Cerpen | Kaboa | Satelit News, 2 Mei 2015

Cerpen Encep Abdullah


Zulfikar masih terus berburu kaboa di Leuweung Sancang. Ia tak jemu-jemu menyusuri hutan yang amat lebat pohonnya itu. Banyak kera berlompatan. Burung-burung bersahutan sehingga menimbulkan efek mistis di telinga. Zulfikar tak pernah meghiraukan suara-suara itu. Ia terus saja menyusuri hutan untuk mendapatkan kaboa— ya, di kepalanya hanya ada kaboa.

Barangkali ini sudah kali ketiga Zulfikar berada di Hutan Sancang. Baginya hal ini belum cukup puas. Walaupun memang belum tentu orang lain mampu melakukannya. Mengambil satu kaboa pun seseorang harus bertapa dan berpuasa dulu berbulan-bulan. Tapi, bagi Zul—panggilan akrabnya—tidak harus bersusah payah demikian. Kayu kaboa di Hutan Sancang baginya laksana lapangan dan wisata para pemuja iblis yang harus ia kunjungi sampai rela bertaruh nyawa alias mati dengan embel-embel dijejali pesugihan dan kesaktian oleh para juru kunci atau laskar setan di batinnya.

Zulfikar juga percaya kaboa memiliki kekuatan supranatural untuk menenangkan hidup dari segala marabahaya. Padahal, sebenarnya masyarakat juga tahu banyak pohon yang juga memiliki kekuatan dan keindahan, semisal pohon ketapang, tumbuhan Sorea, dan pohon Meranti Merah. Tapi, mereka lebih memilih kesakralan kaboa. Banyak juga wisatawan berlabuh ke tempat ini hanya untuk menghilangkan kepenatan hidup. Tapi, tidak merusaknya seperti Zul.

Kayu mistis kaboa mirip dengan pohon bakau. Konon hanya tumbuh di Hutan Sancang. Itu pun terbatas di sekitar muara Sungai Cipareang. Menurut Mang Dadang— salah seorang narasumber cerita rakyat—kayu kaboa menjadi saksi utama perjanjian antara Kiansantang dengan Prabu Siliwangi. Dulu, sambil memegang sepotong kayu kaboa, Prabu Siliwangi menyatakan kepada Kiansantang bahwa dirinya tidak akan dapat mengikuti ajakan Kiansantang karena akan ngahiang bersama anak buahnya yang setia. Konon hutan legendaris ini juga pernah dijadikan tempat tilem Prabu Siliwangi. Mistis ini menjadi daya tarik sendiri. Tapi, tak banyak pengunjung yang berani dan bisa sampai ke kaboa. Beberapa ada yang mencoba, tapi mati di tengah jalan. Ada juga yang menghilang dan tidak pulang kembali. Dan ada juga yang tiba-tiba menjadi gila sepulang dari tempat itu. Mangkanya, Zul selalu membawa kayu kaboa—yang sudah pernah ia ambil— yang sudah ia jadikan tongkat yang diyakini sebagai pelindung jika menjelajahi hutan itu agar tidak diganggu binatang buas seperti harimau.

Zulfikar, lelaki bertubuh kekar itu tak sedikit pun merasa takut dan khawatir. Di dalam hutan, ia tetap tenang walaupun sulit untuk melihat ke arah pantai karena susunan pepohonan berjejer sangat rapat. Padahal, ia sangat ingin cepat-cepat melihat laut Sancang yang memiliki tingkat pandang yang bebas dan panorama alam yang indah. Dan sampai akhirnya bertemu dengan kaboa yang ia idam-idamkan. Memotongnya. Mencacahnya. Mengharapkan kedamaian hidup. Lalu, membayangkan bilik rumahnya menjadi istana surga.

Zul tidak merasakan kesulitan memasuki hutan. Terkecuali untuk yang kali pertama. Ia pernah digigit ular dan sempat diterkam harimau hingga tubuhnya memar dan berdarah. Tapi, karena ia sudah diberikan jimat kalung berlafaz ayat suci oleh guru supranaturalnya, lukanya bisa disembuhkan dengan cepat.

“Tapi, jimat ini hanya untuk satu kali perjalanan. Selebihnya kau jalan pakai caramu sendiri untuk mengambil kaboa,” ujar gurunya waktu itu.

Zul sudah mendapatkan kaboa. Ia tak butuh jimat itu lagi. Ia percaya pada kaboanya untuk menyusuri hutan kembali. Ia belum puas mendapatkan kebahagiaan. Dari kaboa yang pertama dan kedua hanya bisa mengubahnya makan tiga hari sekali menjadi tiga kali sehari. Baginya itu masih biasa.

“Aku belum dapat kekayaan yang sesungguhnya,” ujarnya dalam hati.

***

“Masyarakat dan hutan itu seperti dua malaikat yang sama-sama punya satu sayap. Mereka tidak akan bisa terbang jika tidak saling berpelukan. Jika kamu merebut paksa sayap hutan, maka alam akan membalasnya dengan kutukan. Ingat itu!” jelas istrinya heboh di dalam bilik rumah.

“Kamu ngomong apa? Aku nggak mau punya rumah bilik begini terus. Aku pengin punya istana,” ujar Zulkifli sambil menyalakan kreteknya.

“Kang, jangan sampai hutan menjadi tinggal cerita hanya karena kaboa di Hutan Sancang kau binasakan satu per satu.”

“Alah-alah…, ini emak-emak ngomong apa dari tadi. Hutan Sancang milik kita, milik bersama. Tuhan menciptakan hutan untuk siapa? Untuk kita nikmati.”

“Iya, Kang, aku tahu. Tapi, bukan itu masalahnya. Kayu kaboa itu bukan sembarang kayu. Mereka adalah jelmaan dari para Prajurit Prabu Siliwangi. Bila mereka habis olehmu akan jadi apa nasib Hutan Sancang?”

“Haha… dasar otak kolot. Kayak begitu saja dipercaya. Tapi, tapi… aku juga pernah dengar, sih. Tapi, bukan itu. Yang aku tahu dari nenekku dulu, Prajurit Prabu Siliwiangi menjadi macan Maung. Dan Prabunya jadi Harimau. Iya, kan? Tapi… tapi… ah, aku nggak mau percaya begitu,” sambil menghaluskan kayu kaboa untuk dijadikan tongkat.

“Dasar keras kepala!”

Istri Zul kesal dengan perbuatan Zul. Kesal bukan karena tak mengizinkan Zul kaya raya, melainkan istrinya tidak mau ditinggal Zul barang semalam. Istrinya takut tidur sendiri. –Keduanya belum diberikan momongan semenjak sepuluh tahun menikah. Istri Zul ingin selalu dihangatkan tubuhnya setiap malam. Karena bila Zul ke hutan memburu kaboa. Bisa tiga hari sampai satu minggu ia kembali lagi ke rumah.

“Mau punya anak, kan?” tanya Zul.

“Iya, tapi nggak begini juga caranya, Akang.”

“Sudah, diam saja. Nanti aku berikan kamu anak.”

Istri Zul kembali ke bilik. Ia kesal pada Zul yang tak mau menuruti permintaannya supaya tidak berangkat ke Hutan Sancang.

"Dulu, waktu saya pertama bekerja di hutan ini, banyak macan, ular, bahkan banteng. Saat itu, Leuweung Sancang sangat ditakuti. Jangankan masyarakat, polisi hutan pun segan jika hendak masuk ke hutan ini. Baru di tepi hutan saja sudah bergidik. Kepercayaan itu terkait erat dengan mitos Leuweung Sancang yang beredar di masyarakat, " ujar Mantan Polisi Hutan yang tiba-tiba datang menghampiiri Zul. Tampaknya sedari tadi ia menguping dari bilik belakang rumah Zul.

“Eh, Pak Erik. Iya, Pak, tapi saya tidak percaya dengan hal itu. Kalau terus-terusan ditakuti, kapan saya akan maju, Pak.”

“Masih banyak cara untuk menjadi manusia yang lebih baik, Zul.”

“Justru saya sudah kehilangan cara untuk hidup lebih baik. Dengan cara ini saya sedikit berubah,” Zul meyakinkan diri.

“Kau pernah diserang binatang buas di sana?”

“Ya. Sekali.”

“Jika ada orang yang berani masuk ke hutan itu bertujuan mengambil kaboa lalu terluka karena binatang buas, berarti binatang itu merasa rumahnya terganggu akan kedatanganmu. Hutan Sancang teramat sakral dan bahaya. Lebih baik kau hentikan sampai di sini bila tak mau terjadi apa-apa denganmu.”

“Ah, tak usah dihiraukan. Saya bisa menjaga diri. Saya bukan anak kecil yang begitu saja percaya dengan kata-katamu, Pak. Justru saya akan membunuh semua binatang buas di hutan itu. Biar saya bisa membabat habis kaboa di hutan itu satu per satu dengan mudah.”

“Pantas saja istrimu kesal. Kau memang keras kepala. Tapi ingat, jangan terlalu rakus dengan kaboa. Kalau ingin menikmati pesona alam, datanglah kepada alam. Jangan merusak segala sesuatu karena keinginan memiliki.

“Sudahlah, lebih baik kau pergi. Terima kasih atas nasihatmu.”

Mantan Polisi Hutan mengeleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir hutan yang telah dijaganya waktu dulu akan segera hancur hanya karena tangan seorang pengangguran seperti Zul. Mantan Polisi Hutan tahu, sudah berapa orang yang menjadi korban atas keserakahan manusia yang ingin mengambil Kaboa. Dan tak pernah ada yang berhasil kembali ke kampung halaman. Mantan Polisi Hutan itu juga heran, kenapa Zul bisa masuk ke hutan itu dengan mudah dan bisa kembali ke rumah tanpa beban. Apalagi ini sudah mau yang ketiga kalinya masuk hutan.

Zul tak ingin niatnya itu terganggu hanya karena omongan-omongan di sekitarnya yang menurutnya tidak terlalu penting. Tekadnya melebihi rasa takutnya. Padahal, ia tahu ada risiko di balik semua itu. Seperti yang dikatakan oleh guru jimatnya, “Jangan gunakan jimat itu untuk keserakahan, tapi gunakan untuk kebaikan.” Tampaknya, hasrat iblis mengalahkan para malaikat di tubuhnya.

Hari sudah siang, Zul siap berangkat. Tidak lupa ia membawa kaboa yang sedari tadi sudah dihaluskan. Sedangkan istrinya masih manyun di dalam bilik rumah.

***

Dari puluhan tongkat milik Zul, tiba-tiba ada dua tongkat yang bergerak dan menimbulkan suara gaduh. Istri Zul—Mina— terganggu mendengar suara-suara itu. Mina mencoba bangun dari tempat tidurnya yang hanya beralaskan tikar. Ia mencari-cari sumber suara itu. Suara itu berasal dari dapurnya. Ada dua tongkat yang bergerak-gerak. Memisahkan diri dari tongkat lainnya. Dua tongkat itu seolah sedang berdialog. Mina kaget bukan kepalang. Ia langsung mengelus dadanya yang bidang. Ia baru ingat, malam ini malam Jumat. Seperti apa kata suaminya, mohon mandikan tongkat itu bila malam jumat tiba—bila memang Zul sedang tidak di rumah. Tongkat itu pun semakin bersuara gaduh.

Mina menghampiri kedua tongkat itu. Tangannya bergemetaran. Kedua kakinya sedikit demi sedikit melangkah. Ia pun menangkap kedua tongkat itu.

“Ya Tuhan, ya Tuhan, ini tongkat apa…” sambil memegang dua tongkat itu. Tubuhnya semakin bergemetar.

Setelah Mina memandikan. Diletakkan lagi kedua tongkat itu ke tepat semula. Tapi, ketika ia hendak membaringkan kembali tubuhnya di tempat tidur. Kedua tongkat itu bunyi kembali. Waktu ia coba mengintai lagi di ruang peyimpanan tongkat, tampak sesosok tubuh berbulu sedang duduk-duduk santai. Ada dua harimau di dapurnya. Tentu saja Mina lagi-lagi terkaget melihatnya, bahkan jantungnya hampir mau copot. Ia pun kembali ke tempat tidurnya. Berusaha melupakan apa yang tadi dilihatnya. Barangkali hanya halusinasi, pikirnya.

Keesokan harinya, Mina bercerita kepada Mantan Polisi Hutan atas peristiwa semalam. Juga ia bercerita kepada Guru Jimat Zul. Tentu saja keduanya tidak percaya apa yang dikatakan Mina.

“Barangkali kau bermimpi,” ujar Mantan Polisi Hutan.

“Tapi, saya yakin, saya tidak sedang bermimpi. Ada dua harimau. Ada harimau loreng dan yang satunya harimau putih.”

“Harimau loreng dan harimau putih?”

“Astagfirullah…”

Guru Jimat mengelus dada. Ia memejamkan mata dan seolah sedang mengingat sesuatu akan peristiwa yang sudah terjadi.

“Ada apa ya, Guru?”

“Prabu Siliwangi dan Kiansantang kembali di sini.”

“Prabu Siliwangi dan Kiansantang?”

“Ya, sepertinya mereka tidak suka dengan perlakuan suamimu yang mengambil kayu kaboa di Hutang Sancang itu. Makanya, ia menampakkan diri di tempat orang yang sudah mengambil kayu kaboanya. Seperti juga yang pernah diceritakan oleh Kakek saya dulu dengan cerita yang sama. Saya jadi khawatir.”

“Maksud Guru?”

“Ini pertanda bahwa suamimu di sana sedang terancam.”

Mina shock mendengar hal itu. Ia meminta Mantan Polisi Hutan untuk menyusul dan mencari suaminya di hutan. Mantan Polisi Hutan terperanga. Tak ada dalam benaknya untuk melakukan itu.

“Guru, saya mohon kita jemput Zul ke hutan. Saya tidak mau terjadi apa-apa dengan Zul. Aku sangat mencintainya,” sembari menggenggam tangan kanan dengan tangan kirinya.

“Tapi dengan satu syarat,” ujarnya. “Pak, ke sini sebentar,” suruh Guru kepada Mantan Polisi Hutan. Dan keduanya agak menjauh dari Mina.

Mina tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua lelaki itu. Ia hanya menunggu sambil berharap-harap cemas akan nasib suaminya di tengah hutan sana.

“Kami mau mengantarmu ke hutan, asal… asal kamu mau tidur dulu dengan kami. Tak usah lama-lama,” ujar Mantan Polisi Hutan agak gugup.

Mina tak habis pikir akan kedua lelaki ini. Wajah mereka rupawan dan terlihat amat baik. Tapi, hatinya begitu busuk, pikir Mina dalam hati. Sebenarnya Mina gendek hati. Namun, apa boleh buat. Tidak ada cara lain lagi selain memuaskan napsu bejat kedua lelaki itu.

“Kalian tak seperti yang saya pikirkan,” ujar Mina.

Mina pun di bawa ke dalam bilik rumahnya.

***

Zul mendadak sakit keras di dalam hutan. Perasaannya tidak keruan. Kepalanya mendadak pusing. Perutnya mual sampai akhirnya ia muntah darah. Ia tak tahu harus minta tolong kepada siapa. Tuhan sudah lama ia tinggalkan semenjak ia percaya pada kesaktian kaboa. Ia meminta kesaktian dari tongkat itu untuk bisa menyembuhkan penyakit yang tiba-tiba menyerangnya.

“Salah apa aku ini, kenapa mendadak jadi seperti ini?” lirihnya. “Wahai tongkat, sembuhkan aku dari derita ini. Kembalikan aku ke rumah. Aku ingin bertemu istriku. Aku sudah tidak kuat menahan sakit ini. Bila aku mati, aku ingin berada di samping istriku. Aku sangat mencintainya.”

Tongkat itu belum juga berfungsi apa-apa. Akhirnya tak ada cara lain selain memanjaatkan doa kepada sang Mahakuasa. Ia pasrahkan semua kepada Tuhan. Tiba-tiba tongkat Kaboa bergerak dan terdengar suara aungan harimau. Di depan matanya ada gerombolan harimau. Satu harimau putih dan yang lainnya harimau belang—seperti sedang mengawal harimau putih.

Zul tidak percaya ada makhluk buas itu di depannya. Mereka sedang ngadakom di puncak Karang Gajah. Karang tinggi besar di pantai curam yang penuh gelombang, sebelah timur muara Sungai Cipangisikan. Ia mereka-reka, apakah ini yang dinamakan Prabu Siliwangi dan Para Prajuritnya. Zul memejamkan mata, dan tiba-tiba sampailah ia di depan rumah. Zul mendadak stres melihat dua lelaki yang dikenalnya membuka pintu rumahnya dengan teramat bahagia sambil menutup resleting celana mereka.

“Hey, kalian apakan isitriku?”

Kedua lelaki yang sudah menumpahkan air hina ke rahim istri Zul itu terkaget-kaget. Keduanya tidak percaya Zul sedang terduduk lemah sambil memegang tongkat di depan—luar— pintu rumahnya. Tubuhnya masih lemah seperti di hutan.

Zul mendengar suara tangis dari dalam bilik rumahnya. Ia tahu itu suara istrinya. Suara yang sudah ia kenal bahwa tangisan itu adalah tangisan kepedihan. Tangisan rasa sakit seperti ketika malam pertama bersamanya. Zul bukan main marahnya. Tapi ia tak kuasa melawan. Mengangkat tongkat pun ia tak bisa.

“Kau memang bodoh. Kau terkena kutukan sang Prabu Siliwangi. Haha… Kau tak akan pernah sembuh sebelum kau menjual atau memberikan tongkat kayu kaboa itu kepada orang lain atau yang membutuhkan. Dalam dirimu dan di dalam rumahmu sudah tinggal persemayaman harimau yang menakutkan. Haha….,” ujar Mantan Polisi Hutan.

“Saya heran, kenapa kau rela mati-matian masuk ke dalam hutan hanya untuk mengambil kaboa. Kaboa salah satu paru-paru Leuweng Sancang. Kau membunuhnya. Ia pun akan balik membunuhmu. Jika Sancang tetap utuh, itu akan mempersempit potensi lahirnya para pendekar bangsat sepertimu,” tambah lagi Mantan Polisi Hutan.

“Kau lupa akan kata-kataku. Prabu Siliwangi itu sebagai perlambang. Ia ada dalam hati, bukan dalam wujud sebenarnya,” ujar Guru Supranatural.

“Bajingan!” Zul meluapkan kemarahan dengan melemparkan tongkat dari tangannya. Dari dalam bilik rumah Zul tiba-tiba terdengar suara aungan harimau yang amat keras hingga menggoyangkan bilik rumahnya yang sudah reyot.

 

                                                                                                 Serang, Februari—Maret 2014

           

Ket:

1. Ngahiang : lenyap tanpa bekas

2. Tilem : menghilang

3. Kalau ingin menikmati pesona alam, datanglah kepada alam. Jangan merusak segala sesuatu karena keinginan memiliki (Putu Fajar Arcana, dalam novel Gandamayu).

 

 

 


Komentar

Posting Komentar