Oleh Encep Abdullah
Lengan yang ringan menggamit lengan yang berat. Jari yang ringan
meremas jari yang berat. Jari-jari yang ringan memilin jari manis yang berat kepada
jari manis yang berat itu.
(Puisi “Tato” Karya Arip Senjaya)
Suatu kali saya posting sebuah esai, sebagian berkata “Tulisannya ringan, ya”. Lain hari saya posting puisi atau cerpen, sebagian berkata “Tulisannya berat, ya.” Loh, bagaimana pembaca bisa mengukur ringan dan berat tulisan saya?Pun saya pernah seperti itu kala jadi pembaca. Pembaca adalah pengamat, peneliti, dan pengintai. Apa yang dibaca adalah apa yang dilihat dan dirasakan. Pembaca adalah penonton. Penulis adalah pemain. Lihatlah para penonton sepak bola, mereka akan berkata seenak jidat kepada pemain bola yang gagal memasukkan gol. Mereka bilang “goblok, payah, segitu aja gak becus, padahal tinggal tendang!”
Mudah sekali. Ringan sekali mulut berkata.
Coba penonton itu disuruh bermain, bisa jadi lebih parah daripada pemain itu. Sekali
lagi, penulis adalah pemain. Ia bisa diolok-olok oleh pembaca, bisa pula dipuja
dan dipuji. Pembaca bisa menilai ringan dan berat tulisan itu sesuai dengan
kapasitas dan porsi bacaannya. Tapi, ingat, pembaca belum tentu penulis.
Penulis adalah pembaca (meski ada pula yang jarang baca, setidaknya ia pastilah
membaca).
Porsi bacaan yang banyak—juga kritis—dapat
berpengaruh terhadap komentar ringan dan berat itu. Artinya, tahap ringan
adalah tahap dasar yang sudah dilewati. Seseorang tidak akan berkata berat bila
sudah melewati fase-fase ringan itu. Atau bahkan mereka langsung kepada fase
yang berat itu sehingga yang ringan begitu saja terlewat. Tapi, teramat musykil
memang.
Ibarat orang salat ke masjid, semua ada tahapan.
Mereka yang merasa ringan karena terbiasa. Mereka yang merasa berat karena tidak
terbiasa, apalagi baru memulai. Yang rajin ke masjid pun belum tentu sepenuhnya
ia ke masjid, misal ada waktu yang baginya sulit dikendalikan, salat Subuh
misalnya. Dalam menulis, ada dua posisi ringan dan berat itu. Pertama, ringan
dan berat menulisnya. Kedua, ringan dan berat tulisannya.
Baik, saya uraikan. Posisi pertama saya
ibaratkan salat ke masjid itu. Artinya, biasa karena terbiasa. Entah genre apa
yang ditulis. Menulis begitu tampak ringan. Semakin lama berlatih akan semakin
luwes bertarung. Begitu sebaliknya, penulis yang berat menulis ibarat manusia
yang baru hijrah untuk salat berjemaah ke masjid tadi. Ada kemauan, tapi bisa
berhenti seketika di tengah jalan, lalu maju lagi, mundur lagi, dan seterusnya.
Beratnya itu seharusnya seperti bayi yang berupaya merangkak setelah tengkurap,
duduk setelah merangkak, berdiri setelah duduk, berjalan setelah berdiri,
berlari setelah berjalan. Penulis yang berat menulis itu tidak akan sampai pada
tahap akhir bila tidak dibiasakan dan dipaksakan—meski di sini naluri dan bakat
juga ikut berperan.
Kedua, penulis yang ringan dan berat
tulisannya. Nah, ini beda kasus. Penulis yang ringan adalah yang (bisa jadi) mencari
jalan aman. Jalan ini bukan berarti tidak baik. Hanya, ia memilih untuk tidak
berbelit dalam menulis. Tidak begitu mementingkan kebaruan karya yang
berlebihan. Ia menulis pada wilayah normatif—meski ada pula sebagian penulis
yang jenuh dan berusaha untuk meningkatkan kualitas kekaryaannya. Tulisan
ringan bukan berarti tidak bermutu. Justru tulisan ringan adalah modal untuk
menuju yang berat. Penulis yang memaksakan diri menulis sesuatu yang berat
padahal otaknya hanya mampu menulis yang ringan, malah bisa terserang stroke
dan bisa cepat tua dan mati. Sudahlah, jangan memaksakan diri!
Penulis pada tahap yang berat sudah masuk
wilayah yang jauh lebih kritis dan kreatif. Apa yang ditulis sudah
dipertimbangkan dengan matang. Misal dari aspek bahasa dan temanya. Tema bisa
sama, tapi bahasa yang digunakan berbeda. Bahasa bisa sama, tapi tema yang
dibicarakan bisa berbeda. Orang-orang yang sudah pada tahap level berat ini jenuh
dengan sesuatu yang sudah ada. Mereka malah ingin menghancurkan bentuk yang
ada bahkan bentuk yang sudah dibuatnya sendiri. Lalu, bikin bentuk yang baru,
yang lebih segar. Ibarat rumah yang dibongkar pasang dan direnovasi oleh si
empunya, bongkar lagi, pasang lagi, bahkan bisa meruntuhkan semuanya dan
membangun lagi yang baru yang jauh berbeda. Ini penuh risiko. Harus punya
modal. Harus jadi arsitektur atas rumahmu sendiri. Hanya orang-orang yang
gendengnya kebangetan yang mau dan mampu. Anda sudah gendeng atau belum? Silakan
dijawab sendiri!
Baik, kalau kau masih terus berpusing ria pada
wilayah itu, ujung-ujungnya kau bisa stres. Jadi begini saja, kau muhasabah
diri saja. Coba, sudah berapa banyak buku yang kau baca? Sudah berapa tahun kau
menulis? Sudah segendeng apa kau bertarung? Perubahan apa yang bisa kau lihat
dan rasakan? Apakah kau ada pada posisi penulis yang ringan atau berat
menulisnya itu atau pada posisi penulis yang ringan atau berat tulisannya itu?
Mari baca lagi puisi Arip Senjaya ini.
Lengan yang
ringan menggamit lengan yang berat. Jari yang ringan meremas jari yang berat. Jari-jari
yang ringan memilin jari manis yang berat kepada jari manis yang berat itu.
Kiara, 21 Januari 2019 (Pukul 01.20 WIB)
Komentar
Posting Komentar