Puisi Encep Abdullah
Orang-Orang Kanekes
40 km dari kota rangkasbitung
aku bertemu rumah adat yang hanya berbahan dasar bambu
dengan kolong di bawahnya menyimpan kayu buat asap dapur mereka
wajah-wajah ibu dan remaja tampak nan putih tak berdebu bercahaya nan ayu
mereka sedang bertenun di teras rumah
beberapa berpakaian kaus oblong laiknya orang-orang sepertiku
:ciboleger
beranjak menapaki bukit
aku kembali bertemu wajah-wajah berkulit putih
ibu-ibu mengenakan pakaian "seksi" yang kadang terlihat pakaian dalamnya
bapak-bapak dan anak laki-laki mengikat kepalanya dengan kain berwarna hitam
membawa sebilah golok di pinggang kirinya
kaki-kaki mereka begitu mantap mencakar tanah tanpa sandal, tanpa sepatu
dengan ruas kaki yang begitu lebar dua- sampai tiga kali dari kakiku
: panamping
beranjak menapaki batu-batu yang runcing dan beberapa tanah yang licin
dengan peluh basah di sekujur tubuhku
kembali terlintas wajah-wajah putih nan bersih
sepasang remaja sedang asyik bercinta di gubuk
saling bermesraan
itulah sang pangeran kanekes berwajah tampan
bermata biru dan sang ratu berkulit putih
aku dan matahari saling cemburu
: menuju cibeo
matahari mulai beringsut dari peredarannya
tampak gubuk-gubuk saling berimpitan
anak-anak kecil berlari-lari tanpa saling bertabrakan
seperti hantu yang melintas di samping kiri kananku
tampak wajah-wajah polos pemilik rumah
berpakaian serba putih sudah menunggu di muka pintu
kami beristirah tanpa lampu tanpa sinyal tanpa banyak suara
penuh kedamaian tak seperti riuh kotaku yang belingsatan
: tangtu
2014
Pada Tanggal Merah
pada tanggal merah
aku tak bertemu kekasih
berpinggul lebar
ia pulang bertemu induknya
ada jarak yang harus kutempuh
untuk bersimpuh pada kedua orang tuanya
pada tanggal merah
aku kehilangan kekasih
berpinggul lebar
ia kangen kampung halamannya
ada napas yang harus kujemput
menyatukan cinta yang saling memagut
Komentar
Posting Komentar