Cerpen | Hantu Rumah Kosong dan Kematian Anak-Anak Kucing | (sippublishing.co.id, 17 Sept 2023

Cerpen Encep Abdullah




Akan kuceritakan kepadamu bagaimana mereka mati.

Samlawi tidak bisa tidur nyenyak. Suara-suara itu mengganggu waktu istirahatnya. Tapi, ia tidak tahu dari mana muasal suara-suara yang tak kunjung berhenti tiap malam itu. Namun, pagi itu, Samlawi benar-benar penasaran.

“Sepertinya dari rumah kosong itu, Sam,” ujar Nek Romlah tetangga Samlawi.

Samlawi menghampiri rumah itu—rumah subsidi yang sudah lima tahun tidak berpenghuni. Samlawi tidak tahu siapa pemiliknya sejak pertama ia menginjakkan kaki di perumahan. Rumah bernomor ZE 10 itu tepat berada di hadapan rumah Samlawi.

Saat itu hujan lebat. Sebenarnya bulu kuduk Samlawi merinding. Ia masuk lewat jendela. Kebetulan jendela terbuka, sedangkan pintunya terkunci.

Samlawi menutup hidung dengan tangan kirinya sambil terbatuk-batuk. Ia melihat kucing-kucing kecil itu berada di dalam bak kamar mandi. Ada empat: putih, hitam, putih-hitam, kuning-kecokelatan. Samlawi membawa ke teras rumahnya. Kedua anaknya yang masih balita girang. Namun, berbeda dengan istrinya yang bermuka masam. Suara-suara kucing itu membuat suasana rumah menjadi ramai.

“Awas aja kalau dimasukkan ke dalam rumah,” ujar istri Samlawi dari balik jendela.

“Ayah, minum cucu,” ujar Samsul, bocah empat tahun itu.

Samlawi menggaruk-garuk kepala. Ia tidak mengerti bagaimana mengurus anak kucing. Ia tidak mungkin memberi susu anaknya kepada anak kucing. Ia pernah mendengar bahwa susu anak tidak cocok untuk anak kucing, bahkan bisa bikin mati.

Samlawi masih trauma dengan peristiwa sebulan lalu di sekolahnya. Sebagai penjaga perpustakaan sekolah, pagi itu ia kedatangan tamu anak-anak kucing di rak buku yang kosong, ia kaget. Ia berusaha merawat, namun satu per satu mati, entah mati karena apa. Padahal ibu anak-anak kucing itu menyusui mereka.

“Coba cari ibu kucing lain,” ujar Nek Romlah.

Samlawi pun mencari kucing perempuan dewasa ke gang sebelah. Satu per satu ia bawa dan menyodorkan tetek kucing itu. Kucing-kucing itu menolak teteknya disedot, bahkan lari terbirit-birit. Ada juga ibu kucing dewasa yang baik, namun anak-anak kucing itu menolak.

Samlawi melihat jam dinding, sudah waktunya berangkat ke sekolah.

Sejak aku menghuni rumah ini, aku rajin memerhatikan apa yang dilakukan Samlawi.

***

Samlawi izin pulang lebih cepat. Ia tidak peduli suara-suara kepala sekolah yang sudah menagih laporannya itu. Suara-suara anak kucing itu selalu mengikutinya. Ia menitipkan kucing-kucing itu kepada istrinya, namun hati kecilnya tidak percaya.

Samlawi kaget saat melihat anak-anak kucing berhamburan keluar dari kandang kardus air mineral. Kucing putih diseret-seret Samsul, sedangkan kucing putih-hitam dan kuning-kecokelatan dilempar-jungkirbalikkan Bahri, anak kedua Samlawi yang belum genap dua tahun.

“Innalillahi…!” ujar Samlawi mengangkat kucing hitam.

“Kenapa dia?” tanya istrinya dari balik jendela.

“Sekarat.”

“Ayo, kita cari susu kucing aja!” ajak istri Samlawi.

Aku terbangun karena mendengar keriuhan di teras rumah Samlawi. Aku kaget, arwah anak kucing hitam itu masuk ke rumah kosong ini. Suaranya membikin ruangan ini berisik.

***

Samlawi membawa susu kucing. Namun, ia kaget karena kucing hitam sudah mati. Samlawi meminjam cangkul Nek Romlah. Istri Samlawi mengabadikan momen-momen langka suaminya.

“Ayah, aku lupa kalau punya teman dokter hewan. Aku kirim video ini, ya. Siapa tahu dia bisa kasih saran,” ujar istri Samlawi. Tapi, pesan itu hanya centang satu.

Setelah Samlawi memberikan susu, para makhluk mungil pun bisa tidur dalam kehangatan, saling bertumpuk. Kali ini Samlawi memindahkan anak-anak kucing itu ke ember besar.

Pagi harinya kucing-kucing itu kembali “miaw-miaw”. Samlawi menyiapkan susu. Dan betapa kagetnya, si kucing putih mati dalam keadaan agak gepeng, tertindih kucing yang lain. Samlawi kembali merasa bersalah. Ia merasa tak becus mengurusi bayi-bayi kucing itu. Ia mencari tahu penyebab anak kucing bisa mati: penyakit, stres, kurang asupan, asupan yang tidak cocok, atau ditinggal induknya.

“Coba beli merek lain,” ujar istri Samlawi.

Samlawi sadar ia belum bayar rumah. Harga susu kucing juga tidak murah. Lumayan juga uangnya buat beli beras.

“Ini pakai uang aku aja,” ujar istri Samlawi lagi.

Saking kesalnya, karena kucing-kucing itu berat badannya tampak makin berkurang, Samlawi tidak hanya membeli susu, ia juga membeli makan. Walaupun sebenarnya ia tahu, kucing yang belum genap dua bulan tidak boleh diberikan asupan makanan. Ia paksakan saja, semoga saja mau makan daging lembut yang ia beli di toko hewan itu.

Samlawi menyodorkan dua anak kucing itu susu. Anehnya, mulut-mulut kucing itu tertutup rapat. Bahkan kucing putih-hitam dan kucing kuning-kecokelatan itu memalingkan muka. Sore harinya, anak kucing putih-hitam sudah tak berdaya, sedangkan anak kucing kuning-kecokelatan masih bisa berlari-lari.

“Mati lagi?” tanya istri Samlawi.

***

Samlawi hanya punya satu kesempatan: si kuning-kecokelatan. Si anak kucing terakhir ini masih bisa berjalan dan “miaw-miaw”. Suaranya mungkin masih terdengar jelas dari balik pintu rumah Nek Romlah. Makhluk terakhir ini ternyata mau menyusu. Samlawi senang. Ia berusaha agar kucing ini bisa kenyang. Makanan daging yang Samlawi beli itu, si kucing kuning-kecokelatan tidak mau memakannya, hanya dijilat-jilat.

“Semoga besok ada keajaiban,” ujar Samlawi.

Semalaman Samlawi tidur lelap. Juga anak-anaknya. Kecuali istrinya. Istri Samlawi terbangun karena si kucing kuning-kecokelatan mendadak “miaw-miaw”. Namun, ia tidak membangunkan suaminya. Malam itu, istri Samlawi juga seperti mendengar ada suara yang membuka gerbang rumahnya, tapi ia tetap malanjutkan tidur.

Pagi hari, Samlawi kaget bukan main saat si kucing kuning-kecokelatan hilang. Ia cek di bawah pohon mangga, ada gundukan tanah baru. Samlawi merasa kemarin ia tidak ngorek-ngorek tanah ini. Nek Romlah yang hendak menyapu di halaman rumah melirik Samlawi yang sedang kebingungan. Nek Romlah berbalik arah dan masuk kembali.

***

Begitulah ceritanya bagaimana anak-anak kucing itu mati. Aku sengaja mencari rumah yang dekat dengan istri Samlawi agar nanti aku bisa lebih dekat melihat kesehariannya. Namun, mobilku oleng saat menabrak seekor kucing tepat menuju rumah kosong ini. Istri Samlawi tidak tahu kalau mayat yang dikerumuni banyak orang di perumahan ini adalah seorang dokter hewan, mantan kekasih istri Samlawi.

Di rumah ini, aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk membantu agar kucing-kucing itu tetap hidup. Setidaknya aku berterima kasih kepada kalian, ternyata kalian sesayang itu pada anak-anak kucing walaupun kematian anak kucing terakhir sangat tak wajar. Dan sekarang, aku harus siap-siap menutup telinga setiap malam. Kalian tidak akan mendengar suara-suara itu. Tapi, aku mendengarnya!

Kiara, 2022

_________________

*Encep Abdullah, Pendiri Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar) dan Dewan Redaksi NGEWIYAK.com.

Komentar