Cerpen | Mata Malaikat | Radar Banten, 22 April 2012

 Cerpen Aray Rayza (Encep Abdullah)



Saya merindukan purnama datang ....

Bila malam semakin larut, kampung saya akan menjadi terang seketika. Dan akan banyak lelaki yang berkerumun. Seperti ratu kunang-kunang yang diburu banyak jantan. Setiap malam, bahkan setiap hari pasti ada saja yang mencolek bibir saya. Paha saya. Payudara saya. Saya hanya diam. Saya menikmati apa yang mereka lakukan terhadap saya.

Ibu akan terus menyuruh saya sampai kapan pun untuk seperti ini. Saya anak semata wayang yang menjadi kebanggaannya. Tidak ada yang bisa mencari uang banyak selain saya. Ayah tidak bisa apa-apa. Stroke yang dideritanya semenjak dua tahun yang lalu menjadikannya tak berdaya melakukan sesuatu. Sawah yang ia punya dijual untuk biaya pengobatannya. Hingga kini biaya pengobatan ayah masih terus berjalan, sedangkan uang ayah sudah menipis. Semenjak itulah saya harus mencari banyak uang untuk ayah dan juga untuk menafkahi hidup kami.

Ibu sudah tidak terlihat cantik lagi. Tidak seperti dulu. Sekarang ia sudah keriput seperti nenek sihir. Namun, menurut orang-orang wajah saya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibu waktu dulu. Hanya, saya sedikit lebih cantik dan montok, kata mereka.

"Kamu selalu terlihat segar setiap hari. Apalagi bila di malam hari," ujar salah seorang pelanggan sambil menyeruput kopi.

Setiap malam tidak pernah ada lelaki yang rebutan terhadap saya. Mereka sudah saling mengerti kapan waktu di antara mereka yang harus mencium bibir saya. Paha saya. Dan menikmati payudara saya. Sudah menjadi jadwal tersendiri bila malam tiba. Meskipun lelaki yang lain hanya melihat, tapi mereka tak akan pernah iri dengan jatah lelaki yang malam itu bermesraan dengan saya. Malah kadang beberapa di antara mereka menyawer kepada saya dengan lelaki yang melumat bibir saya itu dengan sumringah. Uang-uang berhamburan di warung saya.

Penduduk sekitar tidak akan pernah peduli dengan wajah malam yang buram seperti ini. Lelaki yang sudah dewasa—lelaki yang belum beristri—memang harus bisa mencari kehidupan sendiri. Sudah diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Meskipun itu laknat. Namun, di kampung kami memang tak pernah ada larangan keras. Kebebasan sudah menjadi tradisi. Dari nenek moyang dulu sudah di ajarkan seperti itu. Ibu saya mengatakan seperti itu pula sewaktu saya masih sekolah dasar. Saya diajarkan untuk menerima beban. Bila memang saya yang terpilih menjadi gadis yang menjadi ratu di kampung ini. Saya bersyukur, karena dengan ini saya bisa membiayai ayah hingga ia benar-benar sembuh. 

Banyak saingan untuk mencapai titik ini. Di kampung saya banyak gadis yang cantik. Beberapa di antaranya malah lebih cantik daripada saya. Namun, entah mengapa saya yang terpilih menjadi gadis pilihan para lelaki di kampung saya. Warung saya selalu ramai setiap malam. Selalu menjadi tempat favorit yang tiada tara selain daripada rumah-rumah mereka. 

"Kamu tidak sombong kepada setiap lelaki. Tidak seperti Marni, anak lurah itu. Izah, anak pak RT itu. Kamu lebih anggun dan terbuka kepada setiap orang," ujar pelanggan yang sekira berumur dua puluh lima tahun itu.

Saya senang dengan sanjungan mereka. Saya tidak mau mengecewakan mereka. Saya benar-benar harus melayani mereka setiap malam dengan senyum hangat dan belaian mesra. Jika tidak, maka saya akan dianggap seperti Marni dan Izah. Selain itu saya akan kehilangan pendapatan saya sehari-hari untuk menyembuhkan ayah. Usaha warung saja tidak akan cukup bila tidak dibumbui hal-hal semacam ini. Semua sudah menjadi rezeki saya. Saya ingin ayah sembuh.

Ayah tidak pernah tahu saya seperti ini. Ia hanya terbaring lemah di tempat tidur. Pendengarannya sudah terganggu. Jadi, sebising apa pun situasi di warung, tidak akan pernah terdengar sampai kapan pun di telinganya. 

Sebenarnya dalam hati, saya merasa berdosa. Saya sudah melanggar amanat ayah tempo dulu. 

"Kamu harus menjadi wanita baik-baik. Jangan seperti ibumu dulu. Ayah tidak mau kamu menjadi gadis yang di lumat oleh banyak orang. Lupakan tradisi kampung ini. Lupakan."

Begitulah sekiranya amanat yang di sampaikan ayah di telinga saya. Lebih tepatnya waktu sekolah menengah pertama. Namun, ibu yang yang sudah terdoktrin dengan budaya adat kampung ini, menuntut saya untuk tetap mengikuti apapun yang menjadi kebiasaan di kampung ini. Saya bingung untuk memilih. Sampai akhirnya saya memilih anjuran dari ibu. Saya tak mau ayah terus-terusan sakit.

Sebulan ini sebenarnya saya kurang bergairah bermesraan dengan para lelaki itu. Saya merindukan sosok pemuda yang berhidung mancung itu. Sejauh ini wajahnya tak pernah muncul di hadapan saya. Ia adalah orang yang paling dekat dengan ibu saya. Bahkan terkadang sering mengobrol perihal saya dengan ibu saya. Pun perihal keadaan ayah saya. Hanya pemuda itu yang selalu saya harapkan kedatangannya. Ia amat berbeda dengan kebanyakan lelaki yang lain. Ia tidak terlalu butuh dengan bibir saya, paha saya, atau payudara saya. Ia datang hanya ingin memandang kedua bola mata saya. Bisa hampir dua jam bila ia melakukan itu. Tidak seperti lelaki lain yang selalu ingin melumat lekuk tubuh saya. Ia begitu perhatian terhadap kondisi ayah.

Mata pemuda itu seperti sepasang mata malaikat saat memandang saya. Jantung saya berdetak lebih kencang ketika bertemu dengannya. Baru dua kali ia ke warung saya. Terakhir kali ia muncul ketika bulan purnama datang. Semenjak itu, semenjak ia mengecup kedua bola mata saya ia tak pernah datang kembali. 

Kedatangan pemuda itu banyak tidak sukai oleh para lelaki lain. Saya malah kadang lupa daratan bila sudah memandang mata pemuda itu. Saweran-saweran para lelaki lain tidak saya hiraukan. Kadang sebagian dari para lelaki itu pulang dengan wajah kesal. Benci memandang saya dengan pemuda itu. Hanya dengan pemuda itu.

Saya benar-benar merindukan matanya. Rasanya begitu sejuk dan menenangkan hati. Segala kegundahan yang menyelimuti hidup saya terasa hilang. Beban-beban hidup saya terasa menjadi lunak. Saya ingin ia datang kembali. Cepatlah kamu datang sayang ....

Semenjak saya memikirkan pemuda itu. Tiba-tiba saja gairah saya menjadi berkurang. Setiap malam banyak lelaki yang mengeluh berciuman dengan saya. Rasanya pahit. Payudara saya pun katanya tidak sekenyal kemarin-kemarin. Sedikit-demi sedikit para lelaki itu menghilang dari warung saya. Ibu menanyai saya perihal ini. Saya diam saja. Ibu menampar wajah saya. Saya diam saja. Saya melihat ayah terbaring di tempat tidur, saya langsung tersadar. Ayah harus sembuh. Ayah harus sembuh.

Kembali saya bergairah di malam hari meskipun dengan wajah terpaksa. Saya tidak bisa membohongi diri saya. Ah, semua demi ayah. Akan saya lakukan apapun demi dia. 

Pada malam hari kembali tubuh saya dinikmati oleh para lelaki. Mereka yang kemarin kurang bergairah, kini bergairah kembali. Malah semakin ramai. Warung saya menjadi semakin sempit. Kepulan asap rokok di mana-mana. Cecak-cecak dengan suka ria bercinta di dinding-dinding.

Seminggu lagi bulan purnama akan datang. Semoga pemuda itu datang menghampiri saya. Saya pasti akan semakin bergairah. Bila ia benar-benar datang, saya akan langsung melumat bibir dia. Mengajaknya berpandang-pandangan kembali seperti dulu. Hanya itu saat-saat terindah dalam hidup saya. Sangat aku tunggu kedatangannya.

Malam pertama bulan purnama datang. Cecak-cecak di tembok saling berkelahi. Kadang yang satu jatuh ke bawah dan mati. Cecak-cecak jantan berebut cecak betina yang sedang bunting. Saya dan seorang lelaki—yang kebagian jatah saya malam itu—masih saling melumat bibir di bawah cecak-cecak itu. Saweran uang berseliweran di warung saya.

Tiba-tiba suasana menjadi hening ketika datang seorang pemuda tampan. Para lelaki memasukkan kembali uang-uang yang berseliweran tadi ke kantong celana mereka masing-masing. Sedangkan saya masih menikmati ciuman dengan lelaki yang tadi. Saya pun berhenti berciuman. Seketika saya melihat wajah para lelaki yang lain memasang wajah yang kurang enak dipandang. Wajah-wajah kusut. Saya langsung terperangah ketika melihat sesosok pemuda berhidung mancung itu memandang ke arah saya. Menghampiri saya. Ia memegang pundak saya. Tubuh saya bergetar tak karuan. Mata itu, sama seperti mata yang dulu. Mata yang sangat saya rindukan.

Saya tak berkutik. Saya lupa dengan janji saya bila bertemu dengannya akan langsung melumat bibirnya. Semua tubuhku tak bisa berbicara. Seperti yang dulu. Pandangan mata itu menatap tajam mata saya. Kali ini tatapan matanya memberikan banyak isyarat yang tidak bisa saya terima. Saya terasa di bawa ke alam bawah sadarnya. Terbawa ke sebuah alam yang jelas sekali alam yang belum pernah saya lihat. Aneh. Tapi rasanya saya tahu hal ini dari kitab suci yang pernah saya baca. Tapi apa? Saya tidak bisa menafsirkan dengan kata-kata. Saya semakin di bawa ke kedalaman matanya. Saya bisa melihat orang-orang mandi di sungai jernih. Melihat banyak burung-burung indah berterbangan. Sesekali api-api juga berloncatan dari matanya. Kobaran api-yang meluap-luap. Saya tak bisa mendengar segala suara di sekeliling saya selain apa yang saya dengar dari kedalaman matanya. Tiba-tiba saja air mata keluar membasahi pipi saya.

"Izinkan saya membawa ayahmu ke tempat yang tenang," ujarnya.

Saya langsung tersadar. Dan pemuda itu seketika menghilang dari hadapan saya.


Serang, 8 Desember 2011


Komentar