Oleh Encep Abdullah
J |
ika Anda bercakap dengan mitra tutur Anda menggunakan kata ganti aku atau saya, mohon berhati-hati, lebih baik lihat dulu siapa lawan bicara Anda!
Setelah saya cermati, pronomina aku dan saya ternyata tidak boleh sembarangan digunakan. Maknanya sama, tetapi rasanya berbeda. Beberapa kali saya sempat terpeleset menggunakan pronomina ini. Beberapa kali juga saya mengalami tekanan batin hanya karena persoalan salah memilih menggunakan dua kata ganti ini.
Baik, begini, awal masuk kuliah –dulu—, saya begitu asing mendengarkan
orang-orang berkata aku. Akan tetapi,
setelah saya bergelut dengan orang-orang sejurusan, yakni Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, saya malah lebih sering menggunakan kata aku daripada saya. Lebih-lebih
saya hobi membaca dan menulis sastra. Saking menyatunya dengan kata aku, saya pun menggunakannya di mana pun
di sembarang tempat—tetapi, hanya bila orang yang saya ajak bicara itu memang satu
jurusan/ satu komunitas dengan saya. Gaya ber-aku saya pilih karena saya yakin, obrolan kami pasti nyambung. Sayangnya, tidak semua orang
menyukai percakapan kami (yang satu “spesies” menggunakan kata
aku). Waktu itu, saya sedang berada di tempat kerja (bimbel), saya bercakap
dengan seorang kawan yang juga sesama pengajar bahasa Indonesia. Kami saling
menggunakan kata ganti aku. Tiba-tiba
salah seorang pengajar lain—matematika yang seorang perempuan—nyeletuk di depan kami, “Aku? Ih jijik
amat, sih, kalian. Sama-sama cowok
juga bilangnya aku-aku. Geli tahu!” Saya dan kawan saya kaget mendengarnya. Kami
pun langsung mengalihkan pembicaraan. Wajah pengajar itu terlihat amat sinis. Ia
pun pergi dari hadapan kami. Sebegitukah kata aku di mata perempuan itu?
Saya berintrospeksi diri. Barangkali apa yang dikatakan perempuan itu ada
benarnya. Saya pun berusaha berhati-hati menggunakan kata ganti aku. Sayangnya, hal itu terulang lagi.
Kali ini kawan saya yang berkuliah di jurusan komputer yang mendengar
percakapan kata aku dari saya. Ia pun
nyeletuk, “Mentang-mentang anak
sastra, ngomongnya pake aku-aku.”
Saya tegaskan padanya bahwa kata aku bisa
digunakan oleh siapa saja, bukan hanya untuk anak sastra, melainkan juga umum. Ia
pun diam.
Bila saya menilik ke kampus—ke dosen-dosen sastra saya atau senior-senior
saya—mereka memang lebih akrab menggunakan kata aku daripada saya, baik
di ruang kelas maupun di luar kelas. Akhirnya, saya tidak pilih kasih, ke dosen
siapa pun saya bercakap menggunakan kata aku.
Namun, nasib berkata lain, dosen itu (bukan dosen sastra) membentak begini “Kamu ini, aku- aku, memang saya teman kamu!” Saya diam.
Tidak hanya itu, ketika saya berada di sekolah (tepatnya di kantor), saya
menyaksikan seorang siswa dibentak oleh salah seorang guru (kolega saya) karena
siswa itu berbicara menggunakan kata aku
kepada guru tersebut. Guru itu menghardik “Kamu tidak sopan! Aku-aku apa aku-
aku!” Siswa itu langsung menunduk. Saya yang ada di samping mereka berkerut
kening. Salah apa lagi dengan kata aku?
Dari kejadian-kejadian traumatis tersebut, beberapa saat saya mencoba
berpindah haluan menggunakan kata ganti saya.
Saya mengabari kepada salah seorang kawan yang biasa menggunakan kata aku dengan menggunakan kata ganti saya. Ia merasakan ada suatu kesan yang
mengganjal dari SMS yang saya kirim.
Ia taknyaman bila saya menggunakan kata
saya. Ia takbiasa dengan kata-kata itu. Lagi-lagi saya salah memosisikan
tempat. Setelah aku, apalagi salah saya?
Saya pun berikhtiar mencari jawab atas tanya tersebut. Menilik Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) dan buku Semantik
2 karya Fatimah Djajasudarma,
penggunaan
pronomina aku dan saya memiliki tempat masing-masing. Kata ganti aku merujuk kepada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam akrab,
sedangan saya merujuk kepada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam resmi
atau biasa. Keduanya juga memiliki “jarak psikologis” yang berbeda. Kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy), sedangkan saya tak bermarkah (unmarked). Dalam ruang lingkup keluarga misalnya, seorang anak
kepada orangtuanya barangkali lebih sering menggunakan kata aku ketimbang saya, begitu juga seorang lelaki yang bercakap dengan kekasihnya
akan lebih terasa intim menggunakan kata aku.
Berbeda lagi misalnya dalam ruang lingkup akademik/ formal, kata ganti saya lebih sering digunakan daripada aku.
Menurut Brandstetter, ada beberapa wilayah di Indonesia yang memang
kesehariannya menggunakan kata ganti aku,
antara lain Tontempua (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), Jawa Kuna, Gayo
(Sumatra), dan Mentawai. Dalam pandangan mereka (juga
pakar bahasa), kata aku sebagai
bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih lentur
daripada saya karena aku mempunyai bentuk terikat –ku, sedangkan saya tidak. Jadi, Anda mau pilih aku atau saya?
Komentar
Posting Komentar