Zulfikar masih terus berburu kaboa di Leuweung Sancang. Ia tak jemu-jemu menyusuri
hutan yang amat lebat pohonnya itu. Banyak kera berlompatan. Burung-burung
bersahutan sehingga menimbulkan efek mistis di telinga. Zulfikar tak pernah
meghiraukan suara-suara itu. Ia terus saja menyusuri hutan untuk mendapatkan kaboa— ya, di kepalanya hanya ada kaboa.
Barangkali ini sudah kali ketiga Zulfikar berada di
Hutan Sancang. Baginya hal ini belum cukup puas. Walaupun memang belum tentu
orang lain mampu melakukannya. Mengambil satu kaboa pun seseorang harus bertapa dan berpuasa dulu
berbulan-bulan. Tapi, bagi Zul—panggilan akrabnya—tidak harus bersusah payah
demikian. Kayu kaboa di Hutan Sancang
baginya laksana lapangan dan wisata para pemuja iblis yang harus ia kunjungi sampai
rela bertaruh nyawa alias mati dengan embel-embel dijejali pesugihan dan
kesaktian oleh para juru kunci atau laskar setan di batinnya.
Zulfikar juga percaya kaboa memiliki kekuatan supranatural untuk
menenangkan hidup dari segala marabahaya. Padahal, sebenarnya masyarakat juga tahu banyak pohon yang juga
memiliki kekuatan dan keindahan, semisal pohon ketapang, tumbuhan Sorea, dan
pohon Meranti Merah. Tapi, mereka lebih memilih kesakralan kaboa. Banyak juga wisatawan berlabuh ke tempat ini
hanya untuk menghilangkan kepenatan hidup. Tapi, tidak merusaknya seperti Zul.
Kayu mistis kaboa mirip dengan pohon bakau. Konon hanya tumbuh di Hutan
Sancang. Itu pun terbatas di sekitar muara Sungai Cipareang. Menurut Mang
Dadang— salah seorang narasumber cerita rakyat—kayu kaboa menjadi saksi utama perjanjian
antara Kiansantang dengan Prabu Siliwangi. Dulu, sambil memegang sepotong kayu kaboa,
Prabu Siliwangi menyatakan kepada Kiansantang bahwa dirinya tidak akan dapat
mengikuti ajakan Kiansantang karena akan ngahiang
bersama anak buahnya yang setia. Konon hutan legendaris ini juga pernah
dijadikan tempat tilem Prabu
Siliwangi. Mistis ini menjadi daya tarik sendiri. Tapi, tak banyak pengunjung
yang berani dan bisa sampai ke kaboa. Beberapa ada yang
mencoba, tapi mati di tengah jalan. Ada juga yang menghilang dan tidak pulang
kembali. Dan ada juga yang tiba-tiba menjadi gila sepulang dari tempat itu. Mangkanya,
Zul selalu membawa kayu kaboa—yang sudah pernah
ia ambil— yang sudah ia jadikan tongkat yang diyakini sebagai pelindung jika
menjelajahi hutan itu agar tidak diganggu binatang buas seperti harimau.
Zulfikar, lelaki bertubuh kekar itu tak sedikit pun
merasa takut dan khawatir. Di dalam hutan, ia tetap tenang walaupun sulit untuk
melihat ke arah pantai karena susunan pepohonan berjejer sangat rapat. Padahal, ia sangat ingin cepat-cepat melihat laut Sancang
yang memiliki tingkat pandang yang bebas dan panorama alam yang indah. Dan
sampai akhirnya bertemu dengan kaboa yang ia
idam-idamkan. Memotongnya. Mencacahnya. Mengharapkan kedamaian hidup. Lalu, membayangkan
bilik rumahnya menjadi istana surga.
Zul tidak merasakan kesulitan memasuki hutan.
Terkecuali untuk yang kali pertama. Ia pernah digigit ular dan sempat diterkam
harimau hingga tubuhnya memar dan berdarah. Tapi, karena ia sudah diberikan
jimat kalung berlafaz ayat suci oleh guru supranaturalnya, lukanya bisa
disembuhkan dengan cepat.
“Tapi, jimat ini hanya untuk satu kali perjalanan.
Selebihnya kau jalan pakai caramu sendiri untuk mengambil kaboa,” ujar gurunya waktu itu.
Zul sudah mendapatkan kaboa. Ia tak butuh jimat itu lagi. Ia percaya pada kaboanya untuk menyusuri hutan kembali. Ia belum
puas mendapatkan kebahagiaan. Dari kaboa yang pertama dan kedua hanya bisa mengubahnya makan
tiga hari sekali menjadi tiga kali sehari. Baginya itu masih biasa.
“Aku belum dapat kekayaan yang sesungguhnya,”
ujarnya dalam hati.
***
“Masyarakat dan hutan itu seperti dua malaikat yang
sama-sama punya satu sayap. Mereka tidak akan bisa terbang jika tidak saling
berpelukan. Jika kamu merebut paksa sayap hutan, maka alam akan membalasnya dengan
kutukan. Ingat itu!” jelas istrinya heboh di dalam bilik rumah.
“Kamu ngomong apa? Aku nggak mau punya rumah bilik
begini terus. Aku pengin punya istana,” ujar Zulkifli sambil menyalakan
kreteknya.
“Kang,
jangan sampai hutan menjadi tinggal cerita hanya karena kaboa
di Hutan Sancang kau binasakan satu per satu.”
“Alah-alah…,
ini emak-emak ngomong apa dari tadi. Hutan Sancang milik kita, milik bersama.
Tuhan menciptakan hutan untuk siapa? Untuk kita nikmati.”
“Iya, Kang,
aku tahu. Tapi, bukan itu masalahnya. Kayu kaboa
itu bukan sembarang kayu. Mereka adalah jelmaan dari para Prajurit Prabu
Siliwangi. Bila mereka habis olehmu akan jadi apa nasib Hutan Sancang?”
“Haha… dasar
otak kolot. Kayak begitu saja dipercaya. Tapi, tapi… aku juga pernah dengar,
sih. Tapi, bukan itu. Yang aku tahu dari nenekku dulu, Prajurit
Prabu Siliwiangi menjadi macan Maung. Dan Prabunya jadi Harimau. Iya, kan? Tapi…
tapi… ah, aku nggak mau percaya begitu,” sambil menghaluskan kayu kaboa
untuk dijadikan tongkat.
“Dasar keras
kepala!”
Istri Zul
kesal dengan perbuatan Zul. Kesal bukan karena tak mengizinkan Zul kaya raya,
melainkan istrinya tidak mau ditinggal Zul barang semalam. Istrinya takut tidur
sendiri. –Keduanya belum diberikan momongan semenjak sepuluh tahun menikah.
Istri Zul ingin selalu dihangatkan tubuhnya setiap malam. Karena bila Zul ke
hutan memburu kaboa. Bisa tiga hari sampai satu
minggu ia kembali lagi ke rumah.
“Mau punya
anak, kan?” tanya Zul.
“Iya, tapi
nggak begini juga caranya, Akang.”
“Sudah, diam
saja. Nanti aku berikan kamu anak.”
Istri Zul
kembali ke bilik. Ia kesal pada Zul yang tak mau menuruti permintaannya supaya
tidak berangkat ke Hutan Sancang.
"Dulu, waktu saya pertama bekerja di hutan ini,
banyak macan, ular, bahkan banteng. Saat itu, Leuweung Sancang sangat ditakuti.
Jangankan masyarakat, polisi hutan pun segan jika hendak masuk ke hutan ini.
Baru di tepi hutan saja sudah bergidik. Kepercayaan itu terkait erat dengan
mitos Leuweung Sancang yang beredar di masyarakat, " ujar Mantan Polisi Hutan
yang tiba-tiba datang menghampiiri Zul. Tampaknya sedari tadi ia menguping dari
bilik belakang rumah Zul.
“Eh, Pak Erik. Iya, Pak, tapi saya tidak percaya
dengan hal itu. Kalau terus-terusan ditakuti, kapan saya akan maju, Pak.”
“Masih banyak cara untuk menjadi manusia yang lebih
baik, Zul.”
“Justru saya sudah kehilangan cara untuk hidup
lebih baik. Dengan cara ini saya sedikit berubah,” Zul meyakinkan diri.
“Kau pernah diserang binatang buas di sana?”
“Ya. Sekali.”
“Jika ada orang yang berani masuk ke hutan itu
bertujuan mengambil kaboa lalu terluka karena
binatang buas, berarti binatang itu merasa rumahnya terganggu akan
kedatanganmu. Hutan Sancang teramat sakral dan bahaya. Lebih baik kau hentikan
sampai di sini bila tak mau terjadi apa-apa denganmu.”
“Ah, tak usah dihiraukan. Saya bisa menjaga diri. Saya
bukan anak kecil yang begitu saja percaya dengan kata-katamu, Pak. Justru saya
akan membunuh semua binatang buas di hutan itu. Biar saya bisa membabat habis kaboa di hutan itu satu per satu dengan mudah.”
“Pantas saja istrimu kesal. Kau memang keras
kepala. Tapi ingat, jangan terlalu rakus dengan kaboa. Kalau
ingin menikmati pesona alam, datanglah kepada alam. Jangan merusak segala
sesuatu karena keinginan memiliki.”
“Sudahlah, lebih baik kau pergi. Terima kasih atas
nasihatmu.”
Mantan Polisi Hutan mengeleng-geleng kepala. Ia tak
habis pikir hutan yang telah dijaganya waktu dulu akan segera hancur hanya
karena tangan seorang pengangguran seperti Zul. Mantan Polisi Hutan tahu, sudah
berapa orang yang menjadi korban atas keserakahan manusia yang ingin mengambil
Kaboa. Dan tak pernah ada yang berhasil kembali ke kampung halaman. Mantan
Polisi Hutan itu juga heran, kenapa Zul bisa masuk ke hutan itu dengan mudah
dan bisa kembali ke rumah tanpa beban. Apalagi ini sudah mau yang ketiga
kalinya masuk hutan.
Zul tak ingin niatnya itu terganggu hanya karena
omongan-omongan di sekitarnya yang menurutnya tidak terlalu penting. Tekadnya
melebihi rasa takutnya. Padahal, ia tahu ada risiko di balik semua itu. Seperti
yang dikatakan oleh guru jimatnya, “Jangan gunakan jimat itu untuk keserakahan,
tapi gunakan untuk kebaikan.” Tampaknya, hasrat iblis mengalahkan para malaikat
di tubuhnya.
Hari sudah siang, Zul siap berangkat. Tidak lupa ia
membawa kaboa yang sedari tadi sudah dihaluskan. Sedangkan istrinya
masih manyun di dalam bilik rumah.
***
Dari puluhan tongkat milik Zul, tiba-tiba ada dua
tongkat yang bergerak dan menimbulkan suara gaduh. Istri Zul—Mina— terganggu mendengar
suara-suara itu. Mina mencoba bangun dari tempat tidurnya yang hanya beralaskan
tikar. Ia mencari-cari sumber suara itu. Suara itu berasal dari dapurnya. Ada dua
tongkat yang bergerak-gerak. Memisahkan diri dari tongkat lainnya. Dua tongkat
itu seolah sedang berdialog. Mina kaget bukan kepalang. Ia langsung mengelus
dadanya yang bidang. Ia baru ingat, malam ini malam Jumat. Seperti apa kata suaminya, mohon mandikan
tongkat itu bila malam jumat tiba—bila memang Zul sedang tidak di rumah. Tongkat
itu pun semakin bersuara gaduh.
Mina menghampiri kedua tongkat itu. Tangannya
bergemetaran. Kedua kakinya sedikit demi sedikit melangkah. Ia pun menangkap
kedua tongkat itu.
“Ya Tuhan, ya Tuhan, ini tongkat apa…” sambil
memegang dua tongkat itu. Tubuhnya semakin bergemetar.
Setelah Mina memandikan. Diletakkan lagi kedua
tongkat itu ke tepat semula. Tapi, ketika ia hendak membaringkan kembali
tubuhnya di tempat tidur. Kedua tongkat itu bunyi kembali. Waktu ia coba mengintai
lagi di ruang peyimpanan tongkat, tampak sesosok tubuh berbulu sedang
duduk-duduk santai. Ada dua harimau di dapurnya. Tentu saja Mina lagi-lagi
terkaget melihatnya, bahkan jantungnya hampir mau copot. Ia pun kembali ke
tempat tidurnya. Berusaha melupakan apa yang tadi dilihatnya. Barangkali hanya
halusinasi, pikirnya.
Keesokan harinya, Mina bercerita kepada Mantan
Polisi Hutan atas peristiwa semalam. Juga ia bercerita kepada Guru Jimat Zul.
Tentu saja keduanya tidak percaya apa yang dikatakan Mina.
“Barangkali kau bermimpi,” ujar Mantan Polisi
Hutan.
“Tapi, saya yakin, saya tidak sedang bermimpi. Ada
dua harimau. Ada harimau loreng dan yang satunya harimau putih.”
“Harimau loreng dan harimau putih?”
“Astagfirullah…”
Guru Jimat mengelus dada. Ia memejamkan mata dan
seolah sedang mengingat sesuatu akan peristiwa yang sudah terjadi.
“Ada apa ya, Guru?”
“Prabu Siliwangi dan Kiansantang kembali di sini.”
“Prabu Siliwangi dan Kiansantang?”
“Ya, sepertinya mereka tidak suka dengan perlakuan
suamimu yang mengambil kayu kaboa di Hutang Sancang itu. Makanya, ia menampakkan
diri di tempat orang yang sudah mengambil kayu kaboanya. Seperti juga yang pernah diceritakan oleh Kakek
saya dulu dengan cerita yang sama. Saya jadi khawatir.”
“Maksud Guru?”
“Ini pertanda bahwa suamimu di sana sedang
terancam.”
Mina shock
mendengar hal itu. Ia meminta Mantan Polisi Hutan untuk menyusul dan mencari
suaminya di hutan. Mantan Polisi Hutan terperanga. Tak ada dalam benaknya untuk
melakukan itu.
“Guru, saya mohon kita jemput Zul ke hutan. Saya
tidak mau terjadi apa-apa dengan Zul. Aku sangat mencintainya,” sembari
menggenggam tangan kanan dengan tangan kirinya.
“Tapi dengan satu syarat,” ujarnya. “Pak, ke sini sebentar,”
suruh Guru kepada Mantan Polisi Hutan. Dan keduanya agak menjauh dari Mina.
Mina tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua
lelaki itu. Ia hanya menunggu sambil berharap-harap cemas akan nasib suaminya
di tengah hutan sana.
“Kami mau mengantarmu ke hutan, asal… asal kamu mau
tidur dulu dengan kami. Tak usah lama-lama,” ujar Mantan Polisi Hutan agak
gugup.
Mina tak habis pikir akan kedua lelaki ini. Wajah
mereka rupawan dan terlihat amat baik. Tapi, hatinya begitu busuk, pikir Mina
dalam hati. Sebenarnya Mina gendek
hati. Namun, apa boleh buat. Tidak ada cara lain lagi selain memuaskan napsu
bejat kedua lelaki itu.
“Kalian tak seperti yang saya pikirkan,” ujar Mina.
Mina pun di bawa ke dalam bilik rumahnya.
***
Zul mendadak sakit keras di dalam hutan. Perasaannya
tidak keruan. Kepalanya mendadak pusing. Perutnya mual sampai akhirnya ia
muntah darah. Ia tak tahu harus minta tolong kepada siapa. Tuhan sudah lama ia tinggalkan
semenjak ia percaya pada kesaktian kaboa. Ia meminta kesaktian dari tongkat itu untuk bisa
menyembuhkan penyakit yang tiba-tiba menyerangnya.
“Salah apa aku ini, kenapa mendadak jadi seperti
ini?” lirihnya. “Wahai tongkat, sembuhkan aku dari derita ini. Kembalikan aku
ke rumah. Aku ingin bertemu istriku. Aku sudah tidak kuat menahan sakit ini.
Bila aku mati, aku ingin berada di samping istriku. Aku sangat mencintainya.”
Tongkat itu belum juga berfungsi apa-apa. Akhirnya
tak ada cara lain selain memanjaatkan doa kepada sang Mahakuasa. Ia pasrahkan
semua kepada Tuhan. Tiba-tiba tongkat Kaboa bergerak dan terdengar suara aungan
harimau. Di depan matanya ada gerombolan harimau. Satu harimau putih dan yang
lainnya harimau belang—seperti sedang mengawal harimau putih.
Zul tidak percaya ada makhluk buas itu di depannya.
Mereka sedang ngadakom di puncak Karang Gajah. Karang tinggi besar di
pantai curam yang penuh gelombang, sebelah timur muara Sungai Cipangisikan. Ia
mereka-reka, apakah ini yang dinamakan Prabu Siliwangi dan Para Prajuritnya.
Zul memejamkan mata, dan tiba-tiba sampailah ia di depan rumah. Zul mendadak stres
melihat dua lelaki yang dikenalnya membuka pintu rumahnya dengan teramat
bahagia sambil menutup resleting celana mereka.
“Hey, kalian apakan isitriku?”
Kedua lelaki yang sudah menumpahkan air hina ke
rahim istri Zul itu terkaget-kaget. Keduanya tidak percaya Zul sedang terduduk
lemah sambil memegang tongkat di depan—luar— pintu rumahnya. Tubuhnya masih
lemah seperti di hutan.
Zul mendengar suara tangis dari dalam bilik
rumahnya. Ia tahu itu suara istrinya. Suara yang sudah ia kenal bahwa tangisan
itu adalah tangisan kepedihan. Tangisan rasa sakit seperti ketika malam pertama
bersamanya. Zul bukan main marahnya. Tapi ia tak kuasa melawan. Mengangkat tongkat
pun ia tak bisa.
“Kau memang bodoh. Kau terkena kutukan sang Prabu
Siliwangi. Haha… Kau tak akan pernah sembuh sebelum kau menjual atau memberikan
tongkat kayu kaboa itu kepada orang lain
atau yang membutuhkan. Dalam dirimu dan di dalam rumahmu sudah tinggal
persemayaman harimau yang menakutkan. Haha….,” ujar Mantan Polisi Hutan.
“Saya heran, kenapa kau rela mati-matian masuk ke
dalam hutan hanya untuk mengambil kaboa. Kaboa salah satu paru-paru Leuweng Sancang. Kau
membunuhnya. Ia pun akan balik membunuhmu. Jika Sancang tetap utuh, itu akan
mempersempit potensi lahirnya para pendekar bangsat sepertimu,” tambah lagi Mantan Polisi Hutan.
“Kau lupa akan kata-kataku. Prabu Siliwangi itu
sebagai perlambang. Ia ada dalam hati, bukan dalam wujud sebenarnya,” ujar Guru
Supranatural.
“Bajingan!” Zul meluapkan kemarahan dengan
melemparkan tongkat dari tangannya. Dari dalam bilik rumah Zul tiba-tiba
terdengar suara aungan harimau yang amat keras hingga menggoyangkan bilik rumahnya
yang sudah reyot.
Serang, Februari—Maret 2014
Ket:
1. Ngahiang : lenyap tanpa bekas
2. Tilem : menghilang
3. Kalau ingin menikmati pesona alam, datanglah kepada alam. Jangan merusak
segala sesuatu karena keinginan memiliki (Putu Fajar Arcana, dalam novel
Gandamayu).
Ceritanya bagus sekali
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus