Resensi | Membaca Esai Sitok | Jurnal Nasional, Maret 2012

 
Resensi Encep Abdullah



 

Judul Buku      : Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil

Tebal               : 487  Halaman

Penulis             : Sitok Srengenge

Penerbit           : Rajut Publishing, Jakarta

Tahun Terbit    : Mei, 2012

 


Membaca kumpulan esai Sitok, Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil ibarat berdialog dengan orang yang sedang kebingungan mencari jalan keluar dalam menghadapi persoalan hidup. Namun, bukan berarti Sitok tak mampu mencari jalan keluarnya sendiri. Justru, Sitok sengaja ingin berbagi kepada khalayak untuk bersama-sama merenung mencari solusi jitu menghadap persoalan tersebut.  

Dalam esai-esainya, Sitok berusaha menyodorkan kepingan-kisah kisah yang berceceran di jalanan. Tanpa bermaksud menggurui maupun mendoktrin pembacanya untuk percaya dengan pendapatnya. Seperti penyataan Goenawan Muhamad dalam pengantar buku ini, “Di sini, para pembaca dicoba dipikat, dirayu, dibujuk, diajak, tetapi tidak pernah diteror dan ditaklukkan”.

Esai-esai Sitok kerapkali menunjukkan jiwa kepenyairannya. Beberapa esai dalam buku ini tak lepas dari bait-bait puisi yang ia comot dari pengarang-pengarang sekaliber Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, Hesoid, maupun Emily Dickinson. Puisi-puisi tersebut dijadikan sebagai pedoman penguat esai-esainya. Seperti bait puisi Chairil berikut, Jangan mengerdip, tatap dan penamu asah. Tulis atas kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah (Penjara Cinta, Hal. 254), dan kata-kata Oscar Wilde, Bila kau benar-benar menginginkan cinta, kau akan menemukan cinta itu sedang menunggumu (Penjara Cinta, Hal.  254).

Persoalan yang diangkat dalam esai-esainya, antara lain isu humanisme universal, moralitas,  agama, dan cinta. Tak ada satu pun dalam esainya yang mengkaji sebuah karya. Seperti esai-esai pada umumnya (sebut saja, Ignas Kleden, Damhuri, Seno GA). Di sinilah letak kelebihan esai-esai yang diangkat Sitok. Tak berkesan kaku untuk dibaca. Tak banyak teori yang membikin kepala njelimet, melainkan pembaca ibarat diajak mengobrol bertatap muka. Mari kita selesaikan bersama-sama!” begitulah sekiranya ketika usai membaca setiap esainya. Pemikiran-pemikirannya amat diskursif. Membikin pembaca berkata “Ada benarnya juga.”

Selain mengangkat isu-isu di atas, Sitok kerapkali mengangkat segi penggunaan bahasa maupun ungkapan yang sering dianggap senjata dalam hidup kita. Padahal bila dikoreksi pernyataan itu dapat di falsifikasi atau digugurkan. Semisal dalam esai  Pemerintah, menurut Sitok penggunaan kata “Pemerintah” kurang tepat karena berkesan para pejabat negara bisanya hanya memerintah saja. Apalagi orang yang diperintah memerintah lagi. Menurutnya kata yang tepat adalah “Pengelola Negara” supaya berkesan lebih sopan dan lebih terlihat membebani sang pengelola negara ketimbang rakyat bila terdapat kesalahan. Selain itu ada ungkapan Men Sana Incarpore Sano (dalam esai Ora Et Labora) yang berarti dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Menurutnya orang-orang lebih berkesan percaya dengan ungkapan ini. Sitok membandingkan sosok Stephen Hawking, Prof. matematika yang bertubuh rongsok di kursi roda, tuna wicara, dan hanya berkomunikasi lewat komputer, namun ia mampu melahirkan teori-teori fisikawan. Coba melihat zaman sekarang ini, orang apik, pintar, bisa duduk di meja kekuasaan, tapi malah otaknya tak waras. Mereka melakukan tindakan-tindakan biadab, sebut saja korupsi. Menurut Sitok ungkapan Men Sana Incarpore Sano ini dapat gugur. Lebih baik menggunakan ungkapan Ora Et Labora yang berarti berdoa dan berusaha. Pemikiran-pemikiran diskursif amat kental dalam kedua esai ini.

Selain pemikirannya yang diskursif, gaya bahasa yang digunakan sitok dalam esainya bisa dikatakan “Liris” (mungkin karena ia juga penyair liris seperti Acep Zamzam Noer yang juga esainya kerap kali liris). Penyair liris mengungkapkan bahasa penuh dengan penghayatan dan emosional yang terjaga. Penuh dengan perasaan ketika bertutur sehingga esainya kerap kali seperti seorang ibu yang mendongeng kepada anaknya. Lembut, sopan, halus, dan mampu membikin pendengar terlelap oleh metrum si pendongeng.

Dalam hal ini Sitok adalah pendongeng yang hebat. Pendongeng yang membuat orang lain ingin mendengarnya kembali. Ingin mendengar kisah yang lain lagi. Dalam esainya, Sitok kadang mengawali kisah itu dengan sebuah cerita, kemudian ia menyimpulkannya di akhir dengan jawaban yang masih menggantung. Semisal beberapa esai di awal, Abstain, Acevedo, dan Alufiru.  

Buku yang berisi 73 esai ini menurut saya (dalam kata-kata Sitok) ialah  “menceritakan kisahku, kisah ia, dan kisah mereka” yang patut untuk ditulis dan dibaca. Dari 73 esai ini, Sitok menggunakan judul-judul aneh. Kadang membikin kita bertanya apakah itu? Nama orang, tempat, budaya, atau apa? Semisal Leng Lung, Lelaledung, Mimikri, dan Bawang Cisneros. Tampaknya Sitok mencoba untuk menarik pembaca dengan judul-judul anehnya itu. Judul-judul yang amat sederhana dan cerdas menurut saya.

Judul kumpulan esai Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil ini memang layak di sandang di cover depan. Dengan kata kunci “Cinta”, “Kisah” dan ‘Tiran” esai-esai dalam buku ini menjadi hidup. Berbicara “Cinta”, dalam buku ini sudah jelas membicarakan hal itu (dalam hal ini cinta yang universal, cinta sepasang kekasih, agama, umat, masyarakat, dan negara.), seperti dalam esai Cinta Ibu, Fatwa Muria, Ghaza. Kata “Tiran” sendiri berarti raja atau penguasa yang lalim dan sewenang-wenang (biasanya memperoleh kekuasaan dengan jalan kekerasan). Seperti dalam esai Anarki dan Pemerintah.

Kesimpulan saya, membaca kumpulan esai dalam buku ini, seperti membaca persoalan hidup yang tak kunjung usai. Mari kita selesaikan bersama-sama.

Selamat membaca!


Komentar