Unduh Buku Encep Abdullah | Cabe-cabean (Kubah Budaya, 2015)

MENDEDAHKAN GALATTUTUR: PROLOG UNTUK MANUSKRIP

“WISATA BAHASA” ENCEP ABDULLAH

Oleh Odien R.*)

 

               
  


I.     ALU-ALUAN

M

ungkin ada di antara pembaca yang masih mengingat pemberitaan beberapa waktu lalu tatkala media memajankan berita tentang penghinaan terhadap masyarakat Yogyakarta yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM. Ocehannya di salah satu media sosial (Path) dianggap sangat menghina masyarakat Yogyakarta sehingga direspons sangat ramai bahkan berakhir ke ranah hukum. Belum usai perkara itu, tiba-tiba terpapar lagi berita penghinaan yang dituliskan seseorang yang berakun @kemalsept di media sosial (twitter). Pemilik akun itu menyebut Bandung sebagai kota yang penuh dengan pelacur. Takcukup sekali saja, di akun twitter-nya empat kali dia menghina kota Bandung. Penghinaan itu pun berujung perkara. Walikota Bandung memperkarakan pernyataan insinuatif tersebut secara hukum untuk menyeret pelakunya agar bertanggung jawab.  

Karena menyangkut sisi sensitif berkenaan dengan suku, komunitas, atau masyarakat di wilayah tertentu secara depresiatif, ocehan di media sosial tersebut pun ramai beroleh tanggapan minus. Atas kasus tersebut, saya ingin memberi penguatan bahwa siapa pun takbisa main-main dengan urusan bahasa untuk sekadar mencari senang demi meluapkan emosi. Memang bahasa secara hakikat adalah lambang manasuka berupa nomenklatur yang disepakati sebagai alat hubung, tetapi bahasa melekat dengan pikiran, nilai, norma, budaya, dan ideologi. Dengan demikian, terpeleset secara bahasa akan berdampak sangat fatal bagi pelakunya.  Kemudian, saya pun ingat ketika bertahun-tahun lalu punya pengalaman menjadi saksi ahli yang membantu polisi mengungkap kasus perselisihan. Sengketa perkara yang dimasalahkan nyatanya berkenaan dengan bahasa. Kedua belah pihak berseteru ihwal pernyataan yang saling diklaim sebagai pencemaran nama baik atau penghinaan.  Bukan semata soal tafsir, tendensi, ataupun pemaknaan secara harafiah semantis, melainkan motif pragmatis penggunaan bahasa yang sama-sama dianggap menyerang harga diri dan martabat.

Perkara-perkara tersebut menyentuh kesadaran saya bahwa urusan bahasa adalah urusan yang serius dan bukan perkara iseng ataupun canda. Meskipun kita sudah sama mengetahui bahwa bahasa selain dipakai untuk menyatakan realita, fakta, dan kebenaran, bahasa dapat menjadi sarana berspekulasi dan melakukan manipulasi bahkan menyatakan kebohongan. Bahasa dapat menjadi peranti melakukan kohesi sosial sekaligus agitasi, insinuasi, propaganda, hegemoni, dan kekerasan terhadap individu lain. Setidaknya, begitulah yang terkuak saat saya menjangkau literatur linguistis kritis ataupun wacana kritis. Bahasa takselalu dipakai dalam poros solidaritas, melainkan juga dipakai dalam poros kuasa yang timpang dan bercelah ditumpangi kepentingan ideologi, kuasa, dan politik.

Berkenaan dengan hal tersebut, tiba-tiba saya teringat celoteh seorang guru besar linguistik di FIB Unpad tatkala bicara di ruang kelas. Dia menyatakan bahwa bahasa bisa membuat kehilangan teman, kehilangan pekerjaan, berurusan dengan polisi, memicu konflik, menyebabkan orang lain berang atau murka, membuat seseorang digorok mertua bahkan memicu perang dan sengketa. Celoteh itu berujung tawa karena secara substantif berisi kulucuan. Namun, secara reflektif saya tergugah. Boleh saja sebagian orang menganggap bahasa merupakan urusan biasa dan tidak perlu diistimewakan, tetapi faktanya tidaklah demikian. 

Sejak semula secara teoretis kita sudah diyakinkan bahwa bahasa lahir dari sejarah kemanusiaan, yakni dari kerja sama antar-individu di lokus dan di latar tertentu. Keterbatasan komunikatif di masa purba dan primitif menstimulasi lahirnya simbol atau tanda bahasa yang terus berkembang seiring sejarah antropologis manusia yang berdinamika hingga setakat ini. Karena itu, bahasa tidak lahir dari “kesendirian” individu dan kekosongan “atribut” sehingga tidak bisa semena-mena dibuat semacam “permainan”. Bunyi bahasa yang secara fisis berupa gelombang akan langsung lenyap manakala telah diucapkan oleh alat artikulasi seorang penutur, tetapi dari bunyi fisis yang segera lenyap itu akan terbentuk persepsi di benak pendengarnya. Proses inilah yang disebut decoding, yang bukan semata urusan teknis bahasa, melainkan berkait erat dengan latar belakang pengetahuan, nilai, budaya, pendidikan, kepercayaan, etika, ideologi, ensiklopedi pengetahuan, semesta wacana, dan peubah (variabel) lainnya.  

Narasi masalah pun masih saja dapat kita perpanjang. Betapa banyak orang terbunuh gara-gara soal bahasa yang menyinggung, yang ofensif, yang disfemistik, yang dianggap kekerasan verbal, yang dianggap penghinaan, dan penyebab sakit hati. Siapa menyangka bahwa bahasa bisa menjadi pemicu dendam tidak terampunkan sehingga seseorang kehilangan pertimbangan nurani dan akal sehat. Kasus terakhir yang memakan korban adalah kejadian yang menimpa Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby. Menurut pemberitaan media massa, dia dibunuh gara-gara perkataannya yang menyinggung pelaku. Siapa menduga, sekadar ungkapan “bau badan” yang ditujukan oleh korban kepada tersangka menjadi pemicu untuk terjadinya peristiwa pembunuhan itu. 

Lalu, betapa banyak orang kehilangan prestise dan posisi gara-gara soal bahasa yang dianggap takpatut, yang dipersepsi taksopan, dan dilabeli tak bermartabat, serta bernuansa menyerang (vebal attack). Sebaliknya, tidak sedikit orang yang meraih popularitas dan kekayaan finansial sebagai dampak kemahiran berbahasa yang dimilikinya, seperti yang diraih oleh para motivator yang dengan kecerdasan bahasanya mampu menata pikiran sehingga banyak mendapatkan jemaah yang lebih besar dari para ustaz atau ulama. Atau, contoh empiris lainnya adalah kemampuan verbal para pelawak cerdas yang tidak harus melawak dengan kekerasan, tetapi sanggup membuat kita terpingkal-pingkal. Pelawak semacam ini berhasil menarik banyak penggemar bahkan sanggup menaikkan rating program acara yang dibawakannya.

Lagi-lagi soal bahasa, bertebaran di sekitar kita praktik berbahasa yang berbasis ketidakjujuran. Di lokus akademik dan dunia literasi, kita berhadapan dengan kasus plagiasi, praktik membeo atau sekadar mengulang pernyataan orang tanpa pemahaman, berbahasa asal bunyi, dan sekadar keren. Di ranah politik, kita pun bisa merenungkan betapa tidak terhitung kasus penyelewengan bahasa demi motif kepentingan pribadi, golongan, atau semata menyerang kelompok lain karena ideologi yang berbeda. Bahasa kampanye, kepalsuan jargon politik, dan pemelintiran makna rakyat yang sangat marak. Semua itu menunjukkan bukti tidak terbantahkan bahwa bahasa selain dapat dipakai untuk merepresentasikan kebenaran faktual juga dapat dipakai untuk berbohong, menipu, mengelabui, dan memanipulasi kenyataan.

Lantas, apa yang dapat kita petik sebagai hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut? Tampaknya, kita harus mulai berbenah mengubah sudut pandang dan merapikan kesadaran bahwa bahasa mengiringi eksistensi kehidupan kita. Karena itu, tidaklah patut bahasa dilecehkan atau kita gunakan untuk modus melecehkan. Bahasa seyogianya kita gunakan sebagai jendela untuk saling memahami orang lain sehingga digunakan dalam poros solidaritas bukan untuk menghujat, memaki, menghina, melecehkan, mengancam, menganiaya, meneror, atau saling menjatuhkan. Meskipun tentu saja kita dapat berkilah bahwa setiap manusia memiliki hak asasi linguistik (bahasa) sehingga memiliki hak istimewa untuk menggunakannya dengan tujuan apa pun.   

Sejarah filasafat ilmu mengajarkan kepada kita bahwa pengetahuan adalah proses yang terus berlangsung sehingga pengetahuan yang mapan selalu dinegasikan dan ditampik oleh penemuan terbaru. Pengetahuan adalah salah satu wujud kebenaran. Adapun kebenaran itu dicapai dengan logika pikir yang dibingkai oleh logika bahasa yang benar. Sudah saatnya pemahaman bahasa ditujukan untuk penguasaan gramatika kehidupan dan bukan semata demi cara berbahasa yang benar dalam kacamata tata bahasa. Semoga tidak semakin banyak orang yang terseret perkara hukum gara-gara iseng mempermainkan bahasa padahal sudah sangat jelas bahasa bukan mainan, tetapi sebagian dari gramatika kehidupan. Bahasa adalah gawai paling canggih bagi kehidupan manusia kapan pun dan di mana pun, baik di dunia sebenarnya maupun di dunia maya. Jika berbahasa saja tidak tepat dan runut, bagaimana mungkin bisa berpikir benar dan sistematis.

 

II.    MERAWAT BAHASA BERNALAR

K

ala diserahi manuskrip yang ditulis Encep Abdullah yang berisi sehimpun artikel problematika riil penggunaan bahasa oleh penutur dalam aneka ranah pemakaian ini, saya membacanya dengan impresif. Saya tidak nyana ternyata banyak renik persoalan bahasa yang diungkap penulis secara preskriptif  bermula dari persepsi inderawi atau dari apa yang disimak, dibaca, dan diwicarakan di lingkungan keseharian. Saya semakin terkesan karena hasil sibakannya dapat menembus ruang publikasi media massa, yang tentu membutuhkan jerih payah karena tidak semua orang bisa melakukannya meski memiliki kegelisahan yang sama. Inilah yang saya sebut sebagai kreativitas. Dengan gaya parodis, satire, ironis, dan kadang-kadang seperti laku bermain, penulis secara lincah menggarap kasus-kasus bahasa yang dianggapnya sebagai pekerjaan rumah untuk diulas dan diselesaikan dengan menunjukkan semacam pilihan jalan yang benar dan tidak sesat, sedangkan eksekusi akhirnya dikembalikan kepada hadirat pembaca.

Penulis tampak sangat gelisah dengan ihwal yang gasal terkait penggunaan pronomina “aku” sehingga secara formulaik harus disoal kapan konteks penggunaanya yang berterima. Penulis terlihat terusik dengan diksi yang dipampang pada plang-plang jalan tol. Penulis tertelisik menyoal slogan iklan produk rokok yang bermuatan aspek imperatif. Penulis tergugah mewacanakan praktik ujar yang beririsan dengan gejala kemasyarakatan penunjuk parole yang tengah menggejala di masyarakat semacam sebutan cabe-cabean. Penulis takdiam untuk berkomentar soal maraknya penjual BBM dengan menggunakan alat bernama pertamini. Penulis terilhami oleh anomali gramatika yang seolah menunjukkan perkecualian seperti ketidakajegan fonotaktik dan penyimpangan morfofonemik. Penulis tersentil untuk tidak luput mengoreksi teks-teks politik, khususnya yang menjadi bagian dari perayaan kampanye politik. Penulis terlihat peduli dengan kemunculan bentukan-bentukan kata slang atau prokem sehingga merasa perlu mengkritisi. Penulis tidak bisa luput memerhatikan ujaran-ujaran yang disebarluaskan televisi, termasuk ungkapan artifisial semacam wakwaw. Di luar soal itu, penulis juga bersemangat berdalil untuk meluruskan praktik-praktik ujar yang termasuk gejala memfosil alias kesalahan yang lazim terjadi di masyarakat dan sulit diluruskan seturut kaidah gramatika. Karena itu, disoal perkara mana bentuk berterima (wellformed) dan bentuk tidak berterima (illformed) yang muncul sebagai variasi ujar, seperti Ramadan vs Ramadhan, ustaz vs ustad, telanjur dan telentang vs terlanjur dan terlentang, begal vs pembegal, paedofil vs pedofil; kata-kata pengumuman yang secara redaksional taksa (ambigu); ungkapan asosiatif semacam nembak, damai, dan korupsi; ungkapan eufimisme dan ortofemisme semacam ngisi dan berisi; bentuk-bentuk rancu semacam tunjuk tangan, dirgahayu hut RI ke, dan lain-lain.

Pilahan kasus tersebut secara tematik menunjukkan bahwa penulis memiliki elan sebagai seorang munsyi yang peka melihat dan merespons praktik ujar di latar yang sebenarnya. Apa yang tengah menjadi perhatian, berita, dan entitas kenyataan sosial akan dibidiknya selama bersinggungan dengan bahasa. Oleh sebab itu, membaca tulisan tersebut saya serasa berziarah membaca karya-karya begawan bahasa yang mengupas problematika yang serupa, baik dalam bentuk tulisan di media massa, seperti Pikiran Rakyat, Kompas, dan Tempo (dibukukan ataupun tidak) maupun berbentuk bunga rampai seperti yang ditulis oleh J.S. Badudu, Anton M. Moeliono, Lie Charlie, Kunjana Rahardi, dan lain-lain, serta buku-buku terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Badan Bahasa).

Semangat tulisan-tulisan tersebut sama, yakni menjadi kompas yang bisa dipedomani demi sebuah tabiat bahasa yang baik dan benar. Tulisan serupa itu menunjukkan kepada penutur bahwa bahasa Indonesia yang kerap dianggap remeh dan sepele itu dalam praktiknya oleh penutur masih sering salah atau keliru. Banyak alasan yang dapat dihadirkan untuk menyokong kenyataan tersebut, antara lain karena mental meremehkan, sikap tidak peduli, malas berpikir, tidak tahu atau awam, mengekor bahkan perasaan sebagai bukan orang yang secara langsung berurusan dengan bahasa. Fakta itu diperparah lagi oleh common sense bahwa dalam berkomunikasi yang penting saling paham dan mengerti. Itu saja, sederhana dan cukup. Karena itu, takjarang muncul ujaran yang ganjil, menggelikan, awanalar, dan membeo. Penutur semacam ini tidak menyadari bahwa di balik simbol bahasa, ada proses nalar yang membingkainya. Tentu sederet kasus lain masih berlimpah untuk disenaraikan, yang kita serap dan resap dari praktik verbal sehari-hari.Berbahasa memang hak asasi linguistik semua orang. Selain itu, bahasa pun tidak mengenal sanksi. Wajar saja koreksi dan imbauan dari orang yang peduli kerap diabaikan atau dibantah ibarat resep dokter yang tidak digubris sang pasien. Dengan demikian, boleh disebut wajar bila dari hari ke hari rasanya kian berlimpah produk berbahasa yang tidak waras.

 

Penyadaran oleh orang yang merasa peduli atas praktik tutur yang galat tetaplah merupakan ikhtiar yang harus dihargai. Soal bahwa koreksi yang diberikan akan diikuti atau diingkari bahkan dianggap berlebihan itu soal lain. Bahkan, dianggap seruan yang tidak berdampak pun tidak mengapa. Bahasa sebagai sebuah langue memang bersifat tunggal dan seragam. Namun, dalam operasionalisasi oleh penuturnya bahasa merupakan parole yang beragam. Memurnikan bahasa secara preskriptif demi menjaga tertib bahasa memang tanggung jawab bersama. Yang jelas, ikhtiar ini merupakan bagian dari skema memartabatkan bahasa yang membutuhnya fondasi kebanggaan, kesetiaan, dan kesadaran atas norma bahasa.

 

III.  SEKADAR PENUTUP

A

khirnya, ingin saya tegaskan bahwa praktik berbahasa bisa kita dedahkan dengan multiperspektif. Eksplanasi bahasa yang secara deskriptif memotret apa adanya sebagaimana berlaku di masyarakat kemudian dipurifikasi secara preskriptif hanya sebagian dari sudut pandang. Di luar soal itu, ilmu bahasa (linguistik) telah jauh berkembang sehingga tumbuh dengan cabang-cabangnya yang kaya. Bahasa bukan hanya menjadi ketertarikan orang-orang yang secara latar belakang dan profesi berkait dengan bahasa. Bahasa telah dianeksasi dan berkohesi dengan ilmu lain sehingga lahir bidang interdisiplin dan transdisiplin yang melibatkan kawin silang bahasa dengan ilmu lain.

Senyampang dengan hal tersebut, apa yang dilakukan Saudara Encep Abdullah sebagai penulis yang terpumpun melakukan telaah perilaku berbahasa bisa mengisi rumpang kajian mikro demi menjaga tertib dan disiplin berbahasa. Saya hanya dapat menyarankan agar penulis tidak cukup bersandar pada kamus, ensiklopedi, ataupun tesaurus. Namun, penulis perlu membongkar aspek lain, misalnya dengan melibatkan aspek sosiolinguistik dan pragmatik sehingga bisa mendedah kegalatan bahasa secara lebih tuntas dan utuh tidak hanya secara tunggal terikat pada logika “angker” dalam kategori salah dan benar.

Penulis perlu memperkaya pemahaman penutur bahasa dengan perspektif sosiolinguistik sehingga dapat membongkar teks dari konteks keragaman peubah (variasi) sosial sehingga terpahami mengapa muncul variasi dan keanekaan. Pun, penulis perlu menyibaknya dari segi pragmatik sehingga dapat merekuperasi tuturan dari segi maksud (intensi) penutur. Dengan demikian, tidak selalu menjerat perilaku bahasa tertentu sebagai sesuatu yang salah dan sesat. Toh, dalam kenyataan riil, kita perlu juga mempertimbangkan bahwa dalam berbahasa ada kategori “benar dan patut”, “benar, tetapi tidak patut”, “tidak benar, tetapi patut”, serta “tidak benar dan tidak patut”. Itu artinya, mendedah khazanah  bahasa buka perkara sederhana. Apalagi dalam kacamata ilmu bahasa, sering kali makna tidak bisa dijaring dari apa-apa yang dikatakan, tetapi dari apa yang dimaksudkan.

Selagi langit tegak berdiri dan belum runtuh, manusia akan tetap berperilaku. Itu tandanya, manusia akan tetap melahirkan perbuatan dan simbol. Dalam konteks itu, perilaku berbahasa akan selalu menjadi bagian dari kehidupan sebab bahasa adalah penopang eksistensi. Alangkah lebih nyaman seandainya penopang eksistensi itu punya daya hidup yang tetap logis dan estetis yang kemungkinan terejawantahkannya terpulang kepada sikap penutur sendiri. Selamat membaca. Selamat berwisata bahasa. Ok. Fix!


*) Pengajar linguistik di FKIP Untirta, alumnus FIB UI, dan mahasiswa Program Doktor Linguistik FIB Unpad.

Komentar