Unduh Buku Encep Abdullah | Tuhan dalam Tahun (Kubah Budaya, 2014)

...

Tuhan dalam Tahun adalah semacam doa dan sekaligus ucapan rasa syukur saya ke hadirat Allah swt., Tuhan yang tak pernah tidur yang selalu menggerakkan hati saya untuk terus membaca dan menulis. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta yang tak letih-letihnya mendidik anaknya ini sedari kecil.




Kepada adik-adik yang selalu mengacakacak buku kakak di kamar bahkan sampai robek dan hilang. Jadilah kalian pembaca yang baik dan kritis. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Kubah Budaya dan Belistra—yang tak bisa saya sebutkan satu per satu—yang tak pernah berhenti menjadi tempat berkumpul, bermain, dan berdiskusi. Kepada kawan-kawan di luar sana—Faisal Syahreza, dkk.— yang sudah memberikan endorsement buku puisi ini. Terakhir saya ucapkan terima kasih kepada S.S., perempuan yang selalu setia membaca dan mengedit tulisan-tulisan saya. Semoga skripsimu cepat rampung. Amin. Barangkali, sekapur sirih ini hanyalah sebuah apologi semata. Bila Anda kurang berkenan di hati, saya mohon maaf. Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi (G.M.)

(Penulis)


_____

Etika saya bertungkus lumus dengan berbagai pertanyaan ontologis, Tuhan dalam Tahun menculik saya, lalu mengajak saya berlompat, berkaca dan berpikir sambil tertawa. ah! (Sartika Sari, penyair tinggal Medan)

Pepuisi dalam buku ini serupa nyamuk yang menclok di lesung pipi seorang perempuan. Saya sarankan agar pembaca memakai losion anti nyamuk dulu sebelum membaca agar kita terhindar dari kebenaran palsu sang penyair. (Mahdiduri, Kepala LKK Nimusinstitute).

Ada mbeling dalam buku puisi ini. Selamat membaca! (Taufik Samantamuh, Direktur Kubah Budaya)

Puisi-puisi Encep adalah perayaan terhadap ambivalensi, setelah ia mengalami persentuhan dengan dunia kepenyairan. Pertamatama Encep mengubah sosok puisi dalam pengalaman hidupnya, jadi puisi-puisi baru keluar dari dirinya. Kemudian Encep mengolah kegugupan sekaligus kegagapannya menyatakan faktual, dengan cergas penuh gaya nakal pada puisi-puisi pendeknya. Sesekali memperlihatkan ketegangan romantika lewat diksi-diksinya yang kadang gusar, kadang mirip kelakar— selebihnya seperti garis-garis mural di dinding batin. Selamat berkhidmat dan jangan lupa, yang penting asyik! (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung)

Antologi puisi bertajuk Tuhan dalam Tahun karya Encep Abdullah menandakan regenerasi kesusastraan bergulir dengan baik. Puisi-puisi yang termaktub di dalamya bagaimanapun memberikan warna tersendiri, meski belum benar-benar menawarkan sesuatu yang baru. Selain itu, usaha memunculkan lokalitas dalam puisipuisinya layak diapresiasi, seperti “Mesin Kota”, “Kelapa Tujuh”, “Suatu Hari di Karangantu”, “Minggu Pagi di Kubah Budaya”, dan sebagainya. Banyak sekali yang mesti diakrabi dengan intim, sebab itu, baiknya tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Bacalah dengan tenang dan temukanlah keindahan Tuhan dalam Tahun. (Muhammad Rois Rinaldi, pemred Tabloid Ruang Rekonstruksi & Ketua Lentera Sastra International)

Komentar