia masuk ke dalam jiwa dan pikiran saya. Ia membacakan sajaknya dengan lembut. Penuh penghayatan. Saya pikir, ia belum mati. Ia masih hidup. Ia masih berada di sekeliling kita. Barangkali dengan lahirnya buku ini, kerinduan kita (pembaca) dapat terobati. Seolah saya dapat dipertemukan dengannya.
Berbicara “kartu”, lagi-lagi Rendra penuh percaya diri menuliskan karyanya. Ia berbicara dengan tema yang sudah pernah ia tulis dalam sajak-sajak sebelumnya, yakni sosial-politik. Saya kutip salah satu sajaknya sebagai berikut.
Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
…. /O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!// O, rasa putus asa yang terbentur sangkur// Berhentilah mencari Ratu Adil!// Ratu Adil itu tidak ada!// Ratu Adil itu tipu daya!// Apa yang harus kita tegakkan bersama// Adalah Hukum Adil/ … (Jakarta, 17 Mei 1998)
Walupun sajak di atas ditulis pada Mei 1998, barangkali masih relevan dengan keadaan saat ini—apalagi berkaitan dengan isu-isu korupsi yang gencar diberitakan di media dewasa ini. Rendra konsisten dengan tulisannya. Ia juga pernah bercerita bahwa ada unsur ke-lekra-an juga dalam sajak-sajaknya. Tapi, ia tak menggubris jauh soal itu. Rendra tetap menulis dengan gayanya sendiri, yakni gaya bahasa naratif yang apik. Gaya yang sudah dipilihnya semenjak pertama kali ia berkenalan dengan dunia tulis-menulis. Sapardi Djoko Damono menyebutnya sebagai keterampilan berbahasa. Dan itu merupakan syarat pertama dan utama bagi seorang penyair. Kemampuan penyair dalam mengolah bahasa sebagai medan ekspresi dari sajak yang ditulisnya itu sangat menentukan isi dan mutu. Apalagi sajak-sajaknya dominan bertipe mimbar/panggung yang dapat dipentaskan. Baginya urusan bahasa tak ada masalah. Ia sangat piawai dalam hal itu. Penghayatannya yang dalam terhadap lingkungan hidup dalam pengertian yang seluas-luasnya sungguh telah membuat kita sadar, bahwa puisi bukan hanya peristiwa estetika semata-mata, tetapi juga peristiwa bahasa, hati dan pikiran.
Sebagai seorang seniman yang berkali-kali menjadi buronan aparat polisi—bahkan sempat di bui—Rendra tak pernah berhenti menulis. Baginya menulis bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk anak cucu kelak. Tanggung jawabnya sebagai penyair memang benar-benar ditularkan dengan segenap keteguhannya berkata-kata. Ia menghanyutkan diri dalam puisi. Dengan bekal kejujuran nuraninya, ia memberi kesaksian atas hidup. Hidup jiwanya yang personal dan hidup kewadagannya yang komunal. Eksistensinya pun tak pernah surut. Kian waktu kian memukau. Hingga ia dijuluki sebagai “si Burung Merak” dari Solo, semakin sayapnya berkibar, semakin indah karya-karyanya dipentaskan di atas panggung. Seperti beberapa sajaknya terdahulu yang dikumpulkan dalam Balada Orang-orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, dan Orang-orang Rangkasbitung, yang tidak tertandingi dalam perkembangan puisi naratif di negeri ini.
Berkaitan dengan lahirnya buku Doa untuk Anak Cucu, menurut catatan editor—Edi Haryono—buku ini berangkat dari isi kuliah Rendra sepuluh tahun sebelumnya di Kampus Bengkel Teater Rendra, Desa Cipayung Jaya. Rendra mengatakan sajak-sajaknya merupakan semacam “yoga bahasa,” yaitu semacam ruang ibadah. Dan kemudian ia lebih tebal mengatakan: puisiku adalah sujudku, sedangkan tentang ”untuk anak cucu” datang dari pernyataan Rendra dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan. Ia protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran berani. Malah sebaliknya karena ia takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan.
Rendra sangat peduli dengan kehidupan, terutama masa depan. Ia melakukan semua itu bukan hanya hubungannya kepada manusia, melainkan juga urusan pengabdiannya kepada Tuhan. Seperti yang pernah dikatakan Kuntowijoyo, seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia ia harus menjadi saksi eksistensi Tuhan. Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi rahasia Tuhan. Bagi rendra, puisi tidak hanya lahir dari pengalaman fisik, tetapi juga dapat lahir dari pengalaman metafisik. Meskipun dalam buku ini lebih banyak sajak sosial-politik, saya lebih tersentuh beberapa sajaknya yang metafisik; transendental. Seperti sajak Gumamku ya Allah dan Doa—yang juga disertai tulisan tangan asli Rendra.
Gumamku, ya Allah
… /Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu.// Agama adalah kemah para pengembara.// Menggema beragam doa dan puja.// Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda. (Jakarta, 28 Mei 1983)
Doa
Allah menatap hati.// Manusia menatap raga.// Hamba bersujud kepada-Mu, ya Allah!// Karena didupku, karena matiku./ … (Depok, 7 November 2002)
Kedua sajak di atas ditulis begitu terang benderang—seperti apa kata Rendra dalam kutipan diawal tulisan ini. Keduanya mudah dimengerti dan dipahami, tapi bukan berarti tak ada kedalaman isinya. Tidak!
Selain dua sajak di atas, ada satu sajak yang membikin bulu kuduk saya merinding. Sajak yang penuh penghayatan, jiwa raganya tulus ia serahkan kepada Tuhan. Barangkali ia menuliskan sajak ini berteteskan air mata. Berikut sajaknya.
Tuhan, Aku Cinta pada-Mu
/Aku lemas// tapi tak berdaya// Aku tak sambat rasa sakit// atau gatal.// Aku pengin makan tajin// Aku tidak pernah sesak napas// tapi tubuhku tidak memuaskan// untuk posisi ideal dan wajar / aku ingin membersihkan tubuhku// dari racun kimiawi./ Aku ingin kembali ke jalan alam// Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah./ Tuhan, aku cinta pada-Mu. (Kelapa Gading, Jakarta, 31 Juli 2009)
Sajak di atas merupakan sajak terakhirnya setelah sekian tahun ia mencipta dan menyetubuhi kata-kata. Ia menunjukkan bahwa ia sedang sakit parah. Tak berdaya. Ia pengin sehat seperti sedia kala supaya ia dapat beribadah kepada Tuhan dengan semestinya. Namun sayang, 6 Agustus 2009 adalah akhir dari segala petualangannya bersajak. Sang Maha Pencipta sajak telah lebih dulu menjemputnya. Indonesia pun kehilangannya. Renda benar-benar petualang sejati. Di mana pun ia berpijak, hati terketuk dan terkoyak, di situlah ia mencipta sajak. Semoga buku Doa untuk Anak Cucu ini dapat bermanfaat untuk kita, untuk anak cucu kita kelak. Amin.
Selamat membaca!
Komentar
Posting Komentar