Esai | Stop Mentertawakan Saya (Majalah Kandaga, Des 2024)

 


Pada akhir tahun 2023 saya mengikuti kegiatan semacam ”pelatihan” atau ruang belajar “Kelas EYD” yang diinisiasi oleh Badan Bahasa via Zoom. Tak lama kemudian, saya diajak kembali untuk ikut “pelatihan” di ”Kelas Bentuk dan Pilihan Kata (BPK)”. Nah, di sini ada yang menarik terkait morfofonemik. Salah satu narasumber mengatakan bahwa kata menertawakan bukan kata baku, yang baku mentertawakan. Katanya, bentuk kata dasarnya adalah tawa bukan tertawa. Sejak mendengar pernyataan ini, jiwa saya bergejolak lagi setelah ”berabad-abad” tidak membaca dan menulis esai kebahasaan.

Pada pertengahan Agustus 2024, saya mendapatkan rezeki lagi. Beberapa peserta di ruang Zoom waktu itu diundang kembali untuk bertatap muka langsung dalam kegiatan ”Peningkatan Kemahiran Berbahasa: Kelas Seri Penyuluhan” di Hotel Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat. Ada dua ratus peserta hadir di sana. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari peserta dalam acara ini. Rasa penasaran saya terkait tawa tersebut saya tanyakan lagi di sini. Saya jabarkan begitu panjang—sebelumnya saya berselancar dulu mencari bahan.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008), kata tawa hanya memiliki satu entri yang bermakna ’ungkapan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap’. Dalam KBBI VI (daring) ada tambahan entri, ta.wa2 yang berarti ’mantra dalam bahasa Minangkabau’. Ini informasi baru yang saya dapatkan dan ini juga rezeki. Dalam kamus versi Pusat Bahasa (2008) itu, turunan lema tawa, yakni tertawa, menertawai, menertawakan. Saya cek di laman KBBI IV (daring), di sini kata turunan tawa, yakni mentertawakan (kata baku) dan menertawakan (kata tidak baku). Ada juga kata turunan mentertawai (kata baku), tetapi menertawai sama sekali tidak tercantum di sana (meskipun sebagai bentukan kata tidak baku). Padahal, dalam kamus-kamus sebelumnya, kata menertawai tertulis sebagai kata baku, bahkan sebagian besar orang lebih sering menuturkan kata ini ketimbang mentertawai. Mengapa tiba-tiba kata menertawai diasingkan begitu saja dalam KBBI IV (daring)? Jangankan dianggap kata baku, sebagai kata tidak baku saja tidak diakui keberadaannya. Miris!

Awalnya, saya kira tertawa itu kata dasar, seperti terjemah, terampil, dan sebagainya. Saya jarang mendengar orang mengujarkan ”tawa”, kecuali ada tuh siaran TV: Tawa Sutra. Saya gugling, dong. Pada 2018 Ivan Lanin juga menulis di Twitter: tawa –> tertawa –> mentertawakan, bukan menertawakan. Baik, saya makin percaya bahwa sudah sejak lama masalah tawa ini memang sudah digaungkan oleh para munsyi. Informasi perubahan-perubahan bentuk baku dan tidak baku seperti ini memang harus dikulik sendiri, terutama saya sebagai pengajar Bahasa Indonesia di sekolah. Saya harus mencari informasi terkini terkait kebahasaaan agar para siswa tidak tersesat di kelas dan saat mengerjakan soal ujian.

Oh, iya, yang paling aneh dari semua kamus itu ialah tidak ada contoh kalimat dari kata menertawai atau mentertawai. Hanya ada contoh kalimat mentertawakan sebagai berikut. 

1) Saya mentertawakan tingkah lakunya, bukan perkataannya.

2) Orang akan mentertawakanmu kalau engkau mengenakan baju merah.

3) Gerak mimiknya yang lucu itu mentertawakan penonton.

 

Apakah kalau kata mentertawakan di situ diganti mentertawai maknanya akan berbeda? Lain halnya dengan kata membawahi dan membawahkan, menugasi dan menugaskan. Contoh kalimatnya sebagai berikut.

1) Bintara membawahi perwira.

2) Komandan itu membawahkan 160 orang anak buah.

3) Beliau menugasi saya memberi saya tugas.

4) Saya menugaskan penyusunan laporan kepadanya.

 

Kasus mentertawai ini memang sama dengan memenangi yang tidak diberikan contoh dalam kamus. Contoh kalimatnya sebagai berikut.

1) Tidak hanya kekuatan senjata, tetapi kekuatan ekonomi juga dapat memenangkan peperangan.

2) Akhirnya kesebelasan Pelita memenangkan pertandingan itu.

3) Protes timbul setelah wasit memenangkan kesebelasan tuan rumah.

 

Apakah konsep contoh menugasi, membawahi, memenangi, dan mentertawai berbeda? Mengapa dalam semua kamus tidak memberikan contoh kalimat menertawai atau mentertawai? Atau memang sama saja maknanya bila diubah begini.

1) Saya mentertawai tingkah lakunya, bukan perkataannya.

2) Orang akan mentertawaimu kalau engkau mengenakan baju merah,

3) Gerak mimiknya yang lucu itu mentertawai penonton.

 

Semoga di KBBI VI (daring) maupun cetak, para munsyi atau Badan Bahasa bisa memberi contoh konkret kalimat dengan kata mentertawai.

Saya jabarkan lebih jelas di sini karena saat di hotel itu jawaban narasumber tidak memuaskan pertanyaan saya. Dia hanya menjawab singkat terkait peluluhan atau morfofonemik itu. Semoga yang membaca tulisan ini bisa ikut berdiskusi terkait hal ini.

Sepulang dari kegiatan itu, saya mengajar lagi di kelas. Masalah satu belum selesai, malah tambah masalah lagi. Materi yang saya sampaikan di kelas ialah poster. Lalu, anak-anak saya suruh membuat poster. Sebagian siswa ada yang menulis ”Stop Merokok!”. Saya bilang bahwa kata yang baku di kamus itu ­setop. Siswa tersebut menurut saja tanpa protes. Sebenarnya sudah lama saya tahu bahwa kata yang baku itu setop bukan stop. Namun, entah ada angin apa saya iseng dan cek lagi KBBI VI (daring). Saya terperanga, ”Loh, kok, yang baku stop?” Saya cek di Google dengan kata kunci ”setop bukan stop”. Teratas ada pernyataan Ivan Lanin pada 2 Februari 2018. Dia menjawab pertanyaan seseorang di Twitter: "Setop", bukan "stop". Mungkin karena kata ini diserap sejak lama dan saat itu penyisipan swarabakti "e" untuk kata serapan masih sering digunakan. Menurut Ivan Lanin, kaidah itu baru dibuat sekitar 1973 saat pedoman penyerapan dibakukan. Menurutnya setop tampaknya diserap sebelum itu.

Di laman lain (kaskus.co.id), saya menemukan kembali pernyataan Ivan Lanin yang berubah haluan dari setop menjadi stop. Awalnya ada warganet yang mengomentari twit Pak Jokowi: “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.” Warganet bernama Awi Chin mengirim tangkapan layar KBBI V bahwa yang baku adalah stop. Di laman itu ada keterangan perubahan stop menjadi baku dan setop menjadi tidak baku dilakukan pada pemutakhiran KBBI April 2021. Ivan Lanin berkomentar bahwa ia juga baru tahu karena ada isu twit Pak Jokowi itu. Waduh, saya ke mana saja, tahun 2024 saya baru tahu kalau ada pemutakhiran.

Di laman lain, saya menemukan tulisan yang masih hangat (kompasiana.com, 31 Juli 2024) karya Tata Tambi berjudul “Setop Versus Stop”. Tata menjelaskan bahwa kata setop yang semula dibakukan harus rela dilabeli kode “cak” alias cakapan, yakni kata yang digunakan dalam ragam tidak baku. Tata menambahkan bahwa usulan perubahan dilakukan oleh Vita Muflihah Fitriyani sebagai editor—berdasarkan hasil diskusi konsinyasi pemutakhiran KBBI pada tanggal 30 Maret 2021. Perubahan akhirnya terjadi dalam pemutakhiran KBBI pada April 2021. 

Ini merupakan informasi penting. Artinya, saat mengajar di kelas nanti, saya sudah tidak menyalah-nyalahkan siswa menulis stop lagi. Sebenarnya saya pribadi lebih setuju bentuk stop karena lebih gagah. Kata setop, mohon maaf, terdengar lebih ndeso. Kalau mengutip pernyataan Satria Wisnu Sasangka di WA, “galakan menstop daripada menyetop”. Bila diberikan prefiks me-, malah lebih gagah menyetop daripada menstop yang rasanya lidah saya belum berterima melafalkan ini. Namun, mau bagaimana lagi, kata turunan yang baku dari stop saat ini ya menstop, bukan menyetop.

Saya belum merasa puas dengan alasan-alasan yang dikemukakan di atas. Saya meluncur ke grup WA Klinik Bahasa dan melemparkan tanya, “Apa alasan mengubah setop menjadi stop?” Grup ini seperti ruang perkuliahan. Para pakar menjawab. Salah satunya Yanwardi. Ia mengirim artikelnya yang dimuat di Kompas berjudul “Kegamangan Kamus”. Saya baca dan saya mendapat pencerahan. Kasus setop dikembalikan menjadi stop merujuk pada kata skor dan skors yang diserap berdasarkan kata asalnya (adaptasi). Bila diberikan prefiks me-, turunan katanya menjadi menstop, menskor, dan menskors. Alasan ini sangat masuk akal agar ada kekonsistenan bentuk turunan. Selain stop, kelompok kata (satu suku kata) yang konsonannya rangkap (kluster) di awal di antaranya klaim, klik, drop, blok. Namun, saya tidak menemukan kekonsistenan seperti yang saya kira. Asep Rahmat mengirim cuplikan layar dari buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI).

Dalam TBBBI tertulis jika ditambahkan pada bentuk dasar yang bersuku satu, prefiks meng- berubah menjadi menge- /mənə. Bentuk pasif dari verba turunan ini ialah di- ditambah bentuk dasar yang bersuku satu itu.

meng- + bom     –> mengebom    –>  dibom

meng- + cek      –> mengecek    –>  dicek

meng- + pel       –> mengepel      –> dipel

meng- + rem     –> mengerem     –> direm

meng- + tik       –> mengetik       –> ditik

meng- + blok     –> mengeblok    –> diblok

meng- + drop    –> mengedrop    –> didrop

meng- + klik     –> mengeklik     –> diklik (di KBBI VI mengklik)

 

TBBBI juga menjelaskan jika bentuk dasar yang berawal dengan /s/ yang berbentuk gugus konsonan, prefiks meng- berubah menjadi men-, bukan menge- seperti berikut.

men- + skors     –> menskors      –> diskors

men- + smes     –> mensmes       –> dismes

men- + stok       –> menstok        –> distok

 

Di grup WA, Tamzir bertanya “Jadi, untuk kata ‘klik’, kami mengikut versi KBBI atau TBBBI?” Nah, di sinilah letak kegamangan kita sebagai pengguna bahasa. Namun, Asep Rahmat menjawab bahwa kalau dari segi aturan, tentu TBBBI yang lebih "tinggi". Kata Asep dalam hal ini KBBI berposisi merekam perkembangan, apakah itu akan berterima, ditunggu di pemutakhiran TBBBI berikutnya. Asep menolak kegamangan Tamzir (dan saya) bahwa tidak semua variasi itu dapat dipandang sebagai kegamangan. Kalau saya pribadi, lebih mudah mengklasifikasikan jika bentuk dasar yang berawal dengan /kl/ yang berbentuk gugus konsonan seperti klaim dan klik mengikuti bentukan tersendiri, yakni dengan gagah ditulis mengklaim, mengklik tanpa ragu, seperti halnya skor, smes, stok, stop yang punya kaidah sendiri (men-), tidak mengikuti bentukan seperti bom, pel, cek, rem (menge-). Bagaimana dengan gugus konsonan /dr/ seperti drop? Duh, kata ini jadi “anak gelandangan”. Ia bisa masuk keluarga gugus konsonan klik (yakni mengdrop), bisa juga masuk keluarga skor (yakni mendrop), dan bisa juga masuk keluarga bom (yakni mengedrop).  

Meskipun segalanya telah diatur dan dibuat “rumus” dalam kaidah morfologi, kelak muncul juga kata yang akan melanggar aturan. Seperti yang disampaikan Odien Rosidin dan Suherlan dalam Ihwal Bahasa dan Cakupannya (2004) bahwa disebut tidak taat asas karena memang menyimpang dari kaidah morfologi (menyimpang dari konvensi gramatikal) yang semestinya sehingga muncul sebagai bentuk yang tidak berterima atau gramatikal. Namun, seolah-olah itu menjadi benar. Inilah yang kata Odien disebut sebagai anomali morfologis. Anomali macam ini berkeliaran di sekitar kita. Jujur, makin lama makin puyeng kepala saya. Saya pengin berak! Tolong jangan tertawa!

Di akhir tulisan ini, lebih baik saya mengutip saja pernyataan Yanwardi di grup WA yang menurut saya sebuah sikap yang bijak.

Balik ke data yang ada di masyarakat. Kita menganalisis data atau korpus yang dipakai masyarakat. Sebab itu, nanti akan tampak apakah "aturan" morfofonemik seperti dalam mengedrop dan mengeblok, atau bahkan mengeklaim diterima masyarakat atau sebaliknya, masyarakat memakai mengklaim, mendrop, dan memblok. Bagi saya, proses ngedrop dan ngeblok terjadi lebih dulu melalui simulfiksasi, baru berafiksasi dengan awalan meng-, bukan langsung dari afiksasi meng- + dasar. Soal menstop dan menyetop memang bergantung kita melihat kata dasarnya: stop atau setop.

Semoga tercerahkan dan stop mentertawakan saya!


______

Encep Abdullah, penulis buku esai bahasa Cabe-cabean (2015) dan Susu Bikini (2019).


DOWNLOAD PDF MAJALAH DI SINI!

Komentar