Esai | Persoalan Aku dan Saya | Pikiran Rakyat, 17 November 2013


Oleh Encep Abdullah


J

ika Anda bercakap dengan mitra tutur Anda menggunakan kata ganti aku atau saya, mohon berhati-hati, lebih baik lihat dulu siapa lawan bicara Anda!

Setelah saya cermati, pronomina aku dan saya ternyata tidak boleh sembarangan digunakan. Maknanya sama, tetapi rasanya berbeda. Beberapa kali saya sempat terpeleset menggunakan pronomina ini. Beberapa kali juga saya mengalami tekanan batin hanya karena persoalan salah memilih menggunakan dua kata ganti ini.


Setiap penutur memang mempunyai gaya masing-masing dalam bercakap. Ada yang menggunakan kata ganti aku, saya, gue, ane, atau dengan menyebutkan namanya sendiri, misalnya “Pulpen ini punya Adi,” ujar Adi. Namun, dalam hal ini saya akan fokus pada penggunaan kata aku dan saya saja sesuai dengan peristiwa apa yang pernah saya alami dengan kedua pronomina tersebut. Lantas, persoalan apa yang saya mau ceritakan di sini?

Baik, begini, awal masuk kuliah –dulu—, saya begitu asing mendengarkan orang-orang berkata aku. Akan tetapi, setelah saya bergelut dengan orang-orang sejurusan, yakni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya malah lebih sering menggunakan kata aku daripada saya. Lebih-lebih saya hobi membaca dan menulis sastra. Saking menyatunya dengan kata aku, saya pun menggunakannya di mana pun di sembarang tempat—tetapi, hanya bila orang yang saya ajak bicara itu memang satu jurusan/ satu komunitas dengan saya. Gaya ber-aku saya pilih karena saya yakin, obrolan kami pasti nyambung. Sayangnya, tidak semua orang menyukai percakapan kami (yang satu spesies menggunakan kata aku). Waktu itu, saya sedang berada di tempat kerja (bimbel), saya bercakap dengan seorang kawan yang juga sesama pengajar bahasa Indonesia. Kami saling menggunakan kata ganti aku. Tiba-tiba salah seorang pengajar lain—matematika yang seorang perempuan—nyeletuk di depan kami, “Aku? Ih jijik amat, sih, kalian. Sama-sama cowok juga bilangnya aku-aku. Geli tahu!” Saya dan kawan saya kaget mendengarnya. Kami pun langsung mengalihkan pembicaraan. Wajah pengajar itu terlihat amat sinis. Ia pun pergi dari hadapan kami. Sebegitukah kata aku di mata perempuan itu?

Saya berintrospeksi diri. Barangkali apa yang dikatakan perempuan itu ada benarnya. Saya pun berusaha berhati-hati menggunakan kata ganti aku. Sayangnya, hal itu terulang lagi. Kali ini kawan saya yang berkuliah di jurusan komputer yang mendengar percakapan kata aku dari saya. Ia pun nyeletuk, “Mentang-mentang anak sastra, ngomongnya pake aku-aku.” Saya tegaskan padanya bahwa kata aku bisa digunakan oleh siapa saja, bukan hanya untuk anak sastra, melainkan juga umum. Ia pun diam.

Bila saya menilik ke kampus—ke dosen-dosen sastra saya atau senior-senior saya—mereka memang lebih akrab menggunakan kata aku daripada saya, baik di ruang kelas maupun di luar kelas. Akhirnya, saya tidak pilih kasih, ke dosen siapa pun saya bercakap menggunakan kata aku. Namun, nasib berkata lain, dosen itu (bukan dosen sastra)  membentak begini “Kamu ini, aku- aku, memang saya teman kamu!” Saya diam.

Tidak hanya itu, ketika saya berada di sekolah (tepatnya di kantor), saya menyaksikan seorang siswa dibentak oleh salah seorang guru (kolega saya) karena siswa itu berbicara menggunakan kata aku kepada guru tersebut. Guru itu menghardik “Kamu tidak sopan! Aku-aku apa aku- aku!” Siswa itu langsung menunduk. Saya yang ada di samping mereka berkerut kening. Salah apa lagi dengan kata aku?

Dari kejadian-kejadian traumatis tersebut, beberapa saat saya mencoba berpindah haluan menggunakan kata ganti saya. Saya mengabari kepada salah seorang kawan yang biasa menggunakan kata aku dengan menggunakan kata ganti saya. Ia merasakan ada suatu kesan yang mengganjal dari SMS yang saya kirim. Ia taknyaman bila saya menggunakan kata saya. Ia takbiasa dengan kata-kata itu. Lagi-lagi saya salah memosisikan tempat. Setelah aku, apalagi salah saya?

Saya pun berikhtiar mencari jawab atas tanya tersebut. Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan buku Semantik 2 karya Fatimah Djajasudarma, penggunaan pronomina aku dan saya memiliki tempat masing-masing. Kata ganti aku merujuk kepada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam akrab, sedangan saya merujuk kepada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam resmi atau biasa. Keduanya juga memiliki “jarak psikologis” yang berbeda. Kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy), sedangkan saya tak bermarkah (unmarked). Dalam ruang lingkup keluarga misalnya, seorang anak kepada orangtuanya barangkali lebih sering menggunakan kata aku ketimbang saya, begitu juga seorang lelaki yang bercakap dengan kekasihnya akan lebih terasa intim menggunakan kata aku. Berbeda lagi misalnya dalam ruang lingkup akademik/ formal, kata ganti saya lebih sering digunakan daripada aku.

Menurut Brandstetter, ada beberapa wilayah di Indonesia yang memang kesehariannya menggunakan kata ganti aku, antara lain Tontempua (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), Jawa Kuna, Gayo (Sumatra), dan Mentawai. Dalam pandangan mereka (juga pakar bahasa), kata aku sebagai bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih lentur daripada saya karena aku mempunyai bentuk terikat –ku, sedangkan saya tidak. Jadi, Anda mau pilih aku atau saya?

Komentar