Cerpen | Siapa yang Membangun Masjid? | Rakyat Sultra, 30 Sept 2019

 Cerpen Encep Abdullah


Azan Magrib berkumandang, sebagian warga masih nongkrong di depan rumah Pak RT Sobirin. Mereka saling beradu mulut. Saling mengaku sebagai pencetus masjid yang baru saja berdiri kokoh di kompleks perumahan itu. Masjid yang diberi nama Al-Ikhlas itu baru saja disahkan oleh Camat. Kemarin, sebelum Zuhur tiba.
“Kalau tidak ada saya, mana mungkin masjid itu dibangun. Saya loh orang yang pertama kali mengajak warga kumpul membicarakan masalah masjid ini,” ujar Pak Tebe. 
“Ngawur. Ente bantu apa soal masjid? Ente lupa ya kalau gue yang nulis proposal pengajuan masjid. Tanpa proposal, tentu tidak akan ada tindak lanjut,” sela Pak Soleh sembari menyeruput kopi.
“Pada dasarnya itu sudah kewajiban mereka mendirikan masjid. Jadi tanpa proposal pun, sebenarnya tetap saja akan dibangun!” ujar Pak Tebe tak mau kalah.
Tiba-tiba, dua kali bunyi klakson motor Ustaz Kodir menyela percakapan mereka. Pak Tebe dan Pak Soleh mengangkat tangan. Seolah berkata bahwa “ya, nanti menyusul” atau “duluan saja!”. Mereka tak mengerti maksud Pak Kodir yang sebenarnya dalam hatinya ingin berkata “Bapak-bapak sudah waktunya Magrib, mari salat, jangan ngobrol”. 
Pak RT Sobirin yang sedari tadi menyiapkan kopi di dapur pun keluar sembari membawa nampan berisi Kopi Hitam Kupu-kupu. Ia duduk dan ikut nimbrung pada bale yang masih cukup mengilap itu, bale yang baru saja kemarin ia bikin sendiri. Tak lupa juga  beberapa aneka cemilan dan rokok yang masih terhidang—sisa-sisa. Bada Asar tadi kebetulan Pak RT Sobirin baru saja syukuran sunatan anak keduanya. 
“Eh, Tebe, ingat, tanda tangan Pak Sobirin juga ikut andil atas proposal yang ente buat. Juga Pak lurah. Jadi jangan menganggap ente yang paling berjasa,” Pak Soleh kembali membuka percakapan.
“Saya saja selaku RT tidak pernah merasa bahwa itu hasil dari ide saya.”
“Pak RT memang suka merendah. Tapi kan ini kenyataan Pak. Saya loh yang pertama kali mengumpulkan warga setempat agar demo mengajukan percepatan sarana ibadah ke pihak penanggung jawab perumahan. Bapak lupa ya?” ujar Pak Tebe.
“Eh, bukannya kemarin proposalnya diajukan ke donatur dari Kuwait ya, Pak RT?” ujar Pak Soleh. 
“Loh, yang bener yang mana Pak RT?” 
“Dari Allah!” jawab Pak RT.
***
Sebagian warga berhamburan usai salat Magrib. Ada yang berjalan kaki. Ada yang naik motor. Ada juga yang naik sepeda. Karena memang masjid ini adalah masjid satu-satunya di kompleks perumahan. Jadi, warga tidak rela bila nanti salatnya akan masbuk. Mereka memilih untuk berkendara daripada berjalan kaki.
Setiap warga yang melintas depan rumah Pak Sobirin, mereka selalu menyapa orang tua itu dan juga rekan-rekannya yang masih asyik ngobrol. Sebagian warga menggeleng-geleng, mencibir Pak RT Sobirin yang tidak salat Magrib. Mulut-mulut sebagian warga yang melintas cukup nyelekit. Tapi, kedua orang yang masih ngobrol di halaman rumah Pak RT itu tidak mendengarkan apa-apa. Mereka hanya mengangkat tangan setiap kali orang-orang menyapa mereka. 
“Tuh, lihat, warga berbondong-bondong ke masjid. Pahala saya tentu ikut mengalir karena saya yang azan tadi,“ ujar Pak Gemblung yang tiba-tiba saja datang usai salat menghampiri bapak -bapak di teras rumah itu.
“Alah, ente ini datang-datang ngomongin pahala. Tentu saja saya juga ikut dong. Pencetus gitu loh!”
“Eh, gue juga, jangan salah, penulis proposal!”
“Astagfirullah, kalian ini. Apakah saya juga tidak diajak. Saya RT Loh. Ingat, saya yang menandatangani. Tanda tangan itu jadi saksi atas berdirinya masjid ini!” Pak RT Sobirin tak mau kalah.
***
Percakapan mereka berjalan ngalor-ngidul. Azan Isya pun berkumandang. Orang-orang kembali ke masjid. 
“Saya pulang dulu, ya Bapak-bapak. Saya belum makan,” ujar Pak Gembul sembari memegangi perutnya yang terlihat sudah melilit.
“Sudah waktunya salat kok, malah pulang. Dasar gemblung!” ujar Pak Tebe sembari menyeruput kopinya. 
“Iya, dasar tidak punya iman yang kuat, lebih milih makan daripada salat. Gue bingung sama mereka,” ujar Pak Soleh.
“Kalian itu tidak pernah ngaji, ya. Kalau makanan sudah terhidang di rumah, sedangkan azan juga berkumandang, maka pilihlah makan dulu. Kalian mau, ketika salat perut keroncongan dan salat jadi tidak fokus?”
Ceramah RT Sobirin sama sekali tidak digubris oleh kedua rekannya. Tentu saja Pak Tebe dan Pak Soleh tidak berani menjawab. Mereka tahu Pak RT Sobirin lebih paham mengenai masalah agama ketimbang mereka. Betapa setiap hari, setiap waktu, Pak RT selalu mengenakan kopiah dan sarung. Pak Tebe dan Pak Soleh sudah menganggap itu sebagai sebuah kesalehan Pak Sobirin.
Suara klakson dan sapaan-sapaan pun kembali terdengar. Pak RT dan kedua rekannya menjawab sapaan mereka seperti biasa. Hanya melambaikan tangan yang berarti bahwa “nanti kami menyusul” atau “duluan saja!”.
***
Sebagian warga yang salat di masjid saling menggerutu. Salat mereka tidak fokus, juga Ustaz Kodir yang bertugas sebagai imam. Sebagian warga lagi menggerutu masalah bacaan Ustaz Kodir yang kurang fasih. Tidak bisa membedakan mana bacaan yang dibaca panjang dan mana yang pendek. Mana yang dibaca ikhfa dan mana yang dibaca idzhar. Sebagian lagi menggerutu Pak RT Sobirin dan rekan-rekannya yang masih juga nongkrong di depan rumah saat waktu salat tiba. 
Memang, sejauh ini belum ada warga yang berani menegur bacaan Ustaz Kodir. Mereka tidak berani, khawatir menyinggung perasaan sang Ustaz. Apalagi warga-warga di perumahan masih belum begitu kenal dan akrab. Masih saling belajar berkenalan, dengan cara saling menyungging senyum satu sama lain. Kecuali memang percakapan bapak-bapak di rumah Pak Sobirin itu. Mereka merasa sudah sangat akrab walaupun berbeda gang rumah. Mungkin karena mereka sering jumpa saat rapat atau perkumpulan warga sehingga mereka bisa bicara blak-blakan. Layaknya sudah berteman sangat lama.
Rumah RT Sobirin itu memang tepat di jalan utama menuju masjid. Jadi mau tidak mau para warga melihat sendiri apa yang dilakukan pimpinan mereka di teras rumah sejak sore itu. Apalagi sebagian warga tahu—saat syukuran sunatan anak Pak RT—di rumahnya, banyak sekali pajangan kaligrafi ayat suci Alquran, juga beberapa buku tebal kajian-kajian Islam yang tampak dari lemari kaca yang Pak RT Sobirin taruh di ruang depan. Mereka kira, Pak RT adalah ahli ibadah, tapi malah sebaliknya. Pandangan-pandangan itu tentu berakar di kepala. Menjadi tanya. Dan jawabannya tentu dengan bebas diinterpretasikan oleh masing-masing warga.
“Alhamdulillah, makin banyak saja, ya, warga yang salat Isya di masjid,” ujar Pak Soleh.
“Iya, Pak, alhamdulillah,” sambung Pak Tebe.
“Alhamdulillah, pahala kita semakin banyak,” sambung lagi suara Pak RT Sobirin.
***
Aku tidak tahu harus berkata apalagi kepada mereka. Sebagai Kopi Hitam Kupu-kupu yang mereka seruput, aku juga punya kepedulian terhadap agama. Bagaimana pun aku adalah ciptaan Tuhan. Yang aku tahu, mereka tidak ada satupun yang membaca basmalah ketika menyuruputku dari gelas. Katanya mereka ingin dapat pahala, tapi membaca lafaz basmalah saja sepertinya teramat berat. Aku sungguh tidak mengerti. Saya yakin, mereka bukan orang yang mengerti agama.
“Sudahlah, kau tak usah berpikir macam-macam,” ujar Gelas yang tiba-tiba saja menjawab keluhan Kopi Hitam Kupu-kupu. Gelas itu sudah agar kering setengah.
“Iya juga, sih. Barusan saja mereka bercakap bahwa Subuh nanti mereka akan berjamaah di masjid. Tapi, apa iya mereka bisa bangun. Magrib dan Isya saja mereka lewat,” ujar Kopi Hitam Kupu-kupu.
“Kau tak perlu ikut campur urusan mereka. Biarkan mereka yang tahu urusan mereka sendiri,” ujar Gelas sembari menjatuhkan diri (dalam posisi miring) ke kaki Pak RT yang sedang duduk di depannya, tapi isinya tidaklah tumpah.
***
Percakapan Kopi Hitam Kupu-kupu dan Gelas pun terhenti ketika sisa-sisa kopi dibuang oleh si empunya. Malam semakin larut. Gelas dan sisa kopi saling berpisah. Pak RT dan kedua rekannya berlanjut bermain gaple, juga Pak Gemblung yang datang kembali menuju barisan para pejabat ke-RT-an itu sembari mengenakan sarung. Di sela-sela permainan gaple itu mereka sudah membagi diri siapa yang akan menjadi petugas pejuang salat Subuh nanti, siapa yang salawat sebelum azan tiba, siapa yang muazin, siapa yang iqamat, dan siapa yang imam. 
***
Pak Tebe pun bersalawat sejak pukul 03.45. Selang beberapa menit kemudian datanglah Pak Gemblung. Ia salat beberapa rekaat, entah tahiyatul masjid atau tahajud. Tak lama lagi Pak Soleh. Pak RT pun datang setelah Pak Gemblung usai mengumandangkan azan. Mereka bingung karena tidak ada satu pun warga yang semalam salat Magrib dan Isya itu datang untuk berjamaah salat Subuh. Pak Soleh pun belum juga iqomat.
“Kok, warga belum juga datang, ya?” 
“Apa mereka masih tidur?”
“Bisa jadi.”
“Terus bagaimana?”
“Apakah harus azan lagi? Kan boleh azan dua kali.”
“Jangan! Nanti apa kata warga!”
“Salah sendiri kenapa mereka tidak bangun!
Mereka saling ribut. Ada yang berpendapat lebih baik pulang lagi ke rumah. Ada lagi yang ingin kembali tidur lagi. Sedangkan Pak RT Sobirin meminta lebih baik salat diteruskan saja walaupun warga belum berdatangan.
“Waduh, Pak RT masa usaha kita sia-sia begini. Masa nggak ada yang bangun!”
“Kalau kayak gini, mereka tidak tahu dong kalau kita juga ikut salat berjamaah di masjid.”
“Ah, payah mereka. Masa salat subuh saja tidak kuat. Masa mereka memperbudak tidur daripada salat.”
“Mereka memang orang-orang aneh. Semalam mereka berbondong-bondong datang ke masjid, giliran sekarang mereka malah ngorok. Keimanan mereka labil. Tidak kayak kita yang bisa berjamaah Subuh dan menaklukkan rasa kantuk. Mana juga Ustaz Kodir, kok ustaz nggak salah berjamaah Subuh!”
Mereka terus saja berdebat tanpa memulai iqomat.
“Terus, bagaimana nih Pak RT?” tanya Pak Soleh.
“Kita tunggu saja sampai warga datang.”
“Sampai kapan?” tanya Pak Gemblung. 
“Sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”
“Nanti pahala kita hilang dong, Pak RT!” ujar Pak Tebe.
“Sudah, tunggu saja.”
“Iya, sampai kapan?” tanya lagi Pak Tebe.
“Sampai kapan Pak RT?”
“Iya, sampai kapan ….?”
Pak RT pun tidak menjawab lagi. Sembari menunggu warga datang, mereka pun tiduran sejenak. Sebagian tidur ayam. Sebagian tidur betulan. Matahari lamat-lamat mulai beringsut terbit. Mereka pun belum jua melaksanakan salat Subuh berjamaah. 
 
Kiara, 1 Oktober 2018


_____

Tentang Penulis

Encep Abdullah, dilahirkan di Serang, 20 September 1990. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untirta Banten. Karyanya menghiasi media massa lokal dan nasional: Kabar Banten, Banten Raya, Banten Post, Radar Banten, Tangsel Pos, Satelit News, tabloid Banten Muda!, tabloid Ruang Rekonstruksi, Kandaga, buruan.co, biem.co, linifiksi.id, litera.co, Aneka Yess!, majalah Esquire Indonesia, Rumahdunia.net, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Riau Pos, Jurnal Nasional, Bali Post, Republika, Solopos, Swara Kita (Manado), Radar Surabaya, Pos Kupang, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Analisa Medan, Rakyat Sultra, Amanah, serta belasan antologi buku.

Pernah (dan masih) bergiat di Kubah Budaya (Komunitas untuk Perubahan Budaya). Pernah mengikuti kegiatan sastra dan kepenulisan: Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Cerpen di Bandung (2013), Gramedia Writing Project di Jakarta, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) VIII di Banten (2013), Fokus Sastra di UPI Bandung (2014), Workshop Bitread di Jakarta (bersama Ahmad Fuadi) 2014, Workshop Cerpen Kompas 2015 di Bandung, Temu Penyair Tifa Nusantara 2 di Tangerang (2015), Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) XI di Bandung (2017), Pertemuan Penyair Nusantara (PPN). X di Banten (2017), National Workshop for Writing Book and Profesional Article di Depok (2020).

Menghadiri undangan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud: Narasumber Kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun Sidang Pembakuan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) I di Bogor (April 2019), Peserta Bimtek Fasilitator Baca-Tulis Tingkat Regional di Yogyakarta (April—Mei 2019) mewakili Banten sebagai pegiat literasi, dan Narasumber Kegiatan Lokakarya Pedoman dan Standar Kebahasaan dan Kesastraan dan Diskusi Terpumpun Pakar (FGD) di Jakarta (18—19 Juni 2019), Narasumber Kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun Sidang Pembakuan II Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia di Bogor (2—4 November 2020).

Terpilih sebagai salah satu 10 penulis terpopuler penerbit daring Bitread atas bukunya Wisata Bahasa (2014). Terpilih sebagai 50 Guru Menulis Antikorupsi Kategori Film Pendek Remaja se-Indonesia yang diselenggarakan oleh KPK di Bali (Oktober 2016). Mendapat Anugerah Sastra “Penggerak Sastra Gene- rasi Muda” oleh Dewan Kesenian Banten (2017). Masuk 10 Pemuda Inspiratif Kota/Kabupaten Serang Kemenpora (2018). Pemenang I Cipta Cerpen (Bulan Bahasa PBI Untirta 2014), Pemenang II Cipta Puisi (Bulan Bahasa PBI Untirta 2015), Pemenang II Cipta Puisi Penerbit Stepa Pustaka 2016, Pemenang III Cipta Puisi Penerbit Sabana Pustaka 2016, Pemenang II Cipta Puisi Penerbit Deza 2016, Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah Karang Taruna Provinsi Banten 2016, Juara II Lomba Menulis Puisi “Ibu” Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia (2017), dan 10 Pemenang Terpilih Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kagama Virtual 2 (UGM, 2017), 100 Finalis Lomba Puisi Nasional 2 EHI 2018, Juara I Lomba Cerita Anak Pra-Membaca Kantor Bahasa Provinsi Banten, Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional Tulis.me 2019.

Kesehariannya sibuk menulis dan mengajar di SMK Muhammadiyah Pontang dan SMP-SMA IT Darussalam Pipitan. Sesekali menjadi juri lomba, ceramah kepenulisan. Mendirikan Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar) pada 9 Juni 2016. Tiap pekan berkumpul dengan anak asuhnya yang bermarkas di rumah orang tuanya untuk berdiskusi dan mengkaji sastra dan kepenulisan. Juga mengasuh grup WA “klinik menulis”. Dari komunitas/grup yang diasuhnya itu, karya-karya anak muda pun terlahir menjadi buku. Beberapa anggota yang bergabung pun sudah berhasil menembus media massa cetak dan daring. Bersama Pengurus #Komentar, pada Agustus 2021 mendirikan web NGEWIYAK.com “Lembaran Sastra Digital”.

Buku-buku yang sudah diterbitkan tunggal dan beberapa di antaranya cukup “laku”: Tuhan dalam Tahun (Puisi, Kubah Budaya, 2014), Cabe-cabean (Esai Bahasa, Kubah Budaya, 2015), Matinya Seorang Pembunuh (Cerpen, Stepa Pustaka, 2016), Lelaki Ompol (Cerpen, Cahaya Bintang Kecil, 2017), Surat untuk Shaqeel (Catatan, #Komentar, 2017), Corat- coret di Tembok (Catatan, #Komentar, 2018), Belajar Membaca Kegelapan (Esai, Gaksa Enterprise, 2019), Cara Menuang Air Teko ke Dalam Gelas (Langit Arbitter, 2019), Susu Bikini (Esai Bahasa, #Komentar, 2019), Dandan Kawin (Puisi, #Komentar, 2019), Catatan Pendek untuk Kisah Cinta yang Panjang (Catatan, #Komentar, 2019), Nyamnyong (Cerpen, #Komentar, 2021), Surat untuk Hamka (Catatan, 2021). Buku ini merupakan buku proses kreatifnya yang ke-2.

Alamat rumah: Perumahan Puri Delta Kiara, Gang Edelweis, Blok DD 23, RT 01, RW 06, Kec. Walantaka, Kota Serang, Banten (42183).

Kontak: 087771480255

Surel: encepabdullah@rocketmail.com 

Facebook: Encep Abdullah Pontang 

Twitter: @arayrayza

Instagram: encepabdullahpenulis Blog: encepabdullah.blogspot.com 

YouTube: Encep Abdullah Penulis



Komentar