Pada akhir tahun 2023 saya mengikuti
kegiatan semacam ”pelatihan” atau ruang belajar “Kelas EYD” yang diinisiasi
oleh Badan Bahasa via Zoom. Tak lama kemudian, saya diajak kembali untuk ikut
“pelatihan” di ”Kelas Bentuk dan Pilihan Kata (BPK)”. Nah, di sini ada yang
menarik terkait morfofonemik. Salah satu narasumber mengatakan bahwa kata menertawakan
bukan kata baku, yang baku mentertawakan. Katanya, bentuk kata dasarnya
adalah tawa bukan tertawa. Sejak mendengar pernyataan ini, jiwa
saya bergejolak lagi setelah ”berabad-abad” tidak membaca dan menulis esai
kebahasaan.
Pada pertengahan Agustus 2024, saya mendapatkan
rezeki lagi. Beberapa peserta di ruang Zoom waktu itu diundang kembali untuk
bertatap muka langsung dalam kegiatan ”Peningkatan Kemahiran Berbahasa: Kelas
Seri Penyuluhan” di Hotel Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat. Ada dua ratus
peserta hadir di sana. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari peserta
dalam acara ini. Rasa penasaran saya terkait tawa tersebut saya tanyakan
lagi di sini. Saya jabarkan begitu panjang—sebelumnya saya berselancar dulu
mencari bahan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa (2008), kata tawa hanya memiliki satu entri yang bermakna
’ungkapan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara
(pelan, sedang, keras) melalui alat ucap’. Dalam KBBI VI (daring) ada tambahan
entri, ta.wa2 yang berarti ’mantra dalam bahasa Minangkabau’.
Ini informasi baru yang saya dapatkan dan ini juga rezeki. Dalam kamus versi
Pusat Bahasa (2008) itu, turunan lema tawa, yakni tertawa,
menertawai, menertawakan. Saya cek di laman KBBI IV (daring), di sini kata
turunan tawa, yakni mentertawakan (kata baku) dan menertawakan
(kata tidak baku). Ada juga kata turunan mentertawai (kata baku), tetapi
menertawai sama sekali tidak tercantum di sana (meskipun sebagai bentukan
kata tidak baku). Padahal, dalam kamus-kamus sebelumnya, kata menertawai tertulis
sebagai kata baku, bahkan sebagian besar orang lebih sering menuturkan kata ini
ketimbang mentertawai. Mengapa tiba-tiba kata menertawai
diasingkan begitu saja dalam KBBI IV (daring)? Jangankan dianggap kata baku,
sebagai kata tidak baku saja tidak diakui keberadaannya. Miris!
Awalnya, saya kira tertawa itu
kata dasar, seperti terjemah, terampil, dan sebagainya. Saya jarang
mendengar orang mengujarkan ”tawa”, kecuali ada tuh siaran TV: Tawa
Sutra. Saya gugling, dong. Pada 2018 Ivan Lanin juga menulis di
Twitter: tawa –> tertawa –> mentertawakan, bukan menertawakan.
Baik, saya makin percaya bahwa sudah sejak lama masalah tawa ini memang
sudah digaungkan oleh para munsyi. Informasi perubahan-perubahan bentuk baku
dan tidak baku seperti ini memang harus dikulik sendiri, terutama saya
sebagai pengajar Bahasa Indonesia di sekolah. Saya harus mencari informasi
terkini terkait kebahasaaan agar para siswa tidak tersesat di kelas dan saat
mengerjakan soal ujian.
Oh, iya, yang paling aneh dari semua
kamus itu ialah tidak ada contoh kalimat dari kata menertawai atau mentertawai.
Hanya ada contoh kalimat mentertawakan sebagai berikut.
1) Saya mentertawakan
tingkah lakunya, bukan perkataannya.
2) Orang akan mentertawakanmu
kalau engkau mengenakan baju merah.
3) Gerak
mimiknya yang lucu itu mentertawakan penonton.
Apakah kalau kata mentertawakan
di situ diganti mentertawai maknanya akan berbeda? Lain halnya dengan kata
membawahi dan membawahkan, menugasi dan menugaskan.
Contoh kalimatnya sebagai berikut.
1) Bintara membawahi
perwira.
2) Komandan itu
membawahkan 160 orang anak buah.
3) Beliau menugasi
saya memberi saya tugas.
4) Saya menugaskan
penyusunan laporan kepadanya.
Kasus mentertawai ini memang
sama dengan memenangi yang tidak diberikan contoh dalam kamus. Contoh
kalimatnya sebagai berikut.
1) Tidak hanya
kekuatan senjata, tetapi kekuatan ekonomi juga dapat memenangkan peperangan.
2) Akhirnya
kesebelasan Pelita memenangkan pertandingan itu.
3) Protes
timbul setelah wasit memenangkan kesebelasan tuan rumah.
Apakah konsep contoh menugasi,
membawahi, memenangi, dan mentertawai berbeda? Mengapa dalam semua
kamus tidak memberikan contoh kalimat menertawai atau mentertawai?
Atau memang sama saja maknanya bila diubah begini.
1) Saya mentertawai
tingkah lakunya, bukan perkataannya.
2) Orang akan mentertawaimu
kalau engkau mengenakan baju merah,
3) Gerak
mimiknya yang lucu itu mentertawai penonton.
Semoga di KBBI VI (daring) maupun
cetak, para munsyi atau Badan Bahasa bisa memberi contoh konkret kalimat dengan
kata mentertawai.
Saya jabarkan lebih jelas di sini
karena saat di hotel itu jawaban narasumber tidak memuaskan pertanyaan saya.
Dia hanya menjawab singkat terkait peluluhan atau morfofonemik itu. Semoga yang
membaca tulisan ini bisa ikut berdiskusi terkait hal ini.
Sepulang dari kegiatan itu, saya mengajar
lagi di kelas. Masalah satu belum selesai, malah tambah masalah lagi. Materi
yang saya sampaikan di kelas ialah poster. Lalu, anak-anak saya suruh membuat
poster. Sebagian siswa ada yang menulis ”Stop Merokok!”. Saya bilang bahwa kata
yang baku di kamus itu setop. Siswa tersebut menurut saja tanpa protes.
Sebenarnya sudah lama saya tahu bahwa kata yang baku itu setop bukan stop.
Namun, entah ada angin apa saya iseng dan cek lagi KBBI VI (daring). Saya
terperanga, ”Loh, kok, yang baku stop?” Saya cek di Google dengan kata
kunci ”setop bukan stop”. Teratas ada pernyataan Ivan Lanin pada 2 Februari
2018. Dia menjawab pertanyaan seseorang di Twitter: "Setop", bukan
"stop". Mungkin karena kata ini diserap sejak lama dan saat itu
penyisipan swarabakti "e" untuk kata serapan masih sering digunakan. Menurut
Ivan Lanin, kaidah itu baru dibuat sekitar 1973 saat pedoman penyerapan
dibakukan. Menurutnya setop tampaknya diserap sebelum itu.
Di laman lain (kaskus.co.id),
saya menemukan kembali pernyataan Ivan Lanin yang berubah haluan dari setop
menjadi stop. Awalnya ada warganet yang mengomentari twit Pak
Jokowi: “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan
dunia.” Warganet bernama Awi Chin mengirim tangkapan layar KBBI V bahwa yang
baku adalah stop. Di laman itu ada keterangan perubahan stop
menjadi baku dan setop menjadi tidak baku dilakukan pada pemutakhiran
KBBI April 2021. Ivan Lanin berkomentar bahwa ia juga baru tahu karena ada isu twit
Pak Jokowi itu. Waduh, saya ke mana saja, tahun 2024 saya baru tahu kalau ada
pemutakhiran.
Di laman lain, saya menemukan tulisan
yang masih hangat (kompasiana.com, 31 Juli 2024) karya Tata Tambi
berjudul “Setop Versus Stop”. Tata menjelaskan bahwa kata setop yang
semula dibakukan harus rela dilabeli kode “cak” alias cakapan, yakni kata yang
digunakan dalam ragam tidak baku. Tata menambahkan bahwa usulan perubahan
dilakukan oleh Vita Muflihah Fitriyani sebagai editor—berdasarkan hasil diskusi
konsinyasi pemutakhiran KBBI pada tanggal 30 Maret 2021. Perubahan akhirnya
terjadi dalam pemutakhiran KBBI pada April 2021.
Ini merupakan informasi penting.
Artinya, saat mengajar di kelas nanti, saya sudah tidak menyalah-nyalahkan
siswa menulis stop lagi. Sebenarnya saya pribadi lebih setuju bentuk stop
karena lebih gagah. Kata setop, mohon maaf, terdengar lebih ndeso.
Kalau mengutip pernyataan Satria Wisnu Sasangka di WA, “galakan menstop
daripada menyetop”. Bila diberikan prefiks me-, malah lebih gagah
menyetop daripada menstop yang rasanya lidah saya belum berterima
melafalkan ini. Namun, mau bagaimana lagi, kata turunan yang baku dari stop saat
ini ya menstop, bukan menyetop.
Saya belum merasa puas dengan
alasan-alasan yang dikemukakan di atas. Saya meluncur ke grup WA Klinik Bahasa
dan melemparkan tanya, “Apa alasan mengubah setop menjadi stop?”
Grup ini seperti ruang perkuliahan. Para pakar menjawab. Salah satunya
Yanwardi. Ia mengirim artikelnya yang dimuat di Kompas berjudul
“Kegamangan Kamus”. Saya baca dan saya mendapat pencerahan. Kasus setop
dikembalikan menjadi stop merujuk pada kata skor dan skors
yang diserap berdasarkan kata asalnya (adaptasi). Bila diberikan prefiks
me-, turunan katanya menjadi menstop, menskor, dan menskors.
Alasan ini sangat masuk akal agar ada kekonsistenan bentuk turunan. Selain stop,
kelompok kata (satu suku kata) yang konsonannya rangkap (kluster) di awal di
antaranya klaim, klik, drop, blok. Namun, saya tidak menemukan
kekonsistenan seperti yang saya kira. Asep Rahmat mengirim cuplikan layar dari
buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI).
Dalam TBBBI tertulis jika ditambahkan
pada bentuk dasar yang bersuku satu, prefiks meng- berubah menjadi menge-
/mənə. Bentuk pasif dari verba turunan ini ialah di- ditambah
bentuk dasar yang bersuku satu itu.
meng- + bom –> mengebom –>
dibom
meng- + cek –> mengecek
–> dicek
meng- + pel –> mengepel –> dipel
meng- + rem –> mengerem –> direm
meng- + tik –> mengetik –> ditik
meng- + blok –> mengeblok –> diblok
meng- + drop –> mengedrop –> didrop
meng- + klik –> mengeklik –> diklik (di KBBI VI mengklik)
TBBBI
juga menjelaskan jika bentuk dasar yang berawal dengan /s/ yang berbentuk gugus
konsonan, prefiks meng- berubah menjadi men-, bukan menge-
seperti berikut.
men- + skors –> menskors –> diskors
men- + smes –> mensmes –> dismes
men- + stok –> menstok –> distok
Di grup WA, Tamzir bertanya “Jadi,
untuk kata ‘klik’, kami mengikut versi KBBI atau TBBBI?” Nah, di sinilah
letak kegamangan kita sebagai pengguna bahasa. Namun, Asep Rahmat menjawab
bahwa kalau dari segi aturan, tentu TBBBI yang lebih "tinggi". Kata
Asep dalam hal ini KBBI berposisi merekam perkembangan, apakah itu akan
berterima, ditunggu di pemutakhiran TBBBI berikutnya. Asep menolak kegamangan
Tamzir (dan saya) bahwa tidak semua variasi itu dapat
dipandang sebagai kegamangan. Kalau saya pribadi, lebih mudah mengklasifikasikan
jika bentuk dasar yang berawal dengan /kl/ yang berbentuk gugus konsonan
seperti klaim dan klik mengikuti bentukan tersendiri, yakni
dengan gagah ditulis mengklaim, mengklik tanpa ragu, seperti halnya skor,
smes, stok, stop yang punya kaidah sendiri (men-), tidak mengikuti
bentukan seperti bom, pel, cek, rem (menge-). Bagaimana
dengan gugus konsonan /dr/ seperti drop? Duh, kata ini jadi “anak
gelandangan”. Ia bisa masuk keluarga gugus konsonan klik (yakni mengdrop),
bisa juga masuk keluarga skor (yakni mendrop), dan bisa juga
masuk keluarga bom (yakni mengedrop).
Meskipun segalanya telah diatur dan
dibuat “rumus” dalam kaidah morfologi, kelak muncul juga kata yang akan melanggar
aturan. Seperti yang disampaikan Odien Rosidin dan Suherlan dalam Ihwal
Bahasa dan Cakupannya (2004) bahwa disebut tidak taat asas karena memang
menyimpang dari kaidah morfologi (menyimpang dari konvensi gramatikal) yang
semestinya sehingga muncul sebagai bentuk yang tidak berterima atau gramatikal.
Namun, seolah-olah itu menjadi benar. Inilah yang kata Odien disebut sebagai
anomali morfologis. Anomali macam ini berkeliaran di sekitar kita. Jujur, makin
lama makin puyeng kepala saya. Saya pengin berak! Tolong jangan tertawa!
Di
akhir tulisan ini, lebih baik saya mengutip saja pernyataan Yanwardi di grup WA
yang menurut saya sebuah sikap yang bijak.
Balik
ke data yang ada di masyarakat. Kita menganalisis data atau korpus yang dipakai
masyarakat. Sebab itu, nanti
akan tampak apakah "aturan" morfofonemik seperti dalam mengedrop
dan mengeblok, atau bahkan mengeklaim diterima masyarakat atau
sebaliknya, masyarakat memakai mengklaim, mendrop, dan memblok. Bagi
saya, proses ngedrop dan ngeblok terjadi lebih dulu melalui
simulfiksasi, baru berafiksasi dengan awalan meng-, bukan langsung dari
afiksasi meng- + dasar. Soal menstop dan menyetop memang
bergantung kita melihat kata dasarnya: stop atau setop.
Semoga
tercerahkan dan stop mentertawakan saya!
Komentar
Posting Komentar