Proses Kreatif | Menulis dan Catatan-Catatan Cinta


Jika cinta tak membuatmu gila, itu berarti kau belum benar-benar mencintai (As You Like -Act II, scene 4, line 34).
Kalau kau penulis dan belum pernah menjadi “gila”, kau belum benar-benar menjadi penulis. Orang yang sedang jatuh cinta kepada kekasihnya akan merasa bahwa apa yang sedang dirasakannya itu adalah hal konyol dan gila. Orang yang sedang menjadi ayah atau ibu bisa mendadak menjadi gila kepada anak-anaknya, terutama menghadapi makhluk bernama bayi dan balita. Kau akan melakukan tindakan konyol daripada tindakan normal. Itu semata kau ingin membahagiakan anakmu.

Saya tak bisa menjadi normal ketika berhadapan dengan anak saya, misalnya. Saya akan merasa konyol sendiri. Gila sendiri. Tentu kegilaan macam apa yang saya lakukan, kau tak perlu tahu. Begitu juga menulis. Saya tidak bisa menulis bila otak saya sedang normal. Saya harus menjadi gila. Saya harus gila dari sisi ide. Gila dari sisi kreativitas. Gila dalam menuangkan sudut pandang tulisan. Apakah itu mudah? Tidak. Menjadi gila itu sulit. Karena gila hanya bisa dijiwai oleh orang yang benar-benar gila. Lah, kalau kondisi saya sedang normal bagaimana? Saya harus menunggu ilham agar saya kerasukan ide-ide gila itu. Tapi, saya tak tahu kapan hal itu akan datang. Semua bisa datang tiba-tiba. Seperti menulis catatan ini. Tengah malam. Kurang kerjaan. Ini semata karena saya cinta kepada panggilan jiwa saya sebagai penulis. Saya tidak akan bisa tidur sebelum tulisan ini saya rampungkan. Karena cinta memang bisa bikin buta. Mereka yang terjebak pesonanya tidak menyadari setiap jengkal tindakan bodoh yang mereka lakukan (The Merchant of Venice – Act II, secene 6, line 36).

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sering berkata bahwa menulis adalah bagian dari obat pelipur lara. Ini juga sejalan dengan kata bahwa cinta adalah refleksi terbalik dari kegilaan, pil pahit yang harus kita telan agar sembuh (Romeo and Juliet – Act I , scene 1, line 196).

Tak ada penulis hebat yang jalan hidupnya mulus. Kalau pun ada, itu penulis berengsek. Jalan setiap penulis adalah pahit. Segala pahit yang sering melanda itu justru adalah obat mujarab segala nyeri. Bahkan, saking kepengin sembuh, ia mengonsumsi lebih banyak pil. Oplosan. Dan akhirnya overdosis, mati. Itu sih perilaku yang dibuat-buat. Kau pun harus tahu batas obat yang harus kau minum saat sedang dilanda kegilaan. Biarkan dulu pil itu bereaksi sejenak. Kalau bisa menyembuhkan paten, syukur. Kalaupun tidak, itu sudah menjadi takdir bahwa kau memang harus mati. Rasa pahit itu memang tidak enak. Hajar sana-sini. Kritik sana-sini. Tapi, kalau sudah biasa minum pil macam itu, ya akan terbiasa meski itu racun. Malah kala sedang sembuh pun, sengaja mencari-cari pil. Mencari kepahitan. Mencari makian. Mencari cercaan. Dasar, penulis gendeng!

Syahwat menulis adalah raja, ia bisa menguasaimu. Seperti halnya cinta bisa merajai dan menguasaimu (The Two Gentlemen of Verona – Act I, scene 1, line 39). Ledakan syahwat menulis kadangkala harus lekas kau tuntaskan segera melebihi ledakan apa pun. Ia bisa datang secara tiba-tiba. Ia bisa menguasai pikiranmu. Menguasai gerak tubuhmu. Menguasai hatimu. Layaknya tamu yang tak diundang, bisa muncul begitu saja. Mungkin memang begitulah cinta. Bagi mereka yang tak jatuh cinta dengan kata-kata, mereka tak akan menunjukkan tulisannya. Seperti kata-kata: mereka yang tak jatuh cinta, tak akan menunjukkan cintanya (The Two Gentlemen of Verona – Act i, scene 1). Coba lihat, berapa banyak para penulis yang memosting karyanya di media sosial. Media cetak. Media eletronik. Sangat banyak. Tak terbatas. Mereka seolah sedang menunjukkan cintanya. Cinta kepada dunia tulisnya. Posting kover bukunya. Posting karya-karya yang dimuat di media. Posting penghargaan-penghargaan yang diraih. Itulah cinta. Cinta bukan sekadar pamer paha tapi tak berwajah. Cinta adalah eksistensi keseluruhan yang nyata. Tanpa dasar cinta, mereka tak mungkin besenang hati, menarsiskan dirinya di media sosial. Itu adalah ekspresi wajar. Bahkan memang harus ditunjukkan. Itu bagian dari promosi, nilai jual dirinya di mata orang lain.

Dunia tulis memang rewel ibarat anak kecil. Apa saja yang dilihatnya ingin dimiliki. Apa saja yang ada di kepalanya pengin ditulis, pengin dikuasai. Seperti halnya pepatah cinta: cinta itu ibarat anak kecil yang rewel ingin memiliki apa pun yang dilihatnya (The Two Gentlemen of Verona Act 3, scene 1). Namun, faktanya tak semua barang bisa dibeli. Tak semua barang bisa didapat. Barangkali menulis juga begitu, apa saja pengin kita tulis, tapi nyatanya hanya sebagian yang mampu kita selesaikan. Selebihnya hanya hasrat saja bukan kebutuhan. Maka, alangkah lebih baik tuntaskan yang menjadi prioritas. Tulisan mana yang harus lahir terlebih dahulu. Ialah yang harus didahulukan. Ini agar anak yang dilahirkan bisa selamat. Tidak prematur juga cacat. Menjadi penulis memang harus kuat. Kuat dari segi apa pun. Dan yang menguatkannya adalah cinta.

Jika kau mencintai [menulis] lalu tersakiti, mencintailah [menulislah] dengan lebih. Jika kau terus mencintai [menulis] dan terus tersakiti, bertahanlah dan teruslah mencintai [menulis] dengan lebih lagi. Jika kau telah bertahan dan terus mencintai [menulis] namun tetap tersakiti, teruslah bertahan mencintai [menulis] hingga rasa sakit itu hilang.

Selamat menulis!

NB: Beberapa kutipan cinta diambil dari buku Begitulah Cinta karya Shakespeare yang diterjemahkan oleh Cholis Nur, Penerbit mediakita, 2013.

Pontang, 4 Agustus 2018 (Pukul 01.35 WIB)

Komentar