Aku masih berusaha menahan serangan bertubi-tubi dari lawan. Aku memang tak
punya apa-apa selain sarung yang kuikat dipinggang dan sebuah peci hitam di
kepala. Ilmu kebal yang sudah diajarkan Mahaguru di Gunung Karang sebulan yang
lalu sudah sempurna aku miliki. Aku tak takut apa-apa, kecuali kepada Gusti
Allah. Aku membaca basmalah berulang kali sebelum beranjak keluar dari rumah.
Ayah-ibu memberiku semangat meski dengan air mata berlinang. Masih ada adik
perempuanku yang bisa menemani mereka bila aku mati.
Tak ada yang bisa mencegah. Orang-orang berebut untuk menjadi kesatria yang
paling ditakuti sejagat Pandeglang. Ini memang tak wajib, namun memicu adrenalin
seorang lelaki. Semenjak nenek buyut, hal ini memang kerap dilakukan. Tak ada
yang bisa melerai. Bupati dan gubernur harus mengikut apa kata warga. Tak ada
undang-undang yang melarang. Meski setiap tahun para pejantan Pandeglang
semakin berkurang karena terbunuh.Warga berusaha membiasakan diri merelakan
anak lelaki mereka mati.
Aku tak merasakan apa-apa meski berbagai senjata bersarang di
tubuhku. Namun, bekas goresan maupun
pukulan tetap membekas. Lecet. Biru. Lebam. Aku tak pedulikan itu. Tak ada yang
bisa aku andalkan selain ketajaman mata dan ketajaman pikiran yang cerdik supaya
tak lekas mati.Orang-orang menarik tanganku, menyeret kakiku. Aku memberontak.
Lepas. Lari kembali. Beberapa ada yang tergelintir ke jurang. Ada yang kelelahan
karena sesak napas—mereka terlalu berat membawa pelindung tubuh.
Entah tinggal berapa yang tersisa dari ratusan orang itu. Aku tak peduli.
Dalam otakku, cepat segera sampai tujuan. Napasku tersengal. Tulang punggungku
tersengal. Seperti retak. Aku berhenti sejenak di Curug Putri. Banyak
kunang-kunang. Aku tahu, ini kunang-kunang pengiring kematian. Kematian yang
entah. Kematian yang kapan saja bisa menyerangku.
Di Curug Putri ini orang-orang dilarang baku hantam bila sudah membunyikan
kentongan yang sudah tersedia menggantung di posko. Ini tempat peristirahatan
sebelum melanjutkan perjalanan. Mebersihkan badan bagi yang berlumuran darah. Aku
tak tahu ada berapa orang yang singgah di tempat ini. Curug yang indah bila
pagi atau senja tiba. Tampak garis-garis pelangi tersenyum menghiasi curug ini.
Cantik dan menawan. Barangkali itulah kenapa warga sekitar menyebutnya Curug
Putri. Tapi, kali ini aku tak melihat apa-apa selain merasakan hawa dingin yang
teramat sangat. Menusuk tulangku. Ah, aku tak peduli. Kembali aku membunyikan
kentongan. Pertempuran pun dimulai kembali.
Aku dengan cepat berlari. Mataku sudah cukup tajam. Sudah diberi sesuatu
oleh Mahaguru. Aku senggol orang-orang di depan. Memberontak seolah akulah
penguasa yang wajib memenangkan pertarungan. Membabi buta tak peduli kenal
tidaknya para peserta. Tapi tampaknya, orang-orang juga punya ilmu sendiri
layaknya aku. Aku kelimpungan mengahadapi mereka. Aku pukul, mereka lepas. Mereka
memukul, aku jatuh. Aku berusaha bangkit.
“Rasakan monyet!” salah seorang dari mereka memaki dan ia dengan lincah berlari,
sedangkan aku belum bisa berdiri sempurna.
Aku memegang batas jarak. Aku raba. Tak jauh lagi aku sampai kawah. Itu pun
bila aku masih hidup. Tak mengapa, ritual tahunan yang dilakukan hanya sekali
bagi tiap orang ini adalah perjuanganku menikmati kebahagiaan hidup. Sekali
mendaki, mati atau dikenang hingga seribu tahun lagi. Mengingat daftar-daftar
kesatria yang aku lihat di posko, semakin aku bersemangat namaku bisa terukir menjadi
urutan kesatria yang ke seratus di negeri ini. Lamunanku buyar. Seseorang di bawah
tiba-tiba menarik kakiku. Aku berpegangan pohon. Aku injak-injak tangan dan
kepalanya. Ia berteriak-teriak.
“Tolong…! Tolong…! Ada sesuatu yang masuk di dalam celanaku. Sakit…!”
Aku tak memedulikan meski seberapa pun penderitaannya. Aku berulang kali
menendangi kepalanya. Ia tergelintir. Terdengar bunyi patahan-patahan batang
pohon. Entah, apalah yang sekiranya masuk di dalam celananya itu. Barangkali
semut merah atau kalajengking atau kaki seribu. Biarlah ia menikmati kematiannya.
“Tolong…! Tolong…! Tolong…!”
Terdengar lagi suara dari atas. Aku yakin takkan ada orang yang menolongnya.
Langkahku semakin cepat, memanfaatkan lawan yang lengah. Sampailah aku di
tempat muasal suara itu. Samar kulihat orang itu. Ia sedang menarik-narik kakinya
yang terjepit akar-akar pohon. Hatiku senang bukan main.
“Tolong aku…” lirihnya.
“Mampus!”
Suara gemuruh kawah sudah terdengar. Sudah di depan mata aku menjadi
kesatria. Langkahku semakin kencang meski dengan napas tersengal. Tubuhku mulai
merasakan dingin yang memuncak. Gigil yang amat sangat. Bibirku bergemetar.
Air dari langit sedikit demi sedikit menetes. Aku harus lekas sampai tujuan
sebelum hujan menderas. Sekuat tenaga kuteruskan langkah. Kepalaku sudah hampir
meledak. Bila aku bercermin, barangkali tampak pucat pasi wajahku seperti
mayat. Wajah dan tanganku semakin terasa keram.
Di bawah sana masih terdengar teriakan-teriakan pistol yang memekik malam. Ah,
makin meriang tubuhku ini. Barangkali Izrail sudah bersiap-siap mencabut
nyawaku. Mendaki malam hari begitu terasa lama. Padahal. di hari biasa aku hanya dua jam menuju ke kawah. Kok, ini tak
kunjung sampai. Tubuhku sudah setengah
rapuh. Kepala retak. Tak mungkin ada yang bisa menolong. Tak ada yang bisa
mengobati, selain meminta kepada Gusti Allah.
Aku tersungkur di bawah pohon. Hujan semakin lebat. Daun-daun pohon tak mampu
menghalangi butiran-butiran hujan yang sebesar kelereng itu. Rasanya ilmu dari
Mahaguru lama-lama berkurang. Kekebalanku hilang. Luka-luka yang ada di
tubuhku semakin terasa sakit dan perih.
Seperti tersayat-sayat pisau. Aku baru ingat, Mahaguru pernah memberiku pesan, “Jangan
sampai lukamu terlalu lama terkena hujan, jika itu terjadi hilanglah kekuatanmu.”
“Mahaguruu…”
Aku berteriak sekuat tenaga. Hujan mengahalangi suaraku yang seharusnya menggema
ganda di atas bukit ini. Mata kananku tak bisa melihat. Tak bisa aku melanjutkan
perjalanan. Padahal, tinggal sedikit lagi aku menjadi kesatria.
“Mau saya bantu?” tiba-tiba ada seseorang
datang. Aku kaget bukan main. Tak bisa kulihat jelas. Dari ujung kepala, ia
terlihat mengenakan jubah. Ia mengulurkan tangannya. Membantuku berdiri. Aku
berusaha bangkit. Tangannya lembut. Terasa enteng sekali tubuhku. Sedikit-demi
sedikit kakiku tak lagi menginjak tanah. Terangkat sedikit demi-sedikit. Aku melayang bersama
hujan.
“Siapa Anda?”
“Saya utusan Tuhan?”
“Utusan Tuhan?” aku terheran-heran.
“Sudah siapkah Anda?”
“Untuk?” tanyaku lagi penasaran.
“Saya ajak bermain.”
“Baiklah.”
Ada arus kesadaran dan arus ketidaksadaran dalam diriku tiba-tiba. Sampailah
aku pada sebuah kawah. Ini melebihi bau belerang. Seperti bau nanah yang
membusuk. Aku muntah. Banyak orang di kawah itu. Orang-orang itu minta tolong.
Ini seperti kisah-kisah dalam kitab yang pernah aku baca. Tentang orang-orang
yang berdusta kepada Tuhan. Tapi, apakah ini benar itu?
Tapi, ini sepertinya hanya mimpi. Tapi, aku merasakannya seperti nyata. Aku
bergelimangan kelimbungan yang entah. Ada apa dengan diriku. Siapa aku?
Aku masih memerhatikan orang-orang itu. Wajah-wajah mereka menyeramkan. Tak
ada satu pun yang aku kenali. Wajah mereka rusak. Ada yang mirip kerbau,
anjing, sapi, dan lainnya. Ada juga yang bertanduk seperti setan. Ah, entah,
kepalaku semakin bergelimangan tak keruan.
“Tolong…! Tolong…! Tolong sayaa…”
Seseorang di bawah sana tiba-tiba berteriak ke arahku. Aku merasa tak asing
dengan suara itu. Aku tak melihat tubuhnya selain kepala dan lambaian kedua
tangannya. Ia melambai-lambai ke arahku. Aku amati dengan seksama. Ia meminta
pertolongan kepadaku. Aku perhatikan sekali lagi.
Terngiang di kepalaku kepada orang yang mengajariku ilmu. Di Gunung Karang itu.
Semedi itu. Otakku masih berputar. Aku ingin menangkap siapa orang yang ada
dalam kepalaku ini.
“Ya, ya, kepala itu. Itu… itu Mahaguru,” sambil aku menunjuk ke arahnya.
“Iya, itu gurumu,” ujar Izrail.
“Kenapa ia ada di sana?”
“Ia yang sudah menyesatkanmu.”
“Aku tak mengerti maksudmu.”
“Kau salah besar berguru padanya. Kau sudah berguru kepada setan. Kau
terlena mengikuti hawa napsumu. Bukan dengan jimat-jimatnya itu seharusnya kamu
belajar. Bukan dengan kemenyan-kemenyannya itu juga kamu menyembah Tuhanmu.
Bukan juga dengan meminum darah ayam-ayam itu kamu ingin kuat.”
Sepertinya Izrail marah. Wajahnya tampak semakin geram kepadaku. Aku
semakin takut. Aku menggigil. Aku gemetar. Tak ada sesiapa di sini untuk aku
minta tolong. Tubuhku semakin dingin. Wajahku semakin pucat.
Izrail hanya diam. Ia tak memedulikan keadaanku. Seakan tak ada lagi
harapanku untuk hidup. Tak ada lagi.
“Aku semakin tak mengerti apa kau katakan?”
“Kamu sudah siap?”
“Untuk?”
“Menemani temanmu di bawah sana!”
Aku semakin menggigil. Aku lupa. Tak bisa kupegang tangan kananku dengan
tangan kiriku. Tak bisa aku memegang tangan kiriku dengan tanganku. Juga
kepalaku. Kakiku. Semua tubuhku. Aku… aku…
Sejak itu, tak ada lagi kesatria!
Cilegon, 9 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar