Esai | Cerita tentang Ane | Riau Pos, 20 Januari 2019

 Esai Encep Abdullah


Pagi itu saya mengajar di kelas VII. Kebetulan materinya tentang teks deskripsi. Saya menyuruh anak-anak untuk menulis teks deskripsi. Saya bilang “tidak usah berat-berat, tulis saja tentang diri kalian, tentang tubuh kalian”. Mereka tampaknya paham. Setelah mereka  selesai menulis, saya menyuruh mereka untuk meceritakan isi tulisan mereka. Sebagian besar para siswa mendahuluinya dengan dua kata: “Nama ane …”. Saya penasaran, mengapa anak-anak menggunakan pronomina ini.

“Anak-anak, mengapa kalian menggunakan kata ane bukan aku atau saya?” 

“Tidak boleh, Pak!” serempak anak-anak menjawab. 

“Siapa yang tidak membolehkannya?”

Anak-anak tidak menjawab. Saya mendadak panas dan marah di kelas. Seolah mereka telah menghina pelajaran saya. Saya pun menjelaskan dan meluruskan pikiran anak-anak tentang ane

Siapa yang melarang kata aku atau saya di sekolah atau pondok pesantren ini? Saya pun mencoba mencari tahu. Saya kirim saja curhatan saya ke grup WA para guru atas kejadian yang menimpa saya pagi itu. Sebagian guru tertawa sembari bercanda menjawabnya. Padahal saya sedang serius. Saya juga menanyakan bahwa apakah ada aturan atau larangan atau pengaharaman bagi setiap santri berkata “aku” atau “saya” di pondok pesantren. Ternyata tidak ada. Saya telusuri lagi sampai benar-benar menemukan siapa dalang semua ini. 

Ketika saya masuk kelas XII. Ternyata biang keladinya ada di sini. Ketua Orsada atau OSIS SMA yang membuat ultimatum seperti itu—SMP-SMA masih satu yayasan. Akhirnya saya menasihatinya habis-habisan—juga secara keseluruhan kepada santri lainnya. Saya bilang “Jangan sesatkan adik-adik kelas kalian dengan istilah semacam itu! Penggunaan kata ane tidak jadi ukuran kalian masuk surga. Yang dilihat oleh Allah adalah kesalehan dan ketakwaan kalian.”

Kasus semacam ini akan terus mengakar pada generasi selanjutnya apabila tidak diluruskan. Mereka memang tinggal dalam ruang lingkup pesantren yang notabene sering menggunakan istilah-istilah Arab. Kata aku atau saya diganti ane. Kata kamu atau kalian diganti ente atau antum. Tentu, satu sisi saya wajarkan karena bagian dari adaptasi mereka dalam satu area yang sama. Tapi, kalau sudah masuk wilayah pelarangan atau pengharaman menggunakan kata aku atau saya, tentu sebagai guru bahasa Indonesia saya harus turun tangan.

Dalam kasus ini, boleh saja menggunakan kata ane apabila dalam ruang lingkup percakapan sehari-hari. Namun, rasanya ganjal sekali bila ane dibawa-bawa pada wilayah pelajaran Bahasa Indonesia, terutama dalam ruang lingkup tulis-menulis. Akhirnya, jadi bahasa gado-gado. Kata aku atau saya benar-benar mereka musnahkan. Seolah haram. Saya beristigfar. Ini kesalahan kecil, tapi bisa membuat pikiran mereka, terutama santri baru, terdoktrin. Saya khawatir, mereka lebih memercayai apa yang dikatakan oleh seniornya daripada saya.

Bila saya tilik kembali, peristiwa ini bukan pertama kali saya alami. Pada 17 November 2013 saya pernah menulis di “Kolom Bahasa” Pikiran Rakyat berjudul “Persolan Aku dan Saya”. Persoalan ini adalah kenyataan yang saya alami. Suatu hari saya bercakap dengan seorang teman dengan menggunakan pronomina “aku”. Lalu, ada teman saya yang lain berceletuk “Jijik amat sih kalian, aku-akuan!” Pernyataan ini membuat saya tersindir dan berpikir, apa salah aku?

Kasus aku dan saya juga pernah dialami oleh Sapardi Djoko Damono. Hal itu disampaikan dalam tulisannya  “Saya, Aku” yang dimuat di Majalah Tempo, 7 September 2015. Sapardi kikuk membalas dialog sopirnya yang selalu menggunakan kata ganti aku, sedangkan ia selalu menggunakan kata ganti saya. Sapardi menyimpulkan ”kalau kita masih juga merasa risi dengan saya aku, ya kita sendirilah yang salah.” Ia juga bilang lama-kelamaan tentu akan terbiasa juga. Lalu, apakah kasus ane bisa dibilang “lama-kelamaan tentu akan terbiasa juga”? Sepertinya ini berbeda kasus.

Dalam buku Semantik 2 karya Fatimah Djajasudarma,  penggunaan pronomina aku dan saya memiliki tempat masing-masing. Kata ganti aku merujuk pada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam akrab, sedangan saya merujuk pada orang yang berbicara atau menulis dalam ragam resmi atau biasa. Keduanya juga memiliki “jarak psikologis” yang berbeda. Kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy), sedangkan saya tak bermarkah (unmarked). 

Menurut Brandstetter, ada beberapa wilayah di Indonesia yang memang kesehariannya menggunakan kata ganti aku, antara lain Tontempua (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), Jawa Kuna, Gayo (Sumatra), dan Mentawai. Dalam pendangan mereka (juga pakar bahasa), kata aku sebagai bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih fleksibel dari saya karena aku mempunyai bentuk terikat –ku, sedangkan saya tidak. Bagaimana dengan ane

Kata ane berasal dari bahasa Arab ‘anaa’. Kemudian orang Betawi menggeser fonem /a/ menjadi /e/ sehingga menjadi ane. Turun-temurun, kata inilah yang sering dipakai oleh kita. Tapi, tentu saja kata ane tidak punya bentuk fleksibel –ne seperti kata aku

Kasus  aku dan saya mungkin bisa dikuatkan dengan tulisan Indra Tranggono berjudul “Aku dan Saya” yang dimuat di Kompas, 16 April 2016.  Indra menjelaskan bahwa Presiden Sukarno juga bisa menempatkan posisi aku dan saya. Sukarno sering menggunakan kata aku dalam pidatonya. Contohnya, “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sukarno menggunakan kata aku karena ia ingin membangun hubungan yang akrab dan egaliter dan massa (rakyat). Pada satu sisi, Sukarno juga menggunakan kata saya saat berpidato di depan para pemimpin baik tingkat nasional maupun international. Tujuannya adalah merendahkan diri dan menghormati orang lain yang tingkat status dan posisinya setara atau lebih.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari Sukarno adalah ia menempatkan aku dan saya pada tempatnya. Semoga kepada para pembaca budiman yang terbiasa menggunakan kata ane bisa menempatkan pronominal tersebut pada tempatnya: menempatkannya pada ragam lisan, bukan ragam tulis. Atau, Saudara tunggu saja dan bersabar, siapa tahu ane kapan-kapan bisa masuk dalam KBBI sebagai bentuk baku. Jadi, Saudara tidak lagi risau menulis ane dalam ragam tulis. 

Demikian sedikit cerita tentang ane. Semoga bisa diambil manfaatnya.


Penulis

Encep Abdullah, pemerhati bahasa dan pendiri Komunitas Menulis Pontang Tirtayasa (#Komentar).





Komentar