Resensi Encep Abdullah
Judul
Buku : Cinta di Negeri Seribu Satu
Tiran Kecil
Tebal : 487 Halaman
Penulis : Sitok Srengenge
Penerbit : Rajut Publishing, Jakarta
Tahun
Terbit : Mei, 2012
Membaca
kumpulan esai Sitok, Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil ibarat
berdialog dengan orang yang sedang kebingungan mencari jalan keluar dalam
menghadapi persoalan hidup. Namun, bukan berarti Sitok tak mampu mencari jalan
keluarnya sendiri. Justru, Sitok sengaja ingin berbagi kepada khalayak untuk
bersama-sama merenung mencari solusi jitu menghadap persoalan tersebut.
Dalam
esai-esainya, Sitok berusaha menyodorkan kepingan-kisah kisah yang berceceran
di jalanan. Tanpa bermaksud menggurui maupun mendoktrin pembacanya untuk
percaya dengan pendapatnya. Seperti penyataan Goenawan Muhamad dalam pengantar
buku ini, “Di sini, para pembaca dicoba dipikat, dirayu, dibujuk, diajak,
tetapi tidak pernah diteror dan ditaklukkan”.
Esai-esai
Sitok kerapkali menunjukkan jiwa kepenyairannya. Beberapa esai dalam buku ini
tak lepas dari bait-bait puisi yang ia comot dari pengarang-pengarang sekaliber
Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, Hesoid, maupun Emily Dickinson. Puisi-puisi
tersebut dijadikan sebagai pedoman penguat esai-esainya. Seperti bait puisi
Chairil berikut, Jangan mengerdip, tatap dan penamu asah. Tulis atas kertas
gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah (Penjara Cinta, Hal. 254),
dan kata-kata Oscar Wilde, Bila kau benar-benar menginginkan cinta, kau akan
menemukan cinta itu sedang menunggumu (Penjara Cinta, Hal. 254).
Persoalan
yang diangkat dalam esai-esainya, antara lain isu humanisme universal,
moralitas, agama, dan cinta. Tak ada
satu pun dalam esainya yang
mengkaji sebuah karya. Seperti esai-esai pada umumnya (sebut saja, Ignas
Kleden, Damhuri, Seno GA). Di
sinilah letak kelebihan esai-esai yang diangkat Sitok. Tak berkesan kaku untuk
dibaca. Tak banyak teori yang membikin kepala njelimet, melainkan pembaca
ibarat diajak mengobrol bertatap muka. “Mari kita selesaikan
bersama-sama!” begitulah sekiranya
ketika usai membaca setiap esainya. Pemikiran-pemikirannya amat diskursif.
Membikin pembaca berkata “Ada benarnya juga.”
Selain mengangkat
isu-isu di atas, Sitok kerapkali mengangkat segi penggunaan bahasa maupun
ungkapan yang sering dianggap senjata dalam hidup kita. Padahal bila dikoreksi
pernyataan itu dapat di falsifikasi atau digugurkan. Semisal dalam esai Pemerintah,
menurut Sitok penggunaan kata “Pemerintah” kurang tepat karena berkesan para
pejabat negara bisanya hanya memerintah saja. Apalagi orang yang diperintah
memerintah lagi. Menurutnya kata yang tepat adalah “Pengelola Negara” supaya
berkesan lebih sopan dan lebih terlihat membebani sang pengelola negara
ketimbang rakyat bila terdapat kesalahan. Selain itu ada ungkapan Men Sana Incarpore
Sano (dalam esai Ora Et Labora) yang berarti dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat. Menurutnya orang-orang lebih berkesan
percaya dengan ungkapan ini. Sitok membandingkan sosok Stephen Hawking, Prof.
matematika yang bertubuh rongsok di kursi roda, tuna wicara, dan hanya
berkomunikasi lewat komputer, namun ia mampu melahirkan teori-teori fisikawan.
Coba melihat zaman sekarang ini, orang apik, pintar, bisa duduk di meja
kekuasaan, tapi malah otaknya tak waras. Mereka melakukan tindakan-tindakan
biadab, sebut saja korupsi. Menurut Sitok ungkapan Men Sana Incarpore Sano
ini dapat gugur. Lebih baik menggunakan ungkapan Ora Et Labora yang
berarti berdoa dan berusaha. Pemikiran-pemikiran diskursif amat kental
dalam kedua esai ini.
Selain
pemikirannya yang diskursif, gaya bahasa yang digunakan sitok dalam esainya
bisa dikatakan “Liris” (mungkin karena ia juga penyair liris seperti Acep
Zamzam Noer yang juga esainya kerap kali liris). Penyair liris mengungkapkan
bahasa penuh dengan penghayatan dan emosional yang terjaga. Penuh dengan
perasaan ketika bertutur sehingga esainya kerap kali
seperti seorang ibu yang mendongeng kepada anaknya. Lembut, sopan, halus, dan
mampu membikin pendengar terlelap oleh metrum si pendongeng.
Dalam hal
ini Sitok adalah pendongeng yang hebat. Pendongeng yang membuat orang lain
ingin mendengarnya kembali. Ingin mendengar kisah yang lain lagi. Dalam
esainya, Sitok kadang mengawali kisah itu dengan sebuah cerita, kemudian ia
menyimpulkannya di akhir dengan jawaban yang masih menggantung. Semisal
beberapa esai di awal, Abstain, Acevedo, dan Alufiru.
Buku yang
berisi 73 esai ini menurut saya (dalam kata-kata Sitok) ialah “menceritakan kisahku, kisah ia, dan kisah
mereka” yang patut untuk ditulis dan dibaca. Dari 73 esai ini, Sitok menggunakan
judul-judul aneh. Kadang membikin kita bertanya apakah itu? Nama orang, tempat,
budaya, atau apa? Semisal Leng Lung, Lelaledung, Mimikri, dan
Bawang Cisneros. Tampaknya Sitok mencoba untuk menarik pembaca dengan
judul-judul anehnya itu. Judul-judul yang amat sederhana dan cerdas menurut saya.
Judul
kumpulan esai Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil ini memang layak di
sandang di cover depan. Dengan kata kunci “Cinta”, “Kisah” dan ‘Tiran” esai-esai
dalam buku ini menjadi hidup. Berbicara “Cinta”, dalam buku ini sudah jelas
membicarakan hal itu (dalam hal ini cinta yang
universal, cinta sepasang kekasih, agama, umat, masyarakat, dan negara.),
seperti dalam esai Cinta Ibu, Fatwa Muria, Ghaza. Kata “Tiran” sendiri
berarti raja atau penguasa yang lalim dan sewenang-wenang
(biasanya memperoleh kekuasaan dengan jalan kekerasan). Seperti dalam esai Anarki dan Pemerintah.
Kesimpulan saya, membaca kumpulan esai
dalam buku ini, seperti membaca persoalan hidup yang tak kunjung usai. Mari kita
selesaikan bersama-sama.
Selamat membaca!
Komentar
Posting Komentar