Resensi | Merenungi Kelakar Eka dalam Tragedimu Komediku | Majalah Kandaga, Desember 2023

 Oleh Encep Abdullah


Judul: Tragedimu Komediku
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Pojok Cerpen
Edisi: Pertama, Juli 2023
Tebal: xii + 276 hlm.
ISBN: 978-623-5869-18-6

  

H.B Jassin mengatakan bahwa esai merupakan uraian yang membicarakan bermacam ragam, tidak tersusun secara teratur, tetapi seperti dipetik dari bermacam jalan pikiran. Yang disampaikan H.B. Jassin, ada dalam buku Tragedimu Komediku karya Eka Kurniawan ini. Eka menulis layaknya seorang ”pemulung” yang siap mengambil barang apa saja, yang penting bisa dijual atau dimanfaatkan atau didaur ulang. 

Esai-esai awal dalam buku ini, seperti ”Max Havelaar dan Dosa Kolektif” dan ”Menyapu Sampah ke Bawah Permadani” terasa sangat kaku dan menjenuhkan: tidak ada kelakar —juga ditulis sangat panjang di antara esai lain. Begitu juga dalam esai ”Sastra yang Mendefinisikan” dan ”Serigala Berbulu Domba”. Namun, 64 esai lainnya membayar rasa jenuh itu. Ditulis dengan santai, satire, dan guyon. Barangkali di awal-awal, Eka masih meraba-raba diri.

Tragedimu Tragediku dibangun—dalam istilah Edward de Bono—dengan model penalaran lateral. Salah satu cara menulis esai ala Eka Kurniawan ialah dengan cara membuka ruang-ruang pertanyaan retoris. Inilah yang membuat esai-esainya hidup. Saya yakin Eka dengan sangat sadar dan sengaja membawa pembaca ke dalam ruang itu untuk sampai pada esensi esai itu sendiri, yakni perenungan. Bahkan, dalam salah satu judul esainya, ia menulis, ”Jika kita berhenti bertanya, yang lain akan melakukannya.” Di sini, Eka menekankan pentingnya mengajukan sebuah pertanyaan. Sesuai dengan apa yang menjadi kunci dalam ilmu yang dipelajarinya: filsafat.

Buku yang terdiri atas 68 esai ini ditulis dalam rentang 10 Desember 2018 s.d. 25 Desember 2022 yang sebagian besar pernah dimuat di Jawa Pos. Seperti disinggung dalam catatan di awal buku, dalam esai-esainya, Eka tidak hanya menyoal sastra dan kebudayaan, melainkan juga politik, dinamika sosial, dan sedikit perbincangan mengenai etika atau sesat pikir dalam ranah filosofis.

Selama menjadi kolumnis (pesanan) di Jawa Pos, Eka merasa senang. Media besar ini tidak membatasi apa yang harus ditulisnya. Panduannya hanya membicarakan apa yang sedang hangat walau kadang ia melanggarnya juga. Bila berbicara ”hangat”, seharusnya yang melimpah dalam buku ini bertema tentang Covid-19. Tapi, nyatanya tidak. Melihat rekam jejak titi mangsanya, hanya ada beberapa biji, itu pun sekadar selingan. Padahal bila Eka fokus menulis esai bertema Covid-19, bisa jadi karya ini menjadi sumbangsih Eka terhadap Indonesia atau bahkan dunia. Siapa tahu di kemudian hari ada segelintir orang yang meneliti terkait esai-esai tentang Covid-19, barangkali buku Eka mungkin bisa menjadi salah satu rujukan penting peristiwa di masa pandemi itu.

Judul esai-esai Eka, beberapa ditulis dalam bentuk pertanyaan. Terhitung ada tujuh judul yang ditulis dalam bentuk pertanyaan: ”Siapa Lebih Menderita?”, ”Bisakah Foto Besar Mengubah Dunia?”, ”Siapa yang Akan Makan Terakhir?”, ”Kita Ini Malas atau Tak Ada Kesempatan?”, ”Apakah Hari Ini Kamu Sudah Berlibur?”, ”Mau Dipanggil Mbak atau Cici?”, dan ”Adakah Yang Lebih Manusia dari Manusia?”. Beberapa pertanyaan dalam tulisannya, Eka sajikan di awal paragraf, di tengah, atau di akhir (sebagai konklusi).  

Esai yang bertebaran dalam buku ini sebagian konklusinya bisa membuat cakrawala harapan pembaca dijungkirbalikkan. Misal, dalam judul "Merasa Benar dan Merasa Salah". Eka bercerita saat ia berkunjung di Ho Chi Minh. Di sana ia melihat kesemrawutan para pengemudi yang saling berebut jalan, senggol-senggolan, tapi tidak ada yang marah. Ternyata di sana punya prinsip "karena semua orang tahu dirinya salah".  Ia berkesimpulan bahwa "merasa salah" itu penting. Pembaca mengiyakan itu. Namun, di akhir tulisan, Eka malah menyimpulkan bahwa "merasa salah" itu salah. Pembaca kembali diluruskan, "Merasa benar dan salah hanya bisa terjadi dengan sehat jika ia memiliki batas". Pembaca diberikan dua alternatif ”kebenaran” yang bertolak belakang. Pembaca merasa ”dipermainkan” pada ”kebenaran” yang dinyatakan Eka sebelum dan sesudahnya. Inilah keunikan esai-esai Eka. Pembaca tidak bisa menebak, Eka akan memberikan konklusi esainya seperti apa.

Sebagian esainya lagi membikin pembacanya tersenyum simpul—usai membaca bagian konklusinya. Salah satunya dalam esai "Maaf, Mau ke Belakang". Ini salah satu esai yang tingkat kelakarnya bisa dikatakan sangat berhasil. Bagaimana kamar mandi/kamar kecil menjadi salah tempat ternyaman dari berbagai persoalan hidup. Saat orang menangis, bersedih, baik dalam film maupun dunia nyata, kamar mandi menjadi alternatif nomor wahid untuk melarikan diri. Hebatnya, dalam esai ini malah diawali dengan uraian "kencangnya suara knalpot", lalu "anak kecil yang menangis", lalu "suara iklan di televisi", lalu "suara para pedagang". Semuanya disalingkaitkan. Meskipun ngalor-ngidul, Eka mengembalikan kepada jati dirinya, yakni dunia filsafat—dalam hal ini "Filsafat Kebisingan". Tentu saja ditutup dengan konklusinya yang khas.

"Setidaknya, dari pengalaman saya sering duduk menyepi di kamar kecil, saya sadar satu hal. Bahwa suara paling kencang yang terdengar di kesunyian kamar kecil adalah suara cemplung kotoran sendiri. Benar bukan?" (hlm. 146).

Konklusi yang “kurang ajar” juga terdapat dalam esai ”Hanya Mengingatkan”, ”Lempar Kuasa”, dan ”Sepakat dan Tidak Sepakat”. Dalam esai yang disebut terakhir, konklusinya juga dijungkirbalikkan seperti dalam esai ”Merasa Benar dan Merasa Salah”. Pembaca benar-benar dibuat limbung oleh opini dan kebenaran penulisnya.

Judul yang tertulis dalam buku ini diolah dari salah satu esainya berjudul ”Tragedi dan Komedi Kepercayaan” (hlm. 71). Secara keseluruhan, judul ini memang mewakil esai-esai lain yang juga berisi tentang tragedi, peristiwa, dan kelakar kehidupan.



Sambil Menyelam Minum Air

Menulis esai bagi Eka tidak sekadar menyodorkan fenomena atau wacana. Di sana juga tampak seberapa jauh wawasan penulisnya. Dalam esai-esai Tragedimu Komediku, Eka seperti sedang memantik pembaca dengan ”pamer” bacaan sastranya, beberapa kali juga dalam setiap esainya menyebut film yang ditontonnya (misal dalam ”Bukan Sinema, Bukan Sastra, Juga Bukan Kopi”), dan pengalaman-pengalaman uniknya secara personal. Dengan begitu, penulis dan pembaca sama-sama melakukan aktivitas ”sambil menyelam minum air”. Artinya, pembaca tak sekadar sedang membaca esai, melainkan diajak ke berbagai wahana dan dunia Eka Kurniawan. Coba baca kutipan esai ”Manusia Global dan Runtuhnya Batas-Batas” berikut.

”Di luar itu, membaca novel  Flights karya Olga Tokarczuk, barangkali, bisa sedikit meredam ...” (hlm. 40).

”Bayangkan tentang novel yang isinya menceritakan perjalanan, jalan kaki, mengelilingi Kota Dublin. Itu Ulysses karya James Joyce.” (hlm. 41).

”Setelah itu, bayangkan cerita pendek, yang isinya berisi telaah buku yang sesungguhnya tak pernah ada. Itu cerita pendek pendekatan untuk Al-Mu’tasim karya Jorge Luis Borges, yang menyebut karya itu sebagai setengah hoax setengah esai. Kemudian cobalah baca sebuah novel tentang seorang pembaca yang hendak membaca novel. Itu novel If on a Winter’s Night a Traveler karya Italo Calvino.” (hlm. 41—42).

Bila dibaca saksama, Tragedimu Komediku ini mirip kolom ”Catatan Pinggir” Goenawan Muhamad. Bedanya pembaca butuh keringat lebih untuk membaca esai Goenawan, tapi tidak begitu dengan buku esai Eka. Sebagian besar buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana seperti judul-judul esainya: "Mau Makan Apa? Terserah!", "Maaf, Mau ke Belakang", "Percaya Tidak Percaya", "Hidup Bukan Kondangan", mirip judul-judul esai motivasi. Isinya sangat filosofis. Mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain. Asyiknya, esai-esai Eka relatif pendek dan bisa dibaca dalam sekali duduk, yakni 3—5 menit.

Di akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, terkait typo/saltik. Ada salah halaman dalam buku ini, mulai dari halaman awal esai berjudul "Intelektual Publik" yang seharusnya halaman 13 malah halaman 14 sehingga terjadi kesalahan sampai dengan judul terakhir buku ini. Tampak sepele, tapi fatal bagi ukuran buku penulis kondang seperti Eka Kurniawan. Selain itu, entah dibilang unik atau menganggu, buku ini punya pedoman sendiri, selingkung, menyoal penulisan judul buku dan istilah asing. Makhfud Ikhwan sebagai editor, barangkali sengaja menolak aturan EYD menyoal penulisan judul buku dan istilah asing. Dalam hal ini sah-sah saja, tapi cukup mengganggu bagi seseorang yang memedomaninya harus ditulis miring. Seperti juga novel karya penulis Banten, Langlang Randawa, berjudul Kiamat Masih Lama yang dengan sengaja isi bukunya tanpa ada tulisan cetak miring, alasannya, katanya ribet. Dalam buku Eka, ambil contoh, misalnya judul buku Lapar karya Knut Hamsun tidak ditulis Lapar, Lelaki Tua karya Ernest Hemingway tidak ditulis Lelaki Tua dan istilah asing sticky notes tidak ditulis sticky notes, limited edition tidak ditulis limited edition. Selain itu, ada juga satu kekeliruan dalam menulis penggalan kata. Ada di hlm. 47:

... ba

nyak


seharusnya ditulis


... ba-

nyak.


Selain itu, penerbit buku ini juga membingungkan. Siapa yang menerbitkan? Pojok Cerpen atau Tanda Baca? Di sampul dalam buku, tertulis penerbitnya Pojok Cerpen dan Tanda Baca. Saat ditelusuri di laman https://isbn.perpusnas.go.id/ penerbitnya Pojok Cerpen. Anehnya dalam buku, yang menonjol malah penerbit Tanda Baca, bahkan logonya begitu gamblang tertera di sampul buku ini dan di halaman awal buku.

Namun, apa pun itu, seperti yang disampaikan Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan. Dan, esai-esai Eka adalah butir-butir garam itu. 

Serang, 2023



Komentar