Cerpen | Kawah Candradimuka | Solopos, 24 Agustus 2014

 

Jumat Kliwon: pedang, pisau, clurit, kapak, bumerang, peluru pistol, bersileweran mencari mangsa. Tak ada satu pun manusia dengan tangan kosong. Semua memegang senjata, terkecuali aku. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, mereka terlindung pengaman tahan gores, bacok, bahkan tahan peluru. Namun, tetap saja senjata tak ubahnya selalu memburu urat leher. Mayat-mayat siap berjejer bersimbah darah mulai dari pintu gerbang gunung itu. Tak ada yang memedulikan kawan maupun lawan. Percuma, malam tak berbintang, tak berbulan. Petang menemani perjalanan kami menuju tujuan.

Aku masih berusaha menahan serangan bertubi-tubi dari lawan. Aku memang tak punya apa-apa selain sarung yang kuikat dipinggang dan sebuah peci hitam di kepala. Ilmu kebal yang sudah diajarkan Mahaguru di Gunung Karang sebulan yang lalu sudah sempurna aku miliki. Aku tak takut apa-apa, kecuali kepada Gusti Allah. Aku membaca basmalah berulang kali sebelum beranjak keluar dari rumah. Ayah-ibu memberiku semangat meski dengan air mata berlinang. Masih ada adik perempuanku yang bisa menemani mereka bila aku mati.

Tak ada yang bisa mencegah. Orang-orang berebut untuk menjadi kesatria yang paling ditakuti sejagat Pandeglang. Ini memang tak wajib, namun memicu adrenalin seorang lelaki. Semenjak nenek buyut, hal ini memang kerap dilakukan. Tak ada yang bisa melerai. Bupati dan gubernur harus mengikut apa kata warga. Tak ada undang-undang yang melarang. Meski setiap tahun para pejantan Pandeglang semakin berkurang karena terbunuh.Warga berusaha membiasakan diri merelakan anak lelaki mereka mati.

Aku tak merasakan apa-apa meski berbagai senjata bersarang di tubuhku. Namun, bekas goresan maupun pukulan tetap membekas. Lecet. Biru. Lebam. Aku tak pedulikan itu. Tak ada yang bisa aku andalkan selain ketajaman mata dan ketajaman pikiran yang cerdik supaya tak lekas mati.Orang-orang menarik tanganku, menyeret kakiku. Aku memberontak. Lepas. Lari kembali. Beberapa ada yang tergelintir ke jurang. Ada yang kelelahan karena sesak napas—mereka terlalu berat membawa pelindung tubuh.

Entah tinggal berapa yang tersisa dari ratusan orang itu. Aku tak peduli. Dalam otakku, cepat segera sampai tujuan. Napasku tersengal. Tulang punggungku tersengal. Seperti retak. Aku berhenti sejenak di Curug Putri. Banyak kunang-kunang. Aku tahu, ini kunang-kunang pengiring kematian. Kematian yang entah. Kematian yang kapan saja bisa menyerangku.

Di Curug Putri ini orang-orang dilarang baku hantam bila sudah membunyikan kentongan yang sudah tersedia menggantung di posko. Ini tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan. Mebersihkan badan bagi yang berlumuran darah. Aku tak tahu ada berapa orang yang singgah di tempat ini. Curug yang indah bila pagi atau senja tiba. Tampak garis-garis pelangi tersenyum menghiasi curug ini. Cantik dan menawan. Barangkali itulah kenapa warga sekitar menyebutnya Curug Putri. Tapi, kali ini aku tak melihat apa-apa selain merasakan hawa dingin yang teramat sangat. Menusuk tulangku. Ah, aku tak peduli. Kembali aku membunyikan kentongan. Pertempuran pun dimulai kembali.

Aku dengan cepat berlari. Mataku sudah cukup tajam. Sudah diberi sesuatu oleh Mahaguru. Aku senggol orang-orang di depan. Memberontak seolah akulah penguasa yang wajib memenangkan pertarungan. Membabi buta tak peduli kenal tidaknya para peserta. Tapi tampaknya, orang-orang juga punya ilmu sendiri layaknya aku. Aku kelimpungan mengahadapi mereka. Aku pukul, mereka lepas. Mereka memukul, aku jatuh. Aku berusaha bangkit.

“Rasakan monyet!” salah seorang dari mereka memaki dan ia dengan lincah berlari, sedangkan aku belum bisa berdiri sempurna.

Aku memegang batas jarak. Aku raba. Tak jauh lagi aku sampai kawah. Itu pun bila aku masih hidup. Tak mengapa, ritual tahunan yang dilakukan hanya sekali bagi tiap orang ini adalah perjuanganku menikmati kebahagiaan hidup. Sekali mendaki, mati atau dikenang hingga seribu tahun lagi. Mengingat daftar-daftar kesatria yang aku lihat di posko, semakin aku bersemangat namaku bisa terukir menjadi urutan kesatria yang ke seratus di negeri ini. Lamunanku buyar. Seseorang di bawah tiba-tiba menarik kakiku. Aku berpegangan pohon. Aku injak-injak tangan dan kepalanya. Ia berteriak-teriak.

“Tolong…! Tolong…! Ada sesuatu yang masuk di dalam celanaku. Sakit…!”

Aku tak memedulikan meski seberapa pun penderitaannya. Aku berulang kali menendangi kepalanya. Ia tergelintir. Terdengar bunyi patahan-patahan batang pohon. Entah, apalah yang sekiranya masuk di dalam celananya itu. Barangkali semut merah atau kalajengking atau kaki seribu. Biarlah ia menikmati kematiannya.

“Tolong…! Tolong…! Tolong…!”

Terdengar lagi suara dari atas. Aku yakin takkan ada orang yang menolongnya. Langkahku semakin cepat, memanfaatkan lawan yang lengah. Sampailah aku di tempat muasal suara itu. Samar kulihat orang itu. Ia sedang menarik-narik kakinya yang terjepit akar-akar pohon. Hatiku senang bukan main.

“Tolong aku…” lirihnya.

“Mampus!”

Suara gemuruh kawah sudah terdengar. Sudah di depan mata aku menjadi kesatria. Langkahku semakin kencang meski dengan napas tersengal. Tubuhku mulai merasakan dingin yang memuncak. Gigil yang amat sangat. Bibirku bergemetar.

Air dari langit sedikit demi sedikit menetes. Aku harus lekas sampai tujuan sebelum hujan menderas. Sekuat tenaga kuteruskan langkah. Kepalaku sudah hampir meledak. Bila aku bercermin, barangkali tampak pucat pasi wajahku seperti mayat. Wajah dan tanganku semakin terasa keram.

Di bawah sana masih terdengar teriakan-teriakan pistol yang memekik malam. Ah, makin meriang tubuhku ini. Barangkali Izrail sudah bersiap-siap mencabut nyawaku. Mendaki malam hari begitu terasa lama. Padahal. di hari biasa aku hanya dua jam menuju ke kawah. Kok, ini tak kunjung sampai. Tubuhku sudah setengah rapuh. Kepala retak. Tak mungkin ada yang bisa menolong. Tak ada yang bisa mengobati, selain meminta kepada Gusti Allah.

Aku tersungkur di bawah pohon. Hujan semakin lebat. Daun-daun pohon tak mampu menghalangi butiran-butiran hujan yang sebesar kelereng itu. Rasanya ilmu dari Mahaguru lama-lama berkurang. Kekebalanku hilang. Luka-luka yang ada di tubuhku semakin terasa sakit dan perih. Seperti tersayat-sayat pisau. Aku baru ingat, Mahaguru pernah memberiku pesan, “Jangan sampai lukamu terlalu lama terkena hujan, jika itu terjadi hilanglah kekuatanmu.”

“Mahaguruu…”

Aku berteriak sekuat tenaga. Hujan mengahalangi suaraku yang seharusnya menggema ganda di atas bukit ini. Mata kananku tak bisa melihat. Tak bisa aku melanjutkan perjalanan. Padahal, tinggal sedikit lagi aku menjadi kesatria.

 “Mau saya bantu?” tiba-tiba ada seseorang datang. Aku kaget bukan main. Tak bisa kulihat jelas. Dari ujung kepala, ia terlihat mengenakan jubah. Ia mengulurkan tangannya. Membantuku berdiri. Aku berusaha bangkit. Tangannya lembut. Terasa enteng sekali tubuhku. Sedikit-demi sedikit kakiku tak lagi menginjak tanah. Terangkat sedikit demi-sedikit. Aku melayang bersama hujan.

“Siapa Anda?”

“Saya utusan Tuhan?”

“Utusan Tuhan?” aku terheran-heran.

“Sudah siapkah Anda?”

“Untuk?” tanyaku lagi penasaran.

“Saya ajak bermain.”

“Baiklah.”

Ada arus kesadaran dan arus ketidaksadaran dalam diriku tiba-tiba. Sampailah aku pada sebuah kawah. Ini melebihi bau belerang. Seperti bau nanah yang membusuk. Aku muntah. Banyak orang di kawah itu. Orang-orang itu minta tolong. Ini seperti kisah-kisah dalam kitab yang pernah aku baca. Tentang orang-orang yang berdusta kepada Tuhan. Tapi, apakah ini benar itu?

Tapi, ini sepertinya hanya mimpi. Tapi, aku merasakannya seperti nyata. Aku bergelimangan kelimbungan yang entah. Ada apa dengan diriku. Siapa aku?

Aku masih memerhatikan orang-orang itu. Wajah-wajah mereka menyeramkan. Tak ada satu pun yang aku kenali. Wajah mereka rusak. Ada yang mirip kerbau, anjing, sapi, dan lainnya. Ada juga yang bertanduk seperti setan. Ah, entah, kepalaku semakin bergelimangan tak keruan.

“Tolong…! Tolong…! Tolong sayaa…”

Seseorang di bawah sana tiba-tiba berteriak ke arahku. Aku merasa tak asing dengan suara itu. Aku tak melihat tubuhnya selain kepala dan lambaian kedua tangannya. Ia melambai-lambai ke arahku. Aku amati dengan seksama. Ia meminta pertolongan kepadaku. Aku perhatikan sekali lagi.

Terngiang di kepalaku kepada orang yang mengajariku ilmu. Di Gunung Karang itu. Semedi itu. Otakku masih berputar. Aku ingin menangkap siapa orang yang ada dalam kepalaku ini.

“Ya, ya, kepala itu. Itu… itu Mahaguru,” sambil aku menunjuk ke arahnya.

“Iya, itu gurumu,” ujar Izrail.

“Kenapa ia ada di sana?”

“Ia yang sudah menyesatkanmu.”

“Aku tak mengerti maksudmu.”

“Kau salah besar berguru padanya. Kau sudah berguru kepada setan. Kau terlena mengikuti hawa napsumu. Bukan dengan jimat-jimatnya itu seharusnya kamu belajar. Bukan dengan kemenyan-kemenyannya itu juga kamu menyembah Tuhanmu. Bukan juga dengan meminum darah ayam-ayam itu kamu ingin kuat.”

Sepertinya Izrail marah. Wajahnya tampak semakin geram kepadaku. Aku semakin takut. Aku menggigil. Aku gemetar. Tak ada sesiapa di sini untuk aku minta tolong. Tubuhku semakin dingin. Wajahku semakin pucat.

Izrail hanya diam. Ia tak memedulikan keadaanku. Seakan tak ada lagi harapanku untuk hidup. Tak ada lagi.

“Aku semakin tak mengerti apa kau katakan?”

“Kamu sudah siap?”

“Untuk?”

“Menemani temanmu di bawah sana!”

Aku semakin menggigil. Aku lupa. Tak bisa kupegang tangan kananku dengan tangan kiriku. Tak bisa aku memegang tangan kiriku dengan tanganku. Juga kepalaku. Kakiku. Semua tubuhku. Aku… aku…

Sejak itu, tak ada lagi kesatria!


Cilegon,  9 Juni 2013

Komentar