Oleh Encep Abdullah
Setidaknya, selama lima tahun saya pernah malang melintang menjadi pengajar bahasa Indonesia di beberapa bagian wilayah Banten. Sejak mahasiswa saya sudah mengajar di tempat bimbel. Di tempat bimbel itu saya tidak hanya mengajar di Serang, tetapi juga di Cilegon, Rangkasbitung, Pandeglang, bahkan pernah dikirim ke Tangerang, Indramayu, dan Bekasi. Tentu hal itu menjadi pengalaman tersendiri bagi saya, terutama ihwal perjalanan saya menekuni dunia mengajar dan bahasa. Dari beberapa tempat yang saya datangi itu, tak ada masalah mengenai komunikasi berbahasa Indonesia saya dengan peserta didik meskipun dalam keseharian mereka mungkin terbiasa menggunakan bahasa daerah. Mereka mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, malah mungkin mereka juga lebih pandai berbahasa asing ketimbang saya.
Apa yang saya rasakan di tempat bimbel itu berbeda dengan apa yang saya rasakan di sekolah. Rasanya, ilmu bahasa Indonesia yang saya miliki begitu berat diajarkan. Di sekolah, yang notabene bukan di kota, para siswa lebih sering menggunakan bahasa daerah (Jawa Serang) ketika berkomunikasi dengan teman sejawatnya, bahkan dengan gurunya. Padahal dalam ruang lingkup sekolah seharusnya mereka menggunakan bahasa Indonesia atau paling tidak (sesuai dengan tata tertib sekolah) menggunakan bahasa daerah halus (baca: bebasan). Nyatanya, mereka lebih senang berkomunikasi menggunakan bahasa daerah (versi kasar) itu. Yang lebih mengerikan lagi, mereka membawa bahasa daerah itu ke dalam ruang lingkup kegiatan belajar mengajar di kelas, juga ketika ujian lisan dilakukan padahal yang diujikan bukan pelajaran bahasa daerah, melainkan bahasa Indonesia. Tingkatan yang saya ajar ini adalah sekolah menengah kejuruan (SMK). Ini yang membuat saya cemas. Saban hari di luar sekolah padahal mereka sudah sangat puas menggunakan bahasa daerah itu. Namun, sekali waktu rasanya berat sekali bagi mereka untuk konsisten menggunakan bahasa Indonesia di sekolah.
Pada suatu kali saya pernah menyuruh mereka membaca sebuah cerita pendek berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku" karya Seno Gumira Ajidarma. Saya sengaja menyodorkan cerita semacam itu agar di benak mereka tumbuh kecintaan terhadap sastra dan bahasa (dalam cerpen yang mereka baca). Setelah mereka selesai membaca, saya ajukan sebuah pertanyaan dasar: “Kalian tahu apa itu senja?” Wajah mereka saling berpandangan. Mereka bingung. Mereka saling lempar- jawab. Saya menghela napas sembari mengelus dada. Salah satu dari mereka hanya menjawab “Pak, ceritanya nggak ngerti. Nggak jelas.” Saya timpali lagi pernyataan mereka, “Bukan cerpennya yang tidak jelas. Tapi, karena kalian kurang baca. Kurang perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Bagaimana bisa memahami isi cerita kalau arti kata senja saja kalian tidak tahu dan tak mau cari tahu.” Dari trauma semacam itu, saya mewajibkan mereka agar menggunakan bahasa Indonesia, minimal ketika belajar atau berkomunikasi dengan saya. Karena saya yakin, di dalam setiap jam pelajaran (apa saja), mereka selalu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah yang sudah mendarah daging itu. Siapa pun gurunya bahkan kepada kepala sekolah pun mereka sama ratakan. Aturan berbahasa Indonesia yang saya buat itu saban minggu masih saja dilanggar. Mereka lebih senang berbahasa daerah. Mereka sangat berkeberatan berbahasa Indonesia di sekolah walaupun hanya sehari, hanya sekian jam, bahkan sekian menit saja.
Anehnya memang, sebagian dari mereka, bila ada yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia malah dibilang sok gaya, sok keren, sok baku. Apa sebenarnya yang mereka mau? Saya tak ingin mereka berlarut semacam itu. Saya tak mau mereka tak acuh terhadap bahasa Indonesia. Ketidakpedulian itu akan berakibat miskinnya kosa kata yang mereka miliki. Saya punya trik sendiri mengatasi masalah ini. Saya memaksa dan mewajibkan mereka untuk membaca buku, minimal satu buku dalam seminggu. Setiap minggu mereka menyetor bacaan kepada saya. Karena saya sadar diri di sekolah tidak terdapat buku bacaan yang saya inginkan walau sekadar bacaan fiksi remaja. Saya mewajibkan setiap siswa memiliki satu buku. Dengan modal satu buku itu, mereka bisa membaca banyak buku, yakni dengan saling-tukar bacaan saban minggu (dan harus sudah selesai). Hampir satu tahun hal ini dilakukan, dampak positifnya mereka malah kecanduan bahkan ada yang memaksa saya agar saya meminjami mereka buku. Bermula satu buku per minggu, kini mereka bisa menghabiskan paling banyak delapan buku (dengan ketebalan minimal seratus halaman). Saya berkeringat dingin mendengar itu. Hati saya berbunga-bunga. Saya selalu berharap dari kegiatan rutin baca itu, mereka semakin cinta terhadap bahasa Indonesia dan konsisten berbahasa Indonesia dengan baik di sekolah. Nyatanya, mereka belum bisa. Mereka tetap mantap menggunakan bahasa daerah (kasar) itu. Padahal sudah saya tekankan kembali kepada mereka “Setelah kita banyak baca buku, mari kita berbahasa Indonesia dengan baik!”
Lain lagi dengan pernyataan istri saya yang belakangan ini selalu dilontarkan kepada saya: “Jangan ajari anak kita bahasa daerah. Apalagi bahasa Jawa Serang. Mbung! Ajari anak kita bahasa Indonesia saja.” Pernyataan ini seolah menusuk jantung saya. Apa yang saya alami di sekolah malah terjadi pula di rumah. Hanya karena persoalan bahasa, kami sering ribut kecil meski tak sampai pisau melayang. Kebetulan kami adalah keluarga muda yang baru genap enam bulan memiliki buah hati. Saya dari keluarga Jawa Serang. Bagi istri saya, bahasa Jawa Serang terdengar begitu kampungan dan aneh. Ia selalu menertawai saya ketika saya berbicara menggunakan bahasa Jawa Serang, misalnya saya berujar “bejod”, “sengit”, “tangi”. Maklum, istri saya memang keturunan dari keluarga Sunda Tangerang. Jadi, mendengar bahasa Jawa Serang semacam itu adalah alergi tersendiri meskipun sebenarnya ia menyimak secara perlahan dan bertanya artinya kepada saya. Tapi anehnya, istri saya tetap ngotot bahwa anak kami harus diajarkan bahasa Indonesia sejak kecil. Dan untuk kali ini, saya wajib membela bahasa daerah.
Istri saya tidak menyadari bahwa hal semacam itu tidak baik untuk kesehatan kebahasaan anak kelak. Saya malah menyarankan ajari anak bahasa apa saja, sebanyak mungkin. Biarkan anak itu menyimak bahasa Jawa Serang (Banten), bahasa Sunda Banten, bahasa Indonesia, atau barangkali bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya. Membatasi anak untuk menyimak bahasa yang dominan digunakan di sekitarnya adalah sesuatu yang sangat mustahil dihindari. Saya jelaskan kepada istri saya bahwa bahasa daerah kian waktu kian punah. Banyak orang tua yang lebih memilih mengajari anak mereka dengan “bahasa ibu” bahasa Indonesia ketimbang “bahasa ibu” bahasa daerah. Bahasa daerah tidak di setiap tempat ada. Tidak di setiap tempat digunakan. Tidak di setiap tempat dilestarikan. Tapi, bahasa Indonesia sebagai lingua franca bisa digunakan di mana saja dan kapan saja di negeri ini. Baik dalam situasi formal maupun nonformal.
Persoalan semacam ini sudah menjadi polemik tersendiri bagi kalangan pencinta bahasa. Di satu sisi, seolah bahasa Indonesia membunuh eksistensi bahasa daerah itu. Di satu sisi terpaku kepada bahasa daerah bisa membuat seseorang kaku dan beku berbahasa Indonesia seperti yang di awal tulisan ini saya paparkan. Oleh karena itu, apa yang menjadi dasar jawaban saya kepada istri saya itu adalah bagian dari sesuatu yang dilematis itu. Tak usah diributkan bahasa apa yang harus didahulukan. Bahasa apa yang harus menjadi “bahasa ibu”. Yang terpenting adalah kita mengajari anak kita bahasa yang baik, bahasa yang sopan, bahasa yang dibutuhkan oleh perkembangan dan situasi zaman.
Menutup tulisan ini, sekilas saya teringat perkataan seorang kawan sewaktu acara “Simposium Bahasa Indonesia” di Universitas Indonesia beberapa tahun silam. Ia berkata begini: “Bahasa daerah itu penting, bahasa Indonesia itu wajib, dan bahasa asing itu butuh.”
Tabik.
Komentar
Posting Komentar